Perampasan Hak Anak di Tengah Gencarnya Seremonial Hari Anak

Daftar Isi

Permasalahan anak yang sangat komplek harus dilihat dengan paradigma sistemis

Begitu pula solusinya, apakah dengan perayaan HAN bisa muncul solusi yang diharapkan?


Penulis Bunda Hanif

Pendidik 


Siddiq-news.com OPINI -- Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2024 mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Dari tema tersebut terdapat enam subtema yang meliputi Suara Anak Membangun Bangsa; Anak Cerdas Berinternet Sehat; Pancasila di Hati Anak Indonesia; Anak Pelopor dan Pelapor; Anak Merdeka dari Kekerasan; Perkawinan Anak, Pekerja Anak dan Stunting; serta Digital Parenting. 

Rangkaian kegiatan menjelang puncak perayaan HAN 2024 adalah acara Festival Ekspresi Anak di Ancol, Jakarta pada Kamis (18-7-2024). Tema yang diusung pada puncak perayaan tersebut adalah “Anak Cerdas, Berinternet Sehat”. Lebih dari 1.000 peserta hadir dalam acara tersebut, terdiri dari perwakilan Forum Anak Nasional (FAN) dari 38 provinsi. 

Jika kita cermati, acara HAN 2024 tidak ubahnya seremonial belaka. Begitupun dengan rangkaian subtema yang diangkat, semua itu lebih tampak sebagai formalitas wacana yang sangat jauh dari realitas problematik anak.

Permasalahan anak di negeri ini sudah sangat kompleks. Kita tidak cukup melihatnya hanya dari satu sisi, melainkan harus dengan paradigma sistemis. Begitu pula solusinya, apakah dengan melalui perayaan HAN bisa muncul solusi yang diharapkan?

Jujur kita patut miris dengan banyaknya fenomena yang masih hangat akhir-akhir ini, yakni Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi, sebagai wujud nyata perampasan hak anak di bidang pendidikan. Belum lagi kasus judi online di kalangan siswa Sekolah Dasar (SD) yang sudah sampai tingkat kecanduan hingga menghasilkan perilaku yang tak terkendali saat uang saku mereka habis karena kalah judi. 

Pada saat yang sama, maraknya kriminalitas yang pelaku maupun korban dari kalangan anak di bawah umur, dan itu sudah sampai level sadis. Fakta seputar stunting juga menunjukkan betapa lambatnya penurunan angka stunting di negeri kita. 

Marilah kita berpikir sejenak, kompleksnya permasalahan anak tidak sebatas rapuh maupun rendahnya kualitas kepribadian anak, tetapi keluarga yang makin jauh dari fungsinya sebagai tempat pertama dan utama pendidikan anaklah yang turut mengambil peran. 

Sistem sekularisasi dan liberalisasi yang bercokol di negeri ini telah menghancurkan fungsi keluarga. Sering kali kasus kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri. Padahal seharusnya keluarga adalah tempat pertama yang mampu memberikan perlindungan terhadap anak. Belum lagi pengabaian hak nafkah dan hak hidup anak yang dilakukan oleh orang dekat mereka. 

Secuil potret buram keluarga ini merupakan wujud makin jauhnya mayoritas keluarga muslim di Indonesia dari aturan agamanya sendiri, yakni Islam. Faktor lain di luar keluarga juga tidak boleh kita abaikan. 

Ini semua karena fungsi keluarga tidak bisa berdiri sendiri. Keluarga hanyalah unit terkecil kehidupan seorang manusia yang sejatinya terkait erat dengan berbagai faktor lain di luar sana. Namun, ketika peran keluarga lemah, peluang terampasnya hak anak juga makin besar, karena keluarga adalah benteng terakhir dan semestinya teraman bagi anak. 

Tidak hanya keluarga, sistem pendidikan juga memiliki peran yang sangat vital dalam menunaikan hak-hak anak. Namun sayangnya, profil pendidikan saat ini sudah sangat menyedihkan akibat komersialisasi dan kapitalisasi. Akibatnya, pendidikan beralih fungsi dari pencerdasan menjadi pembodohan generasi.

Belum lagi dengan kurikulum pendidikan yang tidak kalah karut marutnya. Kurikulum saat ini memerdekakan siswa untuk belajar sesuai minat, ini sungguh menghancurkan tatanan materi pembelajaran di jenjang pendidikan. Harus ada kurikulum baku bagi pendidikan, yang kemudian ditunjang oleh aspek-aspek teknis berwujud pembelajaran praktis yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa menurut jenjang pendidikannya. Bukan malah diserahkan pada peminatan atas nama “Merdeka Belajar”

Pembelajaran berbasis akidah Islam yang mutlak dibutuhkan oleh setiap individu muslim tentu tidak bisa diberikan jika koridor belajarnya saja menurut peminatan. Apakah dalam persoalan akidah bisa sesuka hati? Inilah yang dinamakan pembodohan generasi karena segala sesuatunya selalu dikawal oleh sekulerisasi. 

Sengkarutnya sistem ekonomi di negeri ini tidak perlu diragukan lagi. Kesenjangan ekonomi begitu nyata terlihat. Anak-anak dari keluarga kaya bergelimang fasilitas mewah, sedangkan anak-anak yang berlatar belakang keluarga miskin kesulitan untuk membeli sepatu, apalagi mendapatkan pendidikan karena harus bertarung sengit dengan kebutuhan dapur. 

Angka kemiskinan di negeri ini masih menjadi PR besar. Sistem ekonomi kapitalis terbukti gagal menyejahterakan anak, juga masyarakat pada umumnya. Sebagai catatan, kesehatan berupa perbaikan nutrisi bagi anak-anak dan pendidikan mereka sejak usia dini adalah bekal untuk memutus kemiskinan. Namun, buruknya sistem ekonomi dan sistem pendidikan  telah membuat kualitas generasi benar-benar dalam kondisi terancam.

Di dalam Islam, anak merupakan individu yang dianggap penting keberadaannya, karena mereka adalah generasi unggul penerus peradaban. Negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan anak di dalam berbagai aspek. Anak tidak butuh slogan dan wacana agar haknya terpenuhi. Sebaliknya, mereka butuh aksi nyata berupa kebijakan pemerintah yang bervisi mengurus dan melayani urusan rakyat. 

Berawal dari akidah, penguasa di dalam sistem Islam memiliki kebijakan khusus untuk menjaga akidah individu warganya. Khilafah akan menutup berbagai celah yang memungkinkan masuknya pemikiran asing yang dapat mencemari akidah Islam warganya. Media massa yang beredar juga diawasi agar tidak menyebarkan tayangan-tayangan yang dapat merusak, Khilafah juga mewujudkan fungsi keluarga yang optimal dalam mendidik anak, misalnya dengan memberikan pendidikan pranikah bagi para calon pengantin, membumikan konsep nasab dan keluarga sakinah, menegaskan posisi qawamah (kepemimpinan) kaum laki-laki bagi para calon ayah dan pencari nafkah, meluruskan fungsi dan naluri keibuan sebagai bekal pengasuhan sehingga mampu menjadi sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya., memastikan pelaksanaan pendidikan keluarga berbasis akidah Islam, serta memosisikan keluarga sebagai inkubator para pengemban dakwah.

Khilafah juga menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam  yang memiliki target menghasilkan generasi unggul berkepribadian Islam, pengisi peradaban, dan siap terjun ke masyarakat untuk mengemban dakwah. Pendidikan dalam khilafah diberikan secara gratis dan berkualitas. 

Dalam sistem ekonomi, khilafah menjamin kesejahteraan ekonomi warganya, dengan tercukupinya kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan). Para ayah/suami dijamin jalur nafkahnya melalui tersedianya lapangan pekerjaan yang cukup. Fasilitas publik disediakan secara gratis dan memadai seperti kesehatan, pendidikan dan transportasi. 

Demikianlah Khilafah mewujudkan itu semua. Pemenuhan hak-hak anak jauh lebih penting daripada sekedar seremonial perayaan HAN tanpa dibarengi aksi nyata. 

Wallahualam bissawab. []