Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB): Tantangan dan Solusi dalam Sistem Pendidikan
Dalam sistem saat ini, tujuan utama sering kali menjadi keuntungan finansial, bukan kualitas pendidikan
Akibatnya, terjadi praktik-praktik tidak etis seperti suap dan pungli
Penulis Hikmah
Pegiat Literasi
Siddiq-news.com, OPINI -- Terdapat ketidakpuasan di kalangan warga terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMAN 1 Majalaya, Kabupaten Bandung. Adang, seorang warga, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa meski banyak warga berjarak dekat dan memenuhi syarat administrasi, beberapa siswa yang lebih jauh justru diterima. "Alasannya untuk jalur zonasi katanya kurang. Tapi yang paling Selatan, RW 4 masuk, sedangkan itu lebih dari zona. Tapi yang jauh dari saya keterima," jelas Adang pada Rabu (24/7/2024). SMAN 1 Majalaya kemudian membantah tuduhan praktik jual beli kursi, meskipun ada dugaan kuat yang didasarkan pada fakta bahwa puluhan siswa dengan Kartu Keluarga terbit kurang dari satu tahun diterima, sementara siswa yang tinggal dekat sekolah tidak lolos (Detik, 24/7/2024)
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di setiap tahun ajaran baru selalu menjadi sorotan publik, terutama terkait dengan dugaan adanya kecurangan dalam prosesnya. Kasus-kasus seperti gratifikasi, pungutan liar (pungli) untuk jaminan penerimaan siswa, pungli dengan modus pendaftaran/administrasi, pembelian seragam/buku, dan jual beli kursi dengan menambah jumlah kuota kerap muncul. Fenomena ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk meninjau ulang kebijakan yang ada.
Kebijakan zonasi, yang diusung dengan tujuan untuk meratakan pemerataan pendidikan, tampaknya memerlukan peninjauan ulang. Alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan ini justru menimbulkan problem baru. Masyarakat kini terjebak dalam kompetisi ketat, dan banyak orang tua yang mengambil langkah-langkah ekstrem untuk memastikan anak mereka dapat masuk ke sekolah unggulan. Misalnya, menjelang PPDB, beberapa orang tua tidak ragu untuk menyewa rumah di sekitar wilayah sekolah atau memanipulasi data di kartu keluarga agar dapat masuk dalam zona yang diinginkan. Praktik-praktik semacam ini menunjukkan bahwa kebijakan zonasi perlu dievaluasi dan disesuaikan agar benar-benar dapat mencapai tujuannya tanpa menimbulkan ketidakadilan atau kesulitan tambahan bagi masyarakat.
Kejadian tersebut mencerminkan masalah yang lebih mendalam dalam sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan sekuler yang memisahkan agama dan dunia serta tujuan kapitalistik yang mengutamakan uang telah menciptakan berbagai masalah. Dalam sistem saat ini, tujuan utama sering kali menjadi keuntungan finansial, bukan kualitas pendidikan. Akibatnya, terjadi praktik-praktik tidak etis seperti suap dan pungli yang merugikan masyarakat dan menambah beban bagi orang tua yang ingin memberikan pendidikan berkualitas untuk anak-anak mereka.
Kebijakan zonasi sebenarnya belum menyentuh akar persoalan pendidikan yang mendalam. Sebaliknya, perhatian seharusnya difokuskan pada inti masalah, yakni mengubah paradigma masyarakat mengenai sekolah dan sistem pendidikan yang ada. Negara memiliki peran krusial dalam menyelenggarakan sistem pendidikan yang tidak hanya berkualitas tetapi juga unggul, guna memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan terbaik.
Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah hak setiap warga negara dan merupakan layanan publik yang harus disediakan secara optimal oleh negara. Berdasarkan prinsip ini, negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan terbaik bagi seluruh rakyatnya, tanpa memandang status ekonomi atau sosial.
Jika makin dibiarkan aturan yang diterapkan saat ini akan menimbulkan kerusakan yang sangat parah, oleh karena itu sudah waktunya untuk kembali pada sistem yang Allah ciptakan, yakni sistem Islam yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh.
Akidah Islam sebagai landasan akan menganggap pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Dalam sistem Islam, negara tidak akan berbagi tanggung jawab dengan sektor swasta yang dapat menyulitkan akses rakyat terhadap pendidikan berkualitas.
Negara akan menerapkan sistem ekonomi Islam untuk memastikan anggaran yang memadai untuk mendirikan sekolah-sekolah yang murah bahkan gratis tetapi tetap berkualitas. Di bawah sistem ini, masyarakat tidak akan perlu melakukan kecurangan untuk mencari sekolah terbaik, dan mereka dapat menetapkan visi pendidikan untuk anak-anak mereka dengan lebih tepat. Pendidikan tidak hanya berorientasi pada dunia kerja atau mengatasi kemiskinan, seperti yang terjadi saat ini.
Dalam sistem Islam, pencarian sekolah tidak akan sulit. Bahkan, pendidikan terbaik akan tersedia berkat sistem pendidikan Islam, kurikulum yang unggul, dan pengelolaan yang efisien. Dengan diterapkannya sistem ini akan melahirkan peradaban Islam yang gemilang, dan kita sepatutnya merindukan dan memperjuangkannya dengan tekun. Wallahualam bissawab. []