PPDS Dalam Pusaran Perundungan, Salah Siapa?

Daftar Isi

Maraknya kasus perundungan menjadi sinyal betapa buruknya tata kelola sistem pendidikan yang berasaskan sekuler

Pendidikan berbasis sekuler makin menjadikan generasi bangsa jauh dari aturan agama


Penulis Jannatu Naflah

Praktisi Pendidikan


Siddiq-news.com, OPINI -- Perundungan menjadi persoalan sistemik yang menambah buram potret pendidikan Indonesia. Dari TK hingga perguruan tinggi menjadi wadah bagi perundungan yang katanya jadi budaya. Mirisnya, kaum cerdik pandai pun ikut melestarikan budaya buruk ini. Bukti, modal kecerdasan saja tidak cukup untuk menjadi pribadi yang terpuji. Bagaimana lahir generasi berakhlak karimah, jika budaya buruk terus lestari?

Kabar duka datang dari Semarang, Jawa Tengah. Seorang dokter muda bernama Aulia Risma Lestari diduga menjadi korban perundungan hingga mengakhiri hidupnya. Mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang tersebut diduga mengalami perundungan dari seniornya selama mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis atau PPDS Anestesi Undip. Kabar dokter muda bunuh diri ini pun langsung viral di media sosial. Kata “Undip” dan “PPDS” bahkan masih menjadi trending topik di X hingga Jumat pagi (16/8/2024).

Salah satu thread viral dari akun X @bambangsuling11 pada Jumat, 14/8/2024 mencuit bahwa dokter muda RSUD Kardinah, Tegal meninggal bunuh diri dengan cara menyuntikkan obat ke tubuhnya, karena diduga tak kuat menahan perundungan selama ikut PPDS Anestesi Universitas Diponegoro, Semarang.

Akun X tersebut juga mengungkap bahwa pihak PPDS Anestesi Undip sempat berusaha menutupi kasus ini, yakni dengan menyebut korban sering menyuntikkan obat ke tubuhnya karena mengalami sakit syaraf. Namun, pernyataan pihak PPDS Anestesi Undip terbantahkan saat buku harian korban ditemukan. Dalam buku harian itu, korban ternyata menumpahkan perasaan depresi akibat perundungan yang dialaminya.

Sungguh menyedihkan, pendidikan dokter yang katanya tempat orang-orang pilihan berintelektual tinggi ternyata menyimpan cerita kelam. Beban berat menempuh pendidikan spesialis makin bertambah berat karena perundungan oleh para senior. Tidak heran jika tidak sedikit calon dokter spesialis yang depresi, bahkan berujung mengakhiri nyawa sendiri.

Menanggapi kejadian ini, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengungkapkan bahwa budaya perundungan di kalangan dokter spesialis sudah berlangsung puluhan tahun. Pada 2023 juga pernah terjadi kasus perundungan antardokter spesialis. Kala itu, Kemenkes memanggil para dokter yang menjadi korban. Dari pemanggilan tersebut, ditemukan bahwa para korban mengalami stres akibat mendapatkan tekanan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan kedokteran.

Menkes mengatakan bahwa peserta didik ini diperlakukan sebagai asisten, sebagai sekretaris, sebagai pembantu pribadi. Mereka diperintah untuk mengantarkan cucian ke laundry, bayar laundry, hingga antar jemput anak dokter senior. Bahkan di antara para korban ada yang diminta untuk mengeluarkan biaya hingga puluhan juta untuk kepentingan pribadi oknum dokter spesialis (kemenkes.go.id, 20 Juli 2023).

Ironis, sudah berlangsung lama, tetapi pemerintah masih belum menemukan solusi solutif untuk menuntaskan kasus perundungan. Kampanye antirundung yang digaungkan pun nyata hanya isapan jempol belaka. Perundungan akan kembali menjadi perhatian jika ada kasus yang diviralkan, seperti kasus dokter muda Aulia. Selama semua diam, perundungan pun masih terus terjadi diam-diam.

Kasus dokter muda Aulia jelas menambah panjang daftar kasus perundungan yang terjadi di Indonesia. Kasus ini semestinya membuka mata kita bahwa kasus perundungan sudah sedemikian parah membelenggu generasi. Mulai dari pendidikan usia dini hingga kaum cerdik pandai tidak terlepas dari budaya perundungan yang merusak ini.

Maraknya kasus perundungan menjadi sinyal betapa buruknya tata kelola sistem pendidikan yang berasaskan sekuler. Pendidikan berbasis sekuler makin menjadikan generasi bangsa jauh dari aturan agama. Tolok ukur perbuatan pun menjadi bias, tak mampu membedakan antara benar dan salah, terpuji dan tercela, bahkan halal dan haram. Sebab, hawa nafsulah yang menjadi tuntunan dan tuntutan. Akhirnya, tidak sedikit generasi bangsa bahkan kaum intelektualnya yang terjerat dalam perbuatan jahiliah.

Sistem pendidikan sekuler nyata gagal melahirkan pribadi-pribadi beriman dan bertakwa, berakhlak karimah, dan berintelektual. Generasi yang lahir justru gemar melestarikan budaya feodal yang menghancurkan mental. Generasi problematik yang menambah pelik persoalan sistemik.

Lemahnya kontrol sosial juga menyebabkan kasus perundungan tak kunjung tuntas. Individualisme yang lahir dari rahim sekularisme sukses melunturkan kepekaan individu terhadap persoalan masyarakat. Kasus perundungan yang terjadi pada PPDS adalah contoh nyata, bagaimana perundungan yang diketahui banyak pihak dan berlangsung lama tak kunjung tuntas, bahkan berkembang menjadi budaya.

Negara juga tampak mandul menjalankan perannya sebagai pengurus dan penjaga generasinya. Hal ini tentu tidak terlepas dari paradigma kapitalisme yang memandang negara hanya sebagai regulator semata. Alhasil, alih-alih kebijakan yang ada mampu menuntaskan persoalan generasi, kebijakan yang ada justru kerap menimbulkan persoalan baru.

Inilah wajah suram pendidikan dalam naungan sekularisme. Alih-alih mampu mencetak generasi terbaiknya, generasi yang lahir justru dijerat berbagai problematika. Bukti bahwa sekularisme menjadi biang kerusakan generasi saat ini. Kondisi ini jelas berbeda andai Islam diterapkan secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan.

Islam menetapkan bagaimana karakter sejati seorang Muslim, yakni penuh kasih sayang terhadap sesama Muslim, serta tegas bahkan bila perlu bersikap keras kala berhadapan dengan musuh-musuh Islam, seperti orang-orang kafir. Allah berfirman dalam Surah Al-Fath ayat 29, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.

Baginda Nabi Muhammad saw. juga memerintahkan dan menganjurkan kita agar senantiasa berlaku lemah lembut. Beliau bersabda, “Mudahkanlah dan jangan kalian persulit, berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat orang lari” (HR Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik)

Rasulullah saw. juga memerintahkan kepada umatnya untuk senantiasa memudahkan kesulitan orang lain, “Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim)

Karakter dan sikap mulia tersebut andai ada dalam diri seorang Muslim karena dilandasi oleh takwa niscaya mampu menjadi benteng dalam mencegah perbuatan tercela, seperti perundungan. Karakter dan sikap mulia ini niscaya terbentuk dalam diri seorang Muslim yang berkepribadian islami buah dari penerapan sistem pendidikan Islam.

Sistem pendidikan Islam ini niscaya akan terwujud andai negara menerapkan Islam secara komprehensif dalam seluruh aspek kehidupan. Penerapan sistem Islam secara menyeluruh ini niscaya akan mendatangkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, termasuk masa depan generasi bangsa.

Dalam menjaga generasi, Islam memiliki mekanisme sahih baik preventif maupun kuratif. Dalam aspek kuratif, negara akan menyelenggarakan sistem pendidikan dengan akidah Islam sebagai asasnya. Tujuan pendidikan diarahkan untuk mencetak generasi yang memiliki kepribadian islami, yakni pribadi-pribadi yang berpola pikir dan berpola sikap dengan tolok ukur syariat.

Sistem pendidikan Islam ini niscaya melahirkan generasi terbaik yang paham benar hakikat penciptaannya, yakni untuk beribadah dan taat pada aturan-Nya, serta paham bahwa puncak kebahagiaan adalah rida Allah Swt.. Alhasil, lahir generasi yang tidak hanya matang secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual.

Penjagaan generasi ini akan berjalan dinamis jika fungsi keluarga dan masyarakat juga berjalan dengan baik. Menjadi tugas keluarga membangun fondasi akidah dalam diri anak-anaknya. Fondasi ini sebagai modal dasar untuk mengarungi samudra kehidupan. Keluarga juga harus mampu menjalankan fungsinya sebagai madrasah pertama sekaligus rumah sakit dan kawah candradimuka bagi anak-anaknya.

Masyarakat juga harus mampu menjalankan fungsinya dengan menghidupkan amar makruf nahi mungkar. Aktivitas ini merupakan wujud kepedulian terhadap persoalan generasi bangsa, serta sebagai upaya pencegahan terhadap tindakan yang mengarah pada kerusakan tatanan masyarakat. Aktivitas ini juga merupakan wujud ketakwaan sebagaimana perintah Allah Swt., "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh pada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (TQS. Ali Imran [3]: 104).

Dalam aspek kuratif, negara wajib memberlakukan sistem sanksi sesuai koridor syarak yang tegas dan menjerakan bagi pelaku maksiat dan kejahatan, termasuk bagi pelaku perundungan. Sanksi ini berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir), yakni saat sanksi ini diterapkan maka para pelaku akan merasa jera dan takut mengulanginya lagi, serta menjadi tebusan di dunia sehingga terhindar dari pedihnya siksaan Allah Swt. di akhirat nanti.

Inilah kecemerlangan Islam dalam menjaga generasi umat manusia. Generasi akan senantiasa berada dalam fitrahnya sebagai umat terbaik, para pemimpin masa depan. Sungguh kontras dengan sistem sekularisme-kapitalisme yang terbukti gagal mencetak generasi gemilang. Wallahualam bissawab. []