Ruwet Pilkada, Topeng Demokrasi Makin Terbuka
Idealisme yang awalnya dijunjung tinggi pun bisa dikorbankan
Tidak heran banyak partai yang kehilangan arah, melenceng dari ide dasar berdirinya partai
Penulis Siami Rohmah
Pegiat Literasi
Siddiq-news.com, OPINI -- Suhu politik sedang meningkat, kalaulah tidak mau dikatakan panas. Peningkatan suhu ini terjadi di ibukota hingga daerah. Pasalnya, Komisi Pemilihan Umum RI telah menetapkan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah secara serentak pada 27 November 2024, ini sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, penyelenggaraan pemilihan umum, baik Presiden, Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan secara serentak. (Detik)
Meskipun pelaksanaannya masih bulan November, tetapi tahap persiapan sudah dimulai sejak awal tahun ini, mulai penyusunan anggaran dan disusul pembentukan panitia. Sementara waktu untuk pendaftaran Paslon adalah pada 27 November 2024 sampai 29 November 2024. (KPU RI).
Tahapan pendaftaran yang sudah makin dekat inilah, sedikit banyak yang memicu meningkatnya suhu politik, karena penentuan Paslon yang akan didaftarkan oleh Parpol pengusung belum juga final. Kita ambil contoh Pilkada DKI Jakarta, yang begitu menjadi sorotan nasional. Pasalnya hitungan hari menjelang pendaftaran Paslon, langkah politik Parpol begitu dinamis, cepat sekali berubah-ubah. Mulai Paslon yang akan diusung sampai koalisi antar Parpol. Koalisi gemuk KIM (Koalisi Indonesia Maju) dengan 10 Parpol yang mengusung Ridwan Kamil belum juga mengumumkan Cawagub. Sementara dikubu lain, ada PKS dan Nasdem yang makin ragu mengusung Anies Baswedan. Sinyal yang menguat akan merapat ke koalisi KIM. PDI-P membuka wacana mengusung Anies Baswedan. Hal sepertil ini juga terjadi di daerah.
Tiada kawan dan lawan abadi, istilah ini selalu relevan menggambarkan manuver politik para Parpol ketika menjelang Pemilu. Yang ada adalah kepentingan abadi. Pagi lawan sore bisa jadi kawan, dan sebaliknya. Tidak heran jika Adi Prayitno, Direktur Eksekutif PPI (Parameter Politik Indonesia) meyakini, prinsip utama politik adalah mendapat keuntungan pribadi dan kelompok. Tujuannya mendapat kekuasaan dengan cara apapun. (Liputan 6)
Hal ini dalam demokrasi merupakan hal biasa, bahkan sering terjadi dipusat hubungan antar Parpol memanas, tetapi di daerah mereka begitu mesra. Kekuasaanlah yang menjadi motivasi semua ini. Demi mendapatkan bagian kue kekuasaan, mereka akan melakukan berbagai cara bahkan menghalalkan segala cara. Mulai membuang urat malu, dengan bergandengan bersama lawan, politik uang demi mendulang suara. Idealisme yang awalnya dijunjung tinggi pun bisa dikorbankan, maka tidak heran banyak partai yang kehilangan arah, melenceng dari ide dasar berdirinya partai.
Pertimbangan utak-atik koalisi adalah di mana potensi meraih kemenangan itu ada, maka disitulah mereka merapat. Meskipun ada perbedaan ideologi, perbedaan pandangan, bahkan mungkin perseteruan di masa lalu, semua itu bukan menjadi masalah, asalkan kepentingan bisa terakomodir. Untuk figur yang dicalonkan pun, pertimbangannya adalah siapa yang berpotensi meraih kemenangan. Bukan lagi kapabilitas calon apalagi integritasnya. Di sinilah politik uang bermain. Juga seringkali kita jumpai calon bahkan tidak punya pengalaman sedikitpun dalam dunia politik, misalkan para artis, berbekal ketenaran mereka dicalonkan. Bisa dipastikan ketika berkuasa kebijakan yang diambil akan sesuai apa kata partai pengusung.
Dalam Islam kekuasaan merupakan amanah dari Allah Swt., tujuannya adalah untuk menerapkan hukum-hukum Allah. Benar, para pemimpin dipilih oleh umat, tetapi mereka tidak melaksanakan hukum yang dibuat oleh umat atau oleh penguasa itu sendiri, karena kedaulatan itu ditangan Syarak, yaitu ditangan Allah Swt.. Jadi hanya Allah dan Rasul Nya yang berhak menetapkan hukum.
Kemudian syarat penguasa atau pemimpin di dalam Islam salah satunya adalah memiliki kapabilitas untuk menjalankan amanah kepemimpinan. Kemampuan ini keharusan yang dituntut dalam pengangkatan. Karena dia harus mampu menjalankan urusan-urusan rakyat sesuai Al-Qur'an dan Sunnah. Menyelesaikan seluruh problematika umat sesuai aturan Allah, yang akan membawa keberkahan turun dari langit dan bumi. Jadi memilih pemimpin tidak asal comot. Selain syarat kemampuan, juga ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, dan merdeka.
Semua ini tentu hanya akan sebatas mimpi, ketika kita masih berharap dan berada dalam sistem kapitalisme demokrasi. Keberkahan tentu akan terwujud ketika kita taat pada pencipta dunia ini, yaitu Allah Swt. dalam seluruh aktivitas kehidupan, termasuk dalam menjalankan roda kepemimpinan. Maka tidak ada alasan lagi untuk tidak bersegera menyambut seruan Allah Swt..
"Demi Tuhanmu, mereka hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya." (TQS An Nisa 65)