Islam Mengangkat Derajat Wanita, Bukan Emansipasi
Opini-- Media Sumbar | Ada 2 wilayah kota besar di Jawa Barat yang berhasil meraih predikat tertinggi kota emansipasi wanita. Bandung dan Depoklah dua kota besar tersebut. Dua kota tersebut sering kali jadi sorotan dalam hal kemajuan emansipasi wanita, karena kedua kota ini secara konsisten menunjukkan komitmen terutama di bidang pendidikan dan kesetaraan gender.
Menurut BPS (Badan Pusat Statistic) 2024, angka harapan lama sekolah bagi anak perempuan di Bandung mencapai 14,49 tahun dan data angka harapan lama sekolah bagi anak perempuan di Depok juga cukup tinggi yaitu 14,08 tahun. Apabila dibandingkan dengan angka harapan lama sekolah dengan anak laki-laki di dua kota tersebut, memang angka harapan lama sekolah anak perempuan lebih tinggi (www.ayobandung.com, 6 September 2024)
Emansipasi wanita menurut mereka adalah memperjuangkan hak dan martabat yang setara dengan kaum laki-laki. Emansipasi diartikan juga sebagai proses untuk memberikan hak sosial dan kebebasan, politik dan ekonomi bagi kaum wanita. Tujuannya memang memberikan kesempatan untuk berkembang tanpa menghilangkan jati dirinya, juga memberi kebebasan agar bisa mengenyam pendidikan setinggi mungkin.
Tidak di pungkiri banyak problem krusial kaum wanita saat ini seperti permasalahan kemiskinan, marginalisasi, stigmatisasi, diskriminasi dan kekerasan. Dan kalangan feminis beranggapan semua problem krusial ini berakar dari budaya patriarki yang telah mengakar di masyarakat kita, yang notabene kaum muslim. Budaya patriarki menempatkan lelaki sebagai pusat orientasi, merasa kaum perempuan dipandang sebelah mata dan menjadi subordinat kaum laki-laki. Dan salah satu penyebab kuatnya budaya patriarki itu adalah ajaran agama yang masih dipegang oleh masyarakat, dalam hal ini adalah Islam. Contohnya hukum seputar waris, kepemimpinan laki-laki atas perempuan, inilah hukum yang menomorduakan kalangan perempuan.
Jika kita cermati, kemunculan ide emansipasi wanita ini, salah satu penstigmaan negatif yang di hembuskan oleh Barat terhadap ajaran Islam. Menurut pandangan mereka Islam memasung kebebasan kaum wanita, tidak menghargai kedudukannya, tidak adil dan menjadikannya sebagai manusia kelas dua yang terkungkung dalam penguasaan kaum laki-laki, sehingga wanita hidup dalam kehinaan. Islam adalah hambatan utama bagi perjuangan kesetaraan gender menurut mereka.
Mirisnya, sebagian kaum muslimin yang telah kehilangan jati dirinya ikut terpengaruh dengan pandangan mereka. Bukannya membantah mereka malah menjadi bagian dari penyebar pemikiran tersebut. Tujuan mereka ini sama, ingin kaum muslimah melepas nilai-nilai harga diri yang selama ini dijaga Islam, di bawah kampanye emansipasi wanita dan kesetaraan gender.
Mereka memperjuangkan kesetaraan gender ini tanpa memandang bangsa, ras dan agama sehingga emansipasi masih dianggap sebuah nilai universal. Padahal jika kita teliti dan telaah secara seksama jelas ini bukan ide universal, ide ini adalah akar dari sejarah Barat dan pengalaman dari para feminis barat. Semua ini lahir karena adanya penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan di berbagai negara termasuk negara Barat.
Karena adanya penindasan dan diskriminasi inilah yang menyebabkan perempuan Barat menuntut keadilan dan kesetaraan. Mereka menuntut kemandirian dan kebebasan, mandiri dalam sikap dan pengelolaan hak milik mereka baik harta maupun tubuh (diri) mereka sendiri, dan bebas dari dominasi laki-laki. Dan propaganda inilah yang berhembus di negeri yang mayoritas penduduknya muslim, yaitu negeri-negeri Islam.
Dengan sengaja, kalangan mereka menyebar opini bahwa hukum-hukum Islam mengekang kebebasan kaum wanita, semisal dengan menganggap jilbab sebagai bentuk diskriminasi dan kekerasan karena memaksa wanita berpakaian muslimah yang bisa jadi tidak di sukai.
Kelahiran ide kesetaraan gender ini seiring dengan kemunculan kapitalisme sejak abad 18. Ide keseteraan gender atau emansipasi wanita ini cukup menggiurkan kaum muslim yang haus akan perjuangan bahkan mereka menghubungkan ide kesetaraan gender ini dengan Islam. Para pemikir feminis bangga menyebut diri mereka sebagai feminis muslim. Mereka memahami visi feminisme seperti konsep emansipasi wanita spirit pijakannya adalah ajaran Islam. Padahal jika kita lebih jeli menilai dan meneliti anatara spirit Islam dan feminisme, disisi manapun akan menemukan pertentangan yang sangat jauh.
Andai mereka tahu bahwa umat terdahulu berada dalam kegelapan sebelum Rosulullah datang menerbitkan cahaya Islam dengan risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw. Sebelum Islam datang, kaum wanita dianggap hina oleh seluruh umat manusia. Jangankan dianggap mulia, dipandang sebagai manusia saja tidak.
Orang Arab dimasa itu biasa mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup tanpa kesalahan dan dosa, hanya karena mereka seorang wanita. Bahkan orang Arab memberikan hak atas seorang anak untuk mewarisi istri ayahnya. Sementara itu, Yunani menganggap wanita hanya sebagai sarana kesenangan saja. Ada juga yang memberi hak seorang ayah atau suami menjual anak perempuan atau istrinya, semua itu terdapat di orang-orang Romawi. Semua itu juga terjadi di Hindia, Persia dan negeri-negeri lainnya.
Berbeda dengan Islam. Aturan Islam menjamin hak wanita, menjaga dari segala hal yang bisa menodai kehormatannya, merendahkan martabatnya dan menjatuhkan wibawa kaum wanita. Wanita ibarat mutiara yang mahal dalam aturan Islam, menempatkkannya sebagai mahluk mulia yang harus dijaga dan atas dasar inilah sejumlah aturan ditetapkan Allah swt. Supaya wanita bisa menjalankan peran sebagai pendidik generasi umat, karena wanita adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya.
Sudah saatnya kita sadar, tidak ada satu alasan kaum muslim ikut-ikutan memperjuangkan feminisme yang mengusung ide kesetaraan gender, mempropagandakan, apalagi mengadopsi pemikiran mereka. Islam adalah agama sempurna dengan seperangkat aturan untuk mengatur alam, manusia dan kehidupan. Karena itulah Islam begitu sempurna dalam memecahkan problematika umat. Wallahualam bishawab
Penulis : Yuli Yana Nurhasanah