Maulid: Meneladani Kepemimpinan Nabi
Kembali menerapkan syariat secara menyeluruh, kembali menjadikan Islam sebagai sistem adalah wujud sesungguhnya dari meneladani Rasulullah
Oleh. apt. Siti Nur Fadillah, S.Farm
Kontributor Media Siddiq-News
Siddiq-News.com, SYIAR-Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rasulullah dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, yang dengannya akan memenangkan seluruh agama. Serta menjadikan beliau sebagai saksi, pemberi kabar gembira, dan pemberi peringatan. Sebagai pelita dan penerang dari masa keburukan menuju keimanan.
Maha Suci Allah yang telah menakdirkan kita sebagai umat Nabi Muhammad saw.. Umat yang memiliki banyak keistimewaan, hingga membuat Nabi Adam dan Nabi Musa Al-Kalimullah iri. Umat yang disebut Allah sebagai umat terbaik apabila menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah. Umat pemimpin para Nabi yang mukjizatnya akan tetap ada hingga hari kiamat nanti.
Merupakan bagian dari keimanan untuk mempercayai setiap ajaran yang Rasulullah bawa. Termasuk berita tentang runtuhnya Islam, buruknya kepemimpinan di akhir zaman, dan kembalinya Islam sesuai manhaj kenabian.
Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu, berkata: “Sesungguhnya Nabi bersabda: ‘Kenabian akan menyertai kalian selama Allah menghendakinya, kemudian Allah mengangkat kenabian itu bila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian (khilafah 'ala minhajin nubuwwah) pada waktu Allah menghendakinya. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang kerajaan yang menggigit dalam waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya dan diganti dengan kerajaan yang memaksakan kehendaknya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian.’ Lalu Nabi diam.” (HR Ahmad, al-Bazzar, Abu Dawud, al-Baihaqi, dan lain-lain)
Juga termasuk bagian dari keimanan untuk senantiasa berupaya mengembalikan jati diri Islam seperti sediakala. Kaum yang dikenal sebagai pemenang, mencintai kematian melebihi cinta orang-orang kafir terhadap dunia. Jati diri yang hilang bersama dengan runtuhnya Islam, yang kini tinggal menyisakan kaum jauh berbeda kualitasnya dengan para sahabat yang hidup dekat dengan zaman Rasul.
Hilangnya Teladan Memaknai Syahadat
Terdapat perbedaan besar antara kualitas para sahabat pada zaman kejayaan Islam dengan kaum Muslim saat ini. Yaitu mentalitas mereka dalam memaknai syahadat. Para sahabat paham betul makna kalimat asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah bukan hanya “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah”. Namun, ada makna lebih dalam yang akan menjadi penentu kualitas akidah dan apa-apa yang akan lahir daripadanya.
Dalam bahasa Arab, terdapat perbedaan mendalam antara Rabb (Tuhan) dan Illah (Sesembahan). Ketika orang-orang Arab jahiliyah ditanya “Siapa Rabb-mu?” maka mereka akan menjawab Allah adalah Rabb-nya. Namun, ketika “Siapa sesembahanmu (Illah)?” maka jawaban mereka adalah Latta, Uzza, Manath, atau Hubbal. Bahkan sebelum diutusnya Rasulullah, orang-orang Arab tersebut tahu bahwa Tuhan mereka adalah Allah. Meski begitu mereka tetap mencari sesembahan sebagai perantara yang dapat menghubungkan mereka dengan Allah. Dengan kata lain, mereka mengakui Allah sebagai Tuhannya, tetapi tidak mau menyembahnya. Mereka tidak mau tunduk pada aturan Allah sebagai wujud penyembahan.
Kondisi ini terus berlangsung hingga lahirnya Rasulullah, teladan terbaik, di antara mereka. Kehadiran beliau mampu merombak pemikiran jahiliyah dan menggantinya dengan Islam. Meluruskan segala hal yang bengkok, menyeru pada kebenaran, dan mengajarkan konsekuensi hakiki dari syahadat. Yaitu menjadikan Allah sebagai Tuhan dan sesembahan, serta tunduk patuh pada syari’at-Nya. Tidak boleh ada penyangkalan maupun pengingkaran. Karena alasan inilah kualitas kaum Muslim pada zaman Rasul tidak perlu diragukan lagi. Setiap tidak tanduk mereka merupakan cerminan syari’at yang dicontohkan Nabi.
Sayangnya keadaan tersebut tidak lagi dijumpai pada kaum Muslim saat ini. Hilangnya teladan terbaik, ditambah besarnya kecintaan terhadap dunia, telah menggeser makna syahadat 180 derajat. Mereka memang masih mengakui Allah sebagai Tuhannya, masih mau melaksanakan shalat, zakat, puasa, dan haji. Namun, syariat Allah yang mengatur tentang masalah sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan tidak lagi mereka hiraukan. Padahal syariat tersebut sama kedudukannya, berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Semuanya wajib dilaksanakan sebagai bentuk penyembahan.
Alhasil saat ini bisa kita saksikan kaum Muslim tidak lagi terlihat keislamannya. Sekularisme telah merasuki jiwa kaum Muslim. Mereka terpuruk, terbelakang, dan menjadi sasaran kebencian. Mereka sangat mudah terprovokasi dan terpecah belah. Sebab Al-Qur'an dan Sunnah tidak lagi menjadi rujukan hidup bernegara dan bermasyarakat. Maka terbukti sudah perkataan Menteri Pendudukan Inggris, Gladstone, dalam Majelis Parlemen Inggris, “Selama Al-Qur'an berapa di tangan kaum Muslimin, kita tidak akan bisa menguasai mereka. Oleh karena itu, kita harus melenyapkannya atau memutuskan hubungan kaum Muslim dengannya.”
Kembali Meneladani Rasulullah Secara Utuh
“Mengembalikan segala sesuatu sesuai tempatnya” merupakan kunci utama untuk mengembalikan marwah Islam selayaknya pada zaman kejayaannya dulu. Kembali memaknai maulid Nabi dengan kembali menjadikan Rasulullah teladan dalam kehidupan. Kendati 14 abad sudah Rasulullah meninggalkan kita, Al-Qur'an dan Sunnah yang beliau tinggalkan akan menunjukkan jalannya. Maka kembali menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai aturan, kembali menerapkan syariat secara menyeluruh, kembali menjadikan Islam sebagai sistem adalah wujud sesungguhnya dari meneladani Rasulullah.
Dan tidak ada yang dapat menjamin kembalinya Islam secara utuh, kecuali melalui kembalinya Khilafah Islamiyah. Sistem kepemimpinan yang telah dicontohkan Rasulullah di Madinah Al-Munawarrrah. Kepemimpinan yang mampu menyatukan aspek spiritual dan politis, menjamin diterapkannya hukum Allah di atas muka bumi dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh alam. Dengan Khilafah, Islam mampu bangkit dengan cepat dan menjadikannya sejajar dengan dua imperium besar dalam kurun waktu 50 tahun saja. Dengan Khilafah, lahirlah generasi salaf yang mencintai kematian melebihi kecintaan terhadap dunia.
Oleh karena itu, keruntuhannya pada Maret 1924 menjadi awal petaka bagi kaum Muslim. Terkikisnya akidah, kerusakan sosial budaya dan politik, kehancuran ekonomi, matinya keadilan dan hukum, merupakan sebagian kecil dampaknya. Maka cukuplah petaka ini menjadi pemantik kita untuk kembali meneladani Rasulullah secara utuh. Yaitu dengan berdakwah menyebarkan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. Seperti yang Rasulullah lakukan dan sumpahkan,
“Demi Allah, apabila
mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar
aku menghentikan dakwahku, aku tidak akan menghentikannya sampai Allah
memberikan kemenangan atau aku mati karenanya!” (HR Ath-Thabari).
Wallahualam bissawab. []