Berkas-Berkas Rindu

Daftar Isi


Oleh Candelari Athaya

Penulis dan Kontributor Media Siddiq-News.com


"Sebuah usaha melepaskan dalam ikhlas. Lalu berjuang untuk terhunus."


Kehilangan. Satu kata yang setiap kita pernah merasakan. Aku tidak menanyakan seberapa sering kau kehilangan jarum pentul atau peniti di nakas kamarmu. Atau kehilangan receh di langkah sibuk harimu. Tapi, pernahkah kau merasakan kehilangan paling berarti? Yang membuat nafasmu menderu, memancing detak jantungmu menggebu, mengamati rasa tersentak lalu sesak dalam dadamu. 


Kau ingin baik-baik saja, ingin tegar dan tak apa-apa, tapi lagi-lagi matamu berkhianat tanpa ada tanda sedikit pun. Derai sudah menyala kain di tangan, isak tak terputuskan, tenggorokan terasa tercekik kenyataan, panas mata membara hingga perasaan di sini?


Sekali dalam mimpi, itu menceritakan kisah-kisahku, tentang kehilangan paling pilu. Entah besok atau lusa kehilangan apalagi yang akan mengalahkannya. Entah apalagi yang akan mengunggulinya. Entahlah.


Hanya saja, yang akan kutuliskan bukan tentang kisahku saja, ini hanyalah tentang sudut pandang terbaik setelah itu kulalui dengan drama dan selautan air mata. 


Tidakkah kehilangan itu menyiksa? Kau seperti diberi harapan memiliki sebelum akhirnya utuh, dan Tuhan merampasnya dengan hati hati. Tenang, bukan tak menerima kenyataan hanya saja, jika boleh jujur, tidakkah rasa ini sama seperti yang kau rasakan terlebih dahulu? Atau mungkin hari ini?


Entah sudah purnama ke berapa kita telah lalui menuju ikhlas yang sebenar, tentang melepaskan tanpa rasa sakit, tanpa sesal dan mengantarnya dengan senyum terbaik. Entah, sudah judul cerita yang kita tulis untuk menghitung diri dari mengingat masa silam, kehilangan yang harus diterima tanpa menerima. 


Sedikit saja hati pernah terluka, terbuai sakit dan kecewa, terjerembab dalam rintihan pilu menolak segalanya. Karena mata telah diburamkan airnya, karena hati tertutup kabut dari lukanya. Jangan lupa untuk melihat dengan seksama, merasa sebaik-baiknya. Tentang iman dan rencana Tuhan.


Rindu. Ada berkas-berkas rindu yang menelisik jauh di dalam hatiku, semoga begitupun dengan keterbatasan. Menyibak memori terlebih dahulu, saat iman masih kukuh menggebu. Saat dimana segala arah hanya tertuju pada rencana Tuhanku dan Tuhanmu. Menerima segala apa yang ia anugerahkan, menyabari, menyukuri, memuhasabahi segala apa yang ia beri.


Kini, aku kehilangan jati diri, karena ke-aku-an yang mengungkung pikiran dan nurani, merasa memiliki padahal hanya dititipi. Merasa berhak padahal hanya sekedar cap. Merasa mampu, padahal diri tidak pernah utuh. Nyatanya, Tuhan amat siap menjatuhkan diri yang meninggi. Bukan tak sayang! Bukan! Hanya saja, kutahu bahwa Ia sedang memberi peringatan. Tidakkah itu tanda ia sayang? Apakah Anda juga telah merasakan?


Kudapati diri yang hina berdiri tegak pada keangkuhan. Memilih jalan hidup untuk jauh dari aturan dan kugaungkan. Lalu menganggap bahwa semua baik-baik saja. Diterpa angin segar paham sekularisme membuat jiwa bebas ke-hewan-an dalam diri meronta keluar mencari eksistensinya. 


Tidakkah kaum muda berada di zona yang sama hari ini? Atas nama kebebasan, hak dan atau apalah! Hidup hanya untuk bersenang-senang tanpa beban. Tapi setelahnya? Mereka terpuruk, jatuh sedalam-dalamnya. Terjerembab senista-nistanya. Merasa bahwa tak pernah lepas dari rantai masalah demi masalah. Bahkan pernah terfikir setelah berfoya, maka mati adalah jalan akhirnya. Huft.. Kini, Tak ada ruang untuk iman lagi, tak ada tempat untuk sudut pandang kebajikan lagi.


Hilang, kehilangan arah. Tersesat dalam hutan bilur fitnah yang mencekam, setiap iramanya dibentuk dalam duniawi. Setiap gemerlap semunya membutakan mata dan hati nurani. Maka lahirlah manusia tanpa hati, tanpa tuju dan tanpa iman di dada. Kini, lihatlah ada berapa banyak manusia yang menghinakan dirinya. 


Berpakaian tapi telanjang. Atas nama hak, mereka memamerkan anugerah Tuhan dengan Murahnya.. Berpacaran hingga kebablasan. Atas nama hak, mereka menggadaikan kehormatan atas nama cinta yang miskin pertanggungjawaban. Memakan yang haram. Atas nama hak, cita rasa adalah utama, tentang apa dan bagaimananya adalah hal tak penting, tiada guna. Apakah benar, dunia baik-baik saja? Apakah kita benar-benar baik-baik saja?


Bukan hanya sebatas iman, tapi tentang keteraturan yang hilang. Bukan hanya hidup, tapi tentang kemanusiaan yang banyak ditinggalkan. Bukan hanya seputar "katanya", tapi tentang simpati yang banyak ditepis dengan keegoan. Kadang-kadang diri yang kini berwajah fitnah merasa tidak sadar akan kehancurannya, lalu diiringi kata "lalu mau gimana lagi?" atau "sudah sehancur gini, sudah terlanjur bubur tak bisa dijadikan nasi lagi!". Seakan kehancuran itu yang menghampirinya. Dalam satu waktu diri menyadari salah, lalu menyalahkan situasi dan kondisi yang kini ia pijak ke atas. Ngeri bukan?


Seberkas rindu hadir kini, merindui masa gemilang, yang minim akan dikejar. Rindu akan situasi dan kondisi yang takkan dipersalahkan. Rindu dari menepis fitnah-fitnah yang menerjang. Rindu akan kehidupan yang tenang, berdatangan.


Yah, berkas rindu akan kehilangan paling memilukan. Nyatanya bukan tentang kehilangan orang tersayang, tapi kehilangan harapan pada generasi tak peradaban yang kini berada pada ujung kehancuran. Hilang sudah serial. Hilang sudah cahaya kemenangan, sebab generasi termabuk oleh kemilau dunia, menghamba pada harta, tahta, toyota dan ta lainnya.


Diri, tersentak dalam lamunan pilu. Adakah jalan kembali dari ketersesatan ini? Dari menduakan Sang Pencipta? Membuat aturan bagi diri dan mencampakkan aturan-Nya. Merasa paling tahu dan paling tepat dalam hal memimpin rasa dan pikir. 


Nyatanya diri benar-benar dalam kungkungan nista berkepanjangan. Menjadi bagian dari generasi yang membohongi diri sendiri atas nama memenangkan kehidupan. Faktanya, sebelum langkah merealisasikan rencana "kebebasan diri", hidup telah kalah oleh-Nya. Terperangkap oleh dua rencana yang gila, rencana kita dan Dia. ah, bodohnya. 



Tuhan... bimbing langkah kami untuk menemui ikhlas, melepas diri yang berselimut ego duniawi. Tunjuki langkah kami untuk kembali pada fitrah diri. Hantarkan hati kami pada ikhlas menerima ketentuan-Mu setelah melepaskan keangkuhan itu. Kami rindu, pada diri yang berserah pasrah. Kami rindu, pada masa dimana setiap insan menerima cinta tentang aturan dan pengaturan dari-Mu. 


Di sini, di ruang dunia yang dipimpin keserakahan ini, berkecamuk fitnah demi fitnah menghujami diri, menggoyahkan kekokohan hati.

Di sini, di sudut kotor maksiat duniawi, diri-diri kami berjuang untuk bertahan dalam kewarasan, dalam menggenggam iman sepanas bara api.

Tersibak lembaran sejarah yang menyilaukan, tertulis indah dengan tinta emas, sebagai cerita paling membanggakan. Tentang kemuliaan, keagungan dan kesejahteraan bak dongeng. Tapi, kehadirannya nyata tak terelakkan.


Jika memang diri tak terlahir di masa kejayaan itu, jikapun Allah kehendaki merasai akhir zaman ini. Semoga berkas-berkas rindu itu berbalas indah dalam tuntunan keridaan-Nya. Merasai perjuangan dan prestasi berkat dari utusan dan pengikutnya.


Mengikhlaskan diri bersua fitnah untuk terhunus gagah menerjang tanpa goyah. Laksana Nusaibah yang menjadi tameng dan pedang sebuah kebenaran mulia. Laksana ibunda Khadijah yang menjadi jembatan terpancarnya cahaya ke banyak wilayah. Laksana Fatimah yang setia dalam bimbingan bimbingannya.


Merampas paksa ego diri untuk ditanggalkan sejak hari ini. Memalingkan wajah dari kemilau dunia yang menyilaukan naluri. Mengembalikan tadah pada Sang Pemilik semesta dan diri. Meski berat, sulit dan pelik bahkan pada sakit yang teramati. Terhunuslah dengan gagah tanpa ada yang mampu menggoyah.


Sebab generasi banyak menghamba dunia, maka ikhlaslah mewakafkan diri untuk menjadi baik di antara kami. Jika hanya ada satu kebaikan di dunia ini sekalipun, maka teriakan pada hati kecilmu, tepuk dada dan tampar wajahmu.


"Sadarlah! Satu itu adalah dirimu."

Dan jadilah sebaik-baik ikhlas menuju terhunus.


Jeneponto, 26 Oktober 2022

Dalam dekap malam yang mencekam. Semoga Allah muliakan.