Minta Jabatan, Bukan Tradisi Islam

Daftar Isi

 


Shiddiq-news.com-Riuh gemuruh percaturan politik demokrasi begitu aneka ragam ketika menjelang pemilu. Kegiatan silaturahim, doa bersama, bakti sosial dan gerebek pasar menjadi cara ampuh memukau masyarakat menengah ke bawah. Tampilan asesoris agama juga tak kalah cetar, ikut mewarnai suasana hangat ramah tamah. 


Harapan perubahan dengan janji manis melayani umat disampaikan penuh percaya diri. Hal ini untuk menguatkan visi misi perjuangan bangsa agar menjadi besar dan terhormat di mata dunia. Dunia dan manusia yang menjadi tujuan akhir perjuangannya. Tidak heran apabila di antara mereka para kandidat pimpinan bangsa menjadi pelupa begitu rakyat mengangkatnya ke singgasana dan menggelarinya sang ketua.


Dukungan terhadap Ganjar Pranowo sebagai calon presiden pada Pilpres 2024 mulai mengalir dari Kabupaten paling ujung barat Pulau Madura, kabupaten Bangkalan. Belasan kiai dari perwakilan pondok pesantren dan puluhan santri berkumpul dalam bingkai doa bersama 99 kiai dan santri untuk Ganjar Pranowo agar segera mendapatkan partai pengusung. 


Seperti dikutip dari Tribunnews.com, 2/11/22, salah satu kiai yang hadir pada kesempatan itu, KH Imron Fatah pelindung Ponpes Manbaus Salam Bangkalan. KH. Imron menyampaikan bahwa tidak kenal dengan pak Ganjar, tetapi istrinya yang punya hubungan emosional dengan warga NU.


Kunjungan para tokoh yang banyak disebut-sebut oleh media akan menjadi kandidat capres di pemilu 2024 ke Madura semakin marak dilakukan, termasuk kunjungan ke para ulama, kiai dan kalangan pesantren. Madura yang terkenal pulau seribu pesantren telah menjadikannya sebagai dermaga politik praktis. Sebab kultur masyarakatnya yang manut dan percaya sepenuhnya pada ulama dan kiai. Hal ini patut diduga kuat bahwa agenda kunjungan semacam ini merupakan upaya untuk menjajaki dan meningkatkan elektabilitas mereka di mata publik, dalam rangka menjaring dukungan sebanyak-banyaknya.


Selain itu, kegiatan ini juga menjadi ajang untuk mencari partai yang akan mengusung mereka di pemilu nanti.


 Kontestasi politik demokrasi kapitalis yang membuka peluang kemenangan modal besar dan jual beli jabatan, tentu saja menuntut adanya lobi-lobi kepentingan partai dengan calon kandidat untuk menguatkan pengaruhnya atas keberpihakan rakyat. Hal itu sesuatu yang biasa dalam sistem demokrasi, yang dasarnya adalah kedaulatan di tangan rakyat. Sehingga memungkinkan terjalinnya kesepakatan-kesepakatan yang menyalahi syariat. Sebuah relasi yang dibangun atas dasar bisnis. Pelayanan penguasa terhadap rakyatnya lebih mengutamakan pembangunan materi dan teknologi dari pada manusianya.


Maka, patut disangsikan bahwa para capres dalam sistem demokrasi nantinya benar-benar akan melayani kepentingan rakyat. Seperti yang sudah-sudah, jangan-jangan kepentingan partailah yang lebih diutamakan. Sebab partai telah mengakomodasi naiknya kandidat baik dengan jalan menggemukkan modal maupun memancing derasnya dukungan. Akhirnya menjadi utang jasa yang harus ditebus dengan penyelewengan kekuasaan.


 Memanjakan kepentingan partai demi memuaskan keinginannya. Sebagai konsekuensinya, lahirlah banyak regulasi yang tidak pro rakyat tapi justru pro pemodal. Rakyat dibuntungkan dan pemodal berlenggang menikmati miliknya dalam jaminan undang-undang.


 Pemandangan seperti ini telah berulang dan terus terjadi. Semenjak negeri kita Indonesia menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi. Bahkan paling demokratis di dunia.


Bandingkan dengan pemilihan pemimpin dalam sistem Islam yang mudah dan tidak menyandera para calon penguasanya. Di mana kualitas mereka tidak diragukan lagi oleh umat, kesalehan pribadiannya dan kemampuannya. Orang-orang terbaik di tengah-tengah umat terbina agar tidak dekat kekuasaan apalagi menginginkannya. Sebab beratnya tuntutan Islam tentang amanah dan tanggung jawab kepemimpinan, baik di dunia maupun di akhirat. Kalaupun mereka maju lalu terpilih, itu semata panggilan ketaatan kepada syariat Allah Swt dan memikul kewajiban menegakkan hukum Allah di antara nanusia. 


Imam Al-Mawardi dalam "Al-Ahkamu as-Sulthaniyah" memaparkan tujuan kepemimpinan dalam Islam: "Kepemimpinan adalah satu tema yang bertujuan menggantikan Kenabian. Fungsinya adalah menjaga Agama (keberlangsungan akidah, syariah dan akhlak) dan mengatur urusan dunia (negara dan kekuasaan)."


Oleh karena itu, mengangkat pemimpin adalah kewajiban sebagaimana kesepakatan ulama salafus shalih. Namun, kepemimpinan tidak berarti identik dengan meminta jabatan dengan kesepakatan-kesepakatan. Tapi penyerahan kekuasan oleh umat yang secara suka rela. Sebab kemampuan dan kuatnya mengemban amanah. 


Sebagaimana diriwayatkan, sahabat Abi Dzar al-Ghifari meminta jabatan dan Rasulullah saw bersabda: "Kamu lemah (memegang jabatan) padahal jabatan adalah amanah. Pada hari kiamat adalah kehinaan dan penyesalan kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan tugas dengan benar." Dalam riwayat yang lain Rasulullah saw bersabda: "Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan pada orang yang meminta jabatan." (HR. Muslim)


Tradisi meminta jabatan tidak akan pernah terjadi dan ditemukan pada sistem yang sahih. Sistem yang menjadikan Al-Quran dan sunah sebagai pegangan sebagaimana kepemimpinan khulafaur rasyidin yang mendedikasikan pengurusannya untuk Islam dan kemuliaan kaum Muslimin. Sebab tradisi meminta jabatan adalah kehinaan yang berujung penyesalan dan hancurnya peradaban. 


Islam agama rahmat bagi seluruh alam, tentu akan sangat menjunjung harkat dan martabat manusia dengan hanya memberikan pengurusan umat pada sosok takwa yang mengkhidmahkan hidupnya untuk tegaknya hukum-hukum Allah di hamparan bumi-Nya. 


Wallahu a'lam bishawwab


Penulis: Liza Khairina

(Kontributor Shiddiq-news.com)