Cerdas Menyikapi Isu Terorisme

Daftar Isi

Siddiq-news.com--Berakhirnya perang dingin tidak lantas menjadikan dunia lepas dari konflik ideologi. Kalahnya kubu komunisme dan menempatkan Amerika sebagai pemimpin dunia menjadikan negara ini leluasa untuk menguras sumber daya alam di berbagai negeri. Tantangan selanjutnya bagi Amerika adalah keberadaan ajaran Islam dan kaum muslimin yang menjadi batu sandungan terbesar bagi imperialisme gaya baru. Umat Islam harus dilumpuhkan, berbagai macam propaganda dan upaya pelemahan terus dilakukan, salah satunya adalah perang melawan terorisme yang menyasar umat Islam tak terkecuali Indonesia sebagai negeri mayoritas muslim. 


Dilansir dari cnnindonesia, (9/12/2022), paska ledakan bom di Polsek Astana Anyar pada Rabu, 7 Desember 2022, yang menewaskan seorang anggota kepolisian dan melukai sepuluh orang lainnya, isu terorisme dan radikalisme kembali terangkat ke permukaan. Setelah  sebelumnya publik sempat diramaikan dengan isu pengesahan RUU KUHP yang penuh dengan pasal kontroversial yang mengancam kebebasan publik. Pelaku peledakan yang turut meninggal dalam kejadian tersebut diketahui adalah warga binaan BNPT, meninggalkan jejak  berupa selembar kertas yang menempel pada sepeda motor yang menunjukkan motif pelaku. Lagi-lagi akibat pesan itu tuduhan bahwa ajaran Islam radikal mendorong tindakan terorisme kembali muncul. 


Radikalisme ditenggarai sebagai akar dari terorisme. Paham ini sendiri sebenarnya bisa muncul dari agama, sikap kebangsaan, ras, suku, dan ideologi. Sebagaimana tindakan terorisme yang bisa dilakukan oleh kelompok manapun, baik agama, ideologi ataupun separatisme seperti yang tejadi di Papua. Hanya saja sebuah isu muncul pasti ada sasaran yang ingin diraih, atau target yang ingin disasar. Sejak awal isu ini selalu dikaitkan dengan jamaah Islam yang menginginkan tegaknya syariat, pro ajaran jihad dalam makna perang dan persatuan umat Islam. Radikalisme yang tadinya netral menjadi mengarah pada umat Islam dan ajarannya. Hal ini dikarenakan amplifikasi yang dilakukan oleh media dan provokator yang mengaitkan  Islam dan terorisme. 


Tidak bisa dipungkiri sejak runtuhnya gedung World Trade Center (WTC), Amerika terus menyuarakan perang melawan terorisme yang diarahkan kepada Islam. Sebagai punggawa ideologi kapitalisme, negara ini tidak kenal lelah untuk menghambat kebangkitan kaum muslimin. Sebagaimana prediksi Samuel Hutington dalam bukunya Clash of Civilization menyebutkan bahwa konflik Islam dan Barat merupakan konflik yang sebenarnya. Agama ini merupakan tantangan dan ancaman bagi kapitalisme paska keruntuhan Uni Soviet. 


Isu terorisme dan radikalisme yang dialamatkan kepada umat Islam adalah propaganda kaum kapitalis untuk merusak ajaran agama dan digantikan dengan Islam yang lebih ramah terhadap Barat. Di sisi lain pemahaman umat terhadap jihad dan syariat tidaklah utuh, anggapan bahwa tindakan teror di tengah masyarakat damai adalah amal jihad yang bersumber pada lemahnya pemahaman terhadap syariat. Lagi-lagi hal ini karena pola pendidikan yang diterapkan tidak mampu mencerdaskan kehidupan umat. 


Tindakan teror yang mengakibatkan korban jiwa tidak dibenarkan dalam Islam. Hal ini karena tidak ada alasan yang bisa dibenarkan oleh hukum syara untuk melakukannya.  Umat Islam di Indonesia tidak dalam konteks peperangan dengan orang kafir penjajah. Tindakan semacam ini merupakan keharaman. Rasullullah Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika haji Wada: 


“Ketahuilah ada empat hal (yang paling penting), yaitu janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan untuk membunuhnya kecuali dengan hak, janganlah berzina, dan janganlah mencuri” (HR. Ahmad)


Adapun upaya penegakkan syariat maka wajib dilakukan dengan dakwah, bukan dengan mengangkat senjata apalagi melakukan teror. Perjuangan yang harus dilakukan adalah dakwah yang mengubah pemikiran, perasaan dan peraturan umat. 


Mengaitkan terorisme dengan ajaran Islam adalah keliru. Syariat telah mengatur damai dan perang secara menyeluruh beserta aspek-aspeknya. Tidak serampangan seperti para pelaku teror melakukan pembunuhan dan peledakan. Bila fikih jihad dipelajari secara baik, maka akan tergambar betapa Allah Swt. telah mengatur peperangan secara adil, kehormatan dan jiwa umat akan terlindungi. Jadi betapa aneh jika para mujahid di Palestina yang berjuang melawan negara penjajah Israel malah dilabeli sebagai teroris, hal ini menunjukkan terorisme ini adalah isu mainan negara penjajah seperti Amerika dan Israel. 


Bila selama ini faktor internal seperti keyakinan dan pemahaman menjadi aspek yang terus dikaitkan dengan tindakan terorisme, maka seharusnya patut diperhatikan pula faktor eksternal seperti penjajahan negeri muslim, ketidakadilan terhadap kaum muslimin, pelecehan ajaran Islam, penghinaan pada Rasulullah yang banyak dilakukan oleh negara-negara barat patut menjadi pendorong tindakan reaktif sebagai umat Islam. Faktor pencetus eksternal yang selama ini terus terjadi tanpa ada pihak pihak yang membela dan melindungi umat. Saat muncul reaksi membela agama, tuduhan intoleran, radikal dan teroris pasti akan segera dilayangkan. 


Inti permasalahan terorisme terletak pada dua faktor tersebut, faktor internal terkait dengan salah dalam memahami ajaran Islam sehingga terjebak pada kesalahan, dan yang kedua adalah faktor eksternal yaitu adanya upaya untuk merekayasa perasaan umat sehingga bertindak reaktif agar mudah dilabeli radikal dan teroris. Ada beberapa solusi untuk mengatasi isu ini: Pertama, menanamkan kesadaran politik. Harus ada upaya membongkar skenario dan makar Barat dalam isu terorisme dan radikalisme agar diketahui secara terbuka oleh umat Islam. Umat Islam harus disadarkan bahwa isu ini adalah bagian dari upaya Barat untuk memerangi Islam. 


Kedua, membina umat dengan pemikiran Islam. Upaya yang sistematik dan berkesinambungan dalam membina umat dengan pemikiran Islam. Memberikan gambaran utuh tentang Islam serta menyampaikan seluruh ajaran Islam tanpa kecuali, mulai dari akidah, ibadah, syariah. Mendakwahkan seluruh ajaran Islam, tidak boleh berhenti, apapun risikonya. 


Ketiga, memiliki kekuatan politik untuk menghadapi propaganda musuh Islam. Agar pertarungan melawan Barat menjadi seimbang, umat Islam harus memiliki kekuatan politik. Karena tanpanya, umat Islam akan terus menerus menjadi korban bulan-bulanan dan sasaran Barat. Kekuatan politik Islam yang akan dapat mengimbangi bahkan mengalahkan hegemoni Barat adalah negara yang menerapkan syariat dan melindungi umat Islam.

Wallahualam bissawab.


Penulis: Ummu Fatiha

Ibu Rumah Tangga