Dalam Dekapan Sekularisme

Daftar Isi


Siddiq-news.com--Seringkali, kaki terhenti dari melangkah. Sementara waktu yang dilalui telah panjang membentang ke belakang, letih dan payah, luka dan banyak air mata telah menjadi warna pada kanvas hidup yang dahulu putih. 

Kini, segelumit masalah paling rumit, menggamit, merayap pada pikir dan hatinya. Mengacaukan rencana yang telah disusun dengan sulit. Memporak-porandakan perasaan yang lama dibina, untuk tetap stabil. Getir-pahit sekali rasanya.


Apatis, individualis, egois ternyata melumat diri dari dalam. Tanpa disadari, lalu mengoyak semua yang berperan penting untuk bertahan hidup. Terlihat baik-baik saja, sementara mental dan keberaniannya telah lama luruh tak bersisa. Dibalik senyum dan tawa renyah ia sembunyikan luka dan tangisnya.


Berulang berucap pada diri semua baik-baik saja. Tak apa-apa, memang hadirnya diri tak pernah bernilai dan memiliki arti. Berulang menanamkan maklumat getir soal diri, seakan hidup hanya tentang kesendirian, kesakitan, dan kehancuran hidup yang tak ia sadari asalnya dari mana.


Tatapan nanar saat melihat pantulan diri di hadapan. Menyiratkan siksa tak terdefinisi yang ia tanggung sendiri. Terluka dengan alasan yang tak pasti, dihancurkan oleh kondisi yang tak disadari.


Racun mematikan ini bernama kebebasan memilih. Terlihat menawan dan menggiurkan untuk dicicipi. Berhias banyak kenikmatan duniawi. Gemerlap yang selalu didambai. 

Kaki membawa diri mendekat, lagi dan lagi. Berfikir sejenak untuk memilih, lalu mencoba untuk sekedar mencicipi, dan berakhir pada menikmati.


Seperti pemanis yang banyak menggiurkan, dinikmati dengan tampang songong dan menyenangkan. Bergembira dan baik-baik saja, sebelum diabetes menerjang ganas, melumat habis sedikit demi sedikit, perlahan tapi pasti. Meremukkan, merusak, menghancurkan segalanya.


Yah, dengan dalih kebebasan. Tontonan bebas untuk dinikmati, pergaulan bebas aman untuk dicicipi, nikotin, narkotika, ganja semua dilibas habis tanpa permisi. Belum lagi kesetaraan gender dan LGBT menantang untuk sedikit diperhatikan, sedikit diberi simpati lalu terjerumus untuk berempati.


Sejak dalam kandungan, sejak dalam gendongan, sejak dalam pengasuhan. Aturan jelas diterapkan. Larangan dan keharusan untuk menghasilkan peranakan terbaik. Setelah dalam pelepasan, pengawasan dikendorkan aturan tak lagi dihiraukan. Menjadikan asas kebebasan, keegoan dan segala hal yang 'menyenangkan' akan ditempuh dengan sebaik-baiknya. Tak peduli kekecewaan dan kesedihan orangtua. Tak peduli dampak apa yang akan menerpa. Sebab dunia mengajarkan bahwa dunia adalah segalanya.


Fenomena joget bak biduan bukan lagi momok yang memalukan. Kini, semua berbangga, berlomba dan saling adu gaya. Naudzubillah! Tontonan unfaedah dan merusak akal menjamur tanpa filter, mengusik naluri hewani. Maka lahirlah hubungan suami istri tanpa ada ikatan nikah menikahi. Belum lagi kacaunya PFC yang menimbulkan kekacauan sosial, pemerkosaan, pelecehan dan sejenisnya seperti kurap yang sulit diobati.


Fenomena lain yang tak kalah genting adalah judi online yang di puji-puji, dipromosikan oleh Mereka yang disebut publik figur, diaminkan oleh para penggemar, diakses mudah tanpa ada penyaring benar salah. Riba di mana-mana, perputaran money game melejit hingga puncaknya, dan melahirkan bakal resesi dunia.


Terlalu pilu menuliskan satu persatu nestapa dunia dalam dekapan sekularisme. Belum membahas LGBT yang semakin kuat memperlihatkan taringnya. Belum para kaum feminis menampakkan pesonanya. Belum angka aids yang melonjak setiap tahunnya. Belum anak-anak yang terkikis moralnya.


Tuhan, nestapa ini benar tercipta amat dahsyatnya. Mencengkeram, mengekang dan membinasakan. Seakan indah sedang mengandung racun mematikan. Memalingkan pandangan dari melihat kebenaran dan keburukan. Berpaling tadah untuk sekedar menggamit materi kehidupan.


Dunia benar-benar membutakan.

Dan sialnya, terlalu banyak yang antri untuk buta.


Penulis: Candelaria Athaya