Hak Lahan Di IKN 180 Tahun Demi Investasi, Bagaimana Nasib Rakyat?
siddiq-news.com -- Ibu Kota Negara (IKN) sebagai kota hijau masa depan, yang tujuan dari keberadaannya adalah untuk pemerataan pembangunan serta membangun ekonomi di wilayah Indonesia Timur. Di samping itu, dalam pembangunannya sendiri, sudah tentu membutuhkan banyak sekali suntikan dana.
Dalam hal ini, Presiden Jokowi mengatakan, pintu terbuka lebar bagi para pengusaha untuk berinvestasi di IKN. Sehingga, tidak sedikit dari berbagai negara dan perusahaan yang tertarik untuk berinvestasi di IKN ini, karena melihat bagaimana potensi yang ada. Apalagi seluruhnya pasti akan berpusat pada IKN, baik mengenai kegiatan negara merambat ke banyaknya wisatawan yang datang nantinya. Hal inilah yang dilihat oleh pemerintah. Yang dengan banyaknya wisatawan nantinya dipandang bahwa tujuan pembangunan ekonomi dapat segera terwujud.
Namun ironisnya, ada beberapa negara yang menarik investasinya dikarenakan melihat pembangunan IKN ini mengalami kelumpuhan, akibat terlalu membutuhkan banyak biaya sedangkan dalam pembangunannya pun hanya bermodalkan investasi. Sementara setiap investor sudah tentu mengharapkan kepastian dalam berbagai hal terkhusus keuntungan yang didapat ketika berinvestasi. Sehingga, negara yang berinvestasi di IKN ini membutuhkan pemanis untuk mau berinvestasi di IKN sehingga Negara sendiri mengambil keputusan bahkan meninjau kembali UU IKN mengenai keinginan dari investor.
Sebagaimana yang penulis kutip dari media tempo (05/12/22) bahwasanya soal tanah di IKN, para investor menginginkan untuk bukan hanya bisa mendapatkan hak selama 90 tahun atau bisa kelipatannya yakni 180 tahun. Bahkan lebih dari keinginan ini, diperlukan adanya Revisi UU IKN, untuk menyesuaikan diri terhadap keinginan para investor.
Hal demikian menunjukkan bahwa negara tidak mampu menyelesaikan proyek yang hingga saat ini masih dalam proses pembangunan. Bahkan pada saat ini saja, aroma penyelesaiannya pun tidak terdengar saking memang tidak terbuka mengenai sejauh mana perkembangannya perihal pembangunan IKN tersebut.
Di samping itu, dengan memberikan Hak Guna Bangunan kepada pihak investor bahkan hingga 180 tahun, bisa menyebabkan kerugian bagi negara, karena itu berarti lahan di indonesia hanya akan dimanfaatkan para investor dan bukan negara Indonesia sendiri. Lebih parah lagi, masyarakat akan semakin merasakan penderitaan, karena hanya mendapatkan puing-puing dari pendapatannya saja dan tidak merata sama sekali terutama dalam menikmati lahan.
Hal ini menunjukkan negara tidak memiliki wibawa sama sekali, dimana negara seakan mengemis kepada investor, dengan iming-iming hak guna lahan 180 tahun di atas. Melihat hal ini, negara sudah tidak bertaring lagi bahkan cenderung lunak. Kemudian tidak bisa membedakan atau tidak ingin melihat perbedaannya mengenai mengambil keputusan untuk kemaslahatan umat atau kemaslahatan individu saja.
Pembangunan proyek ini seharusnya tidak boleh didahulukan, mengingat proyek ini tidak terlalu mendesak dibanding masalah yang dihadapi oleh umat. Dimana masalah yang dimaksud yakni bencana alam dan krisis-krisis berupa pangan, ekonomi, moral, pendidikan, dan lainnya. Apalagi mengorbankan kamaslahatan umat untuk ambisi pribadi yang tiada ujungnya.
Kondisi di atas sejalan dengan tujuan sistem Kapitalisme yakni menggapai kebahagiaan dengan mencari materi sebanyak-banyaknya, sehingga setiap keputusan sudah tentu diambil berdasarkan keuntungan materi. Sehingga segala macam cara pun dilakukan termasuk mengemis kepada investor hingga negara tidak memiliki harga diri sama sekali. Lalu bagaimana sebuah negara dapat bersaing dengan negara yang lain jika dalam pembangunan seperti ini saja harus mengemis dulu? Bahkan lebih parahnya lagi, membiarkan para investor menancapkan kuku-kuku tajamnya ke dalam wilayah Indonesia.
Lebih tegas lagi, Kapitalisme yang berasaskan Sekulerisme yakni pemisahan agama dari kehidupan yang kemudian mengarah pada pemisahan agama dari negara. Hal itu menjadikan setiap undang-undang, pemutusan hukum, bahkan pelegalisasian sebuah aturan berdasarkan kepada aspek materi atau kemanfaatan individu belaka. Sehingga peraturan yang diputuskan hanya mengatur individu saja dan bukan masyarakat secara keseluruhan.
Maka tidak mengherankan jika berbagai hal tidak mendapatkan pemerataan, termasuk tidak meratanya ekonomi. Bahkan bukan hanya tidak merata dari aspek ekonomi, tetapi juga pemilikan lahan, pembangunan untuk umum secara gratis, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Hingga sebuah slogan pun muncul yakni yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Berbeda dengan Kapitalisme, pengaturan dengan Islam jelas lebih kompleks dan menyeluruh. Dimana semua aspek akan dirasakan oleh seluruh umat bahkan merata di berbagai wilayah sebuah negara. Karena setiap aturan dalam sistem Islam mengatur urusan masyarakat dan bukan individu. Sehingga ketika ada proyek pembangunan nantinya sudah tentu dibangun untuk kemaslahatan umat bahkan digratiskan secara menyeluruh tanpa dipungut biaya.
Di samping itu, jika ada keputusan yang mendesak, maka akan dipikirkan secara matang dan tidak boleh atas dasar ambisi individu, tetapi atas dasar kemaslahatan umat. Sehingga pada sebuah keputusan, yang paling diperhitungkan adalah dampaknya bagi masyarakat itu seperti apa. Apakah menguntungkan bagi umat atau malah sebaliknya?
Lebih jauh lagi, Negara yang menggunakan sistem Islam yakni Khilafah, berusaha sedemikian rupa untuk setiap kepala keluarga dalam masyarakat terpenuhi setiap hajat hidupnya, baik mengenai lahan, rumah, bahan pokok, dan kebutuhan-kebutuhan yang lain. Maka tidak ada keputusan sampai memberikan hak guna lahan sampai 100 tahun lebih, apalagi hingga mengemis ke para investor. Di sisi lain negara Islam tidak akan berkerjasama dengan pihak yang dapat merugikan negara seperti para investor di atas.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab.
Penulis : Siti Nurtinda Tasrif
(Aktivis Dakwah Kampus)