Hidup Dalam Dekapan Islam
Siddiq-news.com--Tidakkah beberapa waktu sering muncul soal demi soal ketika kita terus berdiam dalam dekapan sekularisme kapitalisme? Tentang fakta dunia dan hidup yang tak terkontrol dan merusak, tentang pengorbanan demi pengorbanan yang jauh dari ketenangan dan kemenangan, tentang usaha yang berorientasi kesenangan tanpa kebangkitan.
Seperti cermin yang telah pecah, memantulkan kecacatan diri dalam menjalani hidup yang penuh tirani. Tak ada yang utuh sekalipun usaha terbaik telah dikerahkan. Memaksimalkan hasil namun tak ada artinya.
Kini, mungkin kita akan menyibak tirai putih bernama kebajikan yang mengantarkan cahaya setelah gulita menerpa. Tirai yang dengannya segala hal didunia takkan ada artinya selain sebagai ladang. Iya ladang, tempat menanam dan memetiknya dikehidupan yang kemudian.
Tuhan amat indah mencipta makhluknya. Komplit dengan segala masalah pun aturan-aturannya. Mencipta tak hanya soal manusia dan hidupnya yang biasa saja, tapi juga soal hidup luar biasa dalam dekapan syariatnya. Terkesan klise mungkin atau bagi sebagian makhluk congkak bernama manusia ini adalah bagian dari ketamakan pada ajaran Tuhan. Terserahlah!
Pada faktanya, jika ingin sedikit jujur pada nurani yang Tuhan beri, akan kita dapati setiap pengajaran kebajikan dan aturan kehidupan sangat menguntungkan bagi kita, di saat diri tak sedang benar-benar mencari keuntungan. Jika ingin sedikit saja menekan ego, melihat dengan kacamata kebenaran, maka takkan didapati kecacatan dalam aturan kompleks yang unik prosesnya dan indah hasilnya. Jelas ini berbeda bagi mereka para penyembah sekularisme kapitalisme yang melihatnya sebagai momok dan pengekang.
Lalu? Jika dengan aturan dan dekapan syariat rasa terkekang itu hadir, maka telisik lagi diri. Jangan-jangan selama ini diri telah nyaman dalam dekapan fana sekularisme. Atau ternyamankan keuntungan duniawi kapitalisme? Benarkah kebahagiaan itu benar-benar telah kita dapati? Ketenangan telah benar-benar kita nikmati? Dan kebangkitan telah benar kita tahtai? Ayolah jujur pada diri.
Sesekali, ajaklah diri menyibak kebenaran yang sebenar-benarnya di dunia ini. Jangan selalu bersembunyi dibalik kata 'ya sudahlah, sudah terlanjur juga' atas kepahitan hidup di balik sekuler kapitalis. Tentang moral, dan seabrek masalah sosial, ekonomi, budaya, politik, kesehatan, pendidikan, sampai pemerintahan. Semua terlihat seperti onggokan tak berarti hari ini bukan?
Lalu, ketika kita terlena dengan seabrek masalah di atas, kapankah perhatian kita akan teralihkan untuk melihat kebaikan-kebaikan yang Islam telah tawarkan? Kapankah pandangan kita akan mau menyaksikan keteraturan yang apik yang berasal dari Tuhan? Kapankah hati mau menerima angin segar kebangkitan? Bukankah kita selama ini merasa selalu tenggelam dalam keterpurukan?
Islam datang sebagai pelita di tengah gulita. Hadirnya membawa penawar dari racun-racun yang dicipta manusia. Membawa kabar gembira bagi mereka yang telah lama terkungkung derita. Menyuguhkan bahagia bagi mereka yang telah lama terpasang duka.
Yah, dengan syariat yang kompleks dan teratur menjadi peta kehidupan menuju kebajikan. Soalan diri yang diberi ruang oleh Tuhan untuk leluasa memperkaya diri, namun tidak boleh melanggar kaidah aturan yang merugikan manusia lainnya. Soalan diri diberi ruang untuk memupuk kemampuan tanpa melanggar perintah laranganNya.
Dengan peta kehidupan yang jelas, rambu-rambu hidup yang terpampang nyata, dengan hukum dan aturan yang memperkuat segalanya. Maka akan melahirkan ketenangan, kesejahteraan dan kesinambungan hidup menuju kebangkitan.
Akan mengikis ego nurani hewani manusia, karena iman selalu mengantarkan pada kebajikan. Membunuh perlahan kejahatan dan kemungkaran, karena setiap diri menjadi pengingat pada yang lainnya. Tidakkah ini adalah gambaran keindahan yang sebenarnya?
Sekalipun para hamba dunia selalu menyangkal akan eksistensi kebenaran ini, dengan dalih utopis dan tak masuk akal, itu tak ubahnya menguak nilai diri sendiri terhadap mereka. Yang telah mengetahui, menikmati dan terpenjara keburukan sekularism kapitalism. Mereka menggunakan sudut pandang sekuler kapitalis untuk melihat Islam. Yang jelas berbeda dan jauh dari kata sama.
Dalam dekapan islam, ketika iman tertanam dalam dalam diri-diri Manusia. Ketika mengambil pengajaran dari apa yang Tuhan kirim atasnya. Ketika menjalankan segalanya sesuai syariatNya. Maka, takkan ada yang utopis. Takkan ada yang mustahil.
Tidak cukupkah sejarah indah yang tertulis dengan tinta emas pada pilin-pilin historia? Hampir, hampir 1400 tahun lamanya, kehidupan pernah amat indah dalam dekapan hangat Islam. Bukan hanya dalam keimanan individu, tapi juga pada tatanan kesejahteraan jamaahnya, dan kebajikan negerinya.
Allohu alam.
Penulis: Candelaria Athaya