HIV/AIDS Merajalela, Buah Sekularisme

Daftar Isi


siddiq-news.com - Bertepatan dengan peringatan hari HIV/AIDS yang didaulat pada tanggal 1 Desember, tercatat kasus HIV AIDS justru mengalami peningkatan.


Di Malang misalnya, dikabarkan Radar Malang (5/6/22) ada 244 kasus baru. mayoritas pasien tersebut dirawat di RSUD Dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang. 


Mirisnya, kasus serupa juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia, bahwa banyak yang terus mengalami peningkatan mencapai 519.000 kasus per Juni 2022. Tersebar di DKI Jakarta sekitar 90.956 kasus. Jawa Barat 57.246. Jawa Timur 78.238 kasus. Jawa Tengah 47.417 kasus. Bali 28.376 kasus. Papua 45.638. Banten 15.167 kasus. Sumatera Utara 27.850 kasus. Sulawesi Selatan 14.810 kasus. Kepulauan Riau sebanyak 12.943 kasus.


Bahkan dilansir dari berbagai sumber, Dinkes menegaskan, bahwa maraknya kasus ini didominasi oleh LGBT, terutama di daerah Batam dan Aceh. Parahnya lagi, perempuan dan anak-anak ikut menjadi korban. Tercatat varian baru menginfeksi wanita sekitar 40%. Sedangkan anak-anak sekitar 12%. Sisanya 51% membebani remaja. Lantas apakah fenomena ini bisa kita anggap sebagai pemakluman atau justru sebagai musibah?


Tentunya, bukan sebuah pemakluman jika ternyata dampak dari kasus tersebut justru wanita dan anak-anaklah yang menjadi korban. Jelas, meningkatnya kasus HIV/AIDS adalah sebuah aib bagi kaum muslimin. Apalagi peningkatannya diakibatkan karena hubungan free sex yang semakin merajalela. Ngerinya lagi hubungan terlarang tersebut juga dilakukan oleh sesama jenis.


Maklum, karena masifnya kampanye LGBT ini tidak hanya dilakukan oleh individu atau komunitas tapi juga dilegalisasi oleh sistem. Naasnya, atas nama HAM ada 20 Negara yang melegalkan LGBT. Beberapa diantaranya adalah negara besar seperti, Belanda, Norwegia, Belgia, Jerman, Swedia, Wales, Swiss, Prancis dan Denmark. Apalagi, Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 2015, secara resmi menyerukan agar 76 negara anggotanya yang menolak LGBT, untuk mengakhiri hukuman dan kekerasan kepada penganut LGBT.


Kampanye besar-besaran dan dukungan terus berlanjut hingga saat ini. Hingga mendulang sukses dengan berhasil berkibarnya bendera pelangi di ajang piala dunia 2022 yang diselenggarakan di Qatar. Tak tanggung-tanggung dengan vulgar para Kapten kesebelasan pendukung LGBT pun memakai ban “one love” yang bergambar hati dan pelangi sebagai bentuk dukungan riil dari perjuangan “laskar pelangi” ini. Walaupun notabene Qatar menentang LGBT dan mengharamkannya. Bahkan pendukungnya diancam penjara satu hingga tiga tahun. Namun nyatanya Qatar tak mampu melawan propaganda dan tekanan Kapitalisme.  


Beginilah realita dari penerapan sistem kapitalisme yang memuja kebebasan. Manifesta si kebebasan ini terdiri dari 4 hal, yaitu kebebasan individu, kebebasan berekspresi, kebebasan beragama dan kebebasan kepemilikan. Para penganutnya bisa berekspresi sesuka hati yang penting bermanfaat bagi mereka dan tidak merugikan orang lain. Norma agama dibuang jauh-jauh dari ranah kehidupan dan hanya dicukupkan dalam porsi ibadah ritual semata. Jelas, karena selain paham kebebasan mereka juga mengusung paham sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Alhasil, tergadailah iman dan moralitas hanya demi kesenangan duniawi yang dipenuhi dengan hawa nafsu.


Sementara dalam Islam, norma agama bukan sekedar simbol atau formalitas belaka. Syariat adalah sebuah landasan hukum yang harus dijadikan pijakan dalam setiap perbuatan. Tak ada standar ganda dalam dimensi agama, karena halal atau haram adalah mutlak sebuah kelaziman yang menjadi harus menjadi barometer dalam menentukan pilihan. Tentunya, dikokohkan dengan ketakwaan yang mengiring pemeluknya untuk senantiasa berjalan di atas adalah jalan kebenaran.


Dalam kasus LGBT ini misalnya, Islam telah menggariskan bahwa perbuatan tersebut telah diharamkan dan termasuk perbuatan keji bahkan pelakunya diancam hukuman mati karena tergolong kriminalitas (jarimah). Allah SWT berfirman: 


“Dan (Kami juga telah mengutus Nabi) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan yang sangat hina itu, yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian?” [Al-A’raaf: 80].


Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah pelaku dan pasangannya” [HR Tirmidzi dan yang lainnya, dishahihkan Syaikh Al-Albani]


Sedangkan HIV/AIDS adalah imbas dari balasan atas perbuatan keji tersebut. Senada dengan ajaran Rasulullah saw yang telah mengingatkan bahwa hukum Islam mengandung maslahat. Artinya, jika syariat yang diterapkan pasti mengandung manfaat dan kebaikan. Namun jika, syariat Allah dilanggar akan menimbulkan kemudharatan dan kerusakan. Salah satunya berupa penyakit (bala') sebagai peringatan bagi manusia agar tidak melanggar rambu-rambu dan hukum yang telah dilegalisasi Allah sebagai undang-undang yang termaktub dalam Al Qur'an dan Hadist. 


Alhasil, syariat Islam harus diterapkan secara menyeluruh (kaffah) dalam sebuah sistem dan institusi Khilafah. Terutama sistem tanggapannya karena berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus dosa). Terbukti, kriminalitas akan menurun drastis dan umat manusia akan terjaga dari kemaksiatan. Sebagaimana dicontohkan pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Konon selama dia mengalami pertempuran hanya terjadi dua kali pelanggaran saja dalam kurun waktu 2 tahun. Tentu, berkolarasi terbalik dalam sistem saat ini yang setiap menitnya terjadi kriminalitas dengan jumlah yang fantastis. Maka, sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam yang terbukti mensejahterakan dan menjaga umat dari degradasi moral. Wallahu a'lam bi ash-shawwab.


Penulis : Afifatur Rahmah

(Pendiri Penerbit AR Publishing dan Penggiat Literasi)