Ibu, Aku Menyesal

Daftar Isi


Siddiq-news.com--Aku telah ada di pusaranya. Air mataku berurai tak lagi dapat dibendung. Aku tak menyangka sosok itu akan segera pergi dari sisiku. Ibuku.


***

‘’Benar tindakanmu itu? Meninggikan suara pada ibumu? Bukankah Ibu belum sampai merepotkanmu?’’ Ibuku marah besar saat aku menjawab panggilannya dengan suara tinggi. Sebenarnya dia memanggilku untuk mendamaikan aku dengan adikku. Kami sering sekali bertengkar, dan membuat ibu tak henti-hentinya membujuk agar kami senantiasa akur. Tapi aku malah meneriakinya.


Aku tak menyangka itu terakhir kalinya ibu marah denganku. Setelah keesokan harinya beliau koma dan menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Kuseka air mataku untuk kesekian kalinya. Tapi tak jua kunjung terhenti mengalir. 


“Ibu,” isakku lirih. “Maaf atas segala kurang ajarku, Bu.”

Bahuku terguncang oleh tangisku. Hatiku bergemuruh hebat dengan alunan penyesalan yang tak kutahu ke manakah muaranya. Leherku tercekat meski berkali-kali kutelan ludah. Sebagaimana inginku mengulang masa bersamanya. 


‘’Ayo pulang, Kay.’’ Bapak menepuk bahuku. Aku menggeleng pelan. 


“Aku ingin bersama ibu, Pak," kataku.


Kutepuk-tepuk pusara itu, sebagaimana membangunkan orang dalam tidurnya. Meski mustahil rasanya ibu akan kembali. Sosok itu tak lagi dapat kutunggu kehadirannya. Aku sangat menyesalinya.


“Ibu sudah tenang di sana, Kay,” ucap bapak sambil menunduk untuk menarik tanganku pulang. 


Aku pun beranjak pelan. Tak kuasa melepaskan pandangan dari pusara ibu. Seolah aku akan kehilangan dia selamanya. Tapi, aku memang telah kehilangan dia selamanya.


***


Rumah ini telah kosong, tanpa hadirnya. Andai aku bisa mengulang waktu, aku ingin ibu kembali hadir. Kembali marah-marah padaku, kembali mengomeliku untuk tidak berpangku tangan saat melihatnya mengerjakan pekerjaan rumah. Aku ingin ibu kembali merampas gadget atau mengatakan perkataan panjang lebar yang sering beliau bilang namun selalu lepas di telingaku. 


‘’Kau perempuan, Kay. Harus cerdas, perbanyak ilmu. Karena di pundakmu kelak akan lahir generasi penerus bangsa. Kalau lihat gadget carilah ilmu. Lebih-lebih ilmu agama.”


Tak ada satu sudut rumah pun  yang tak nampak dirinya. Ibuku ada di mana-mana. Dia berhasil membuat setiap sudut rumah memiliki kenangan tentangnya. Kubuka lemari ibu atas izin bapak. Masih ada lipatan baju ibu yang biasa dipakai di rumah, berjejer di sana. Aku ingin mencari sesuatu yang bisa mengobati rinduku pada ibu. 


Pintu lemari sebelahnya adalah tempat menggantung gamis yang ibu pakai untuk menutupi pakaian rumah ketika keluar rumah atau saat ada tamu. Ibu pun mengajariku dan adikku, Raina.


“Beginilah pakaian seorang muslimah,” katanya sejak kami kecil. Hingga kini kami pun terbiasa memakainya.


Kusentuh perlahan gamis-gamis Ibu yang menggantung di sana. Tidak banyak. Tidak seperti bajuku dan Raina. Adik yang terpaut dua tahun denganku. Melihat satu persatu gamis dan kenangan saat ibu memakainya. Saat mengantarku sekolah. Saat ibu pergi ke pasar. Saat Ibu pergi kajian. Tiba di bawah jilbab, bertumpuk dengan berkas-berkas ibu, aku menemukan buku agendanya. Dengan gemetar aku membacanya mulai dari awal.


'Alhamdulillah ya, Rabb. Kau anugerahiku dua anak perempuan yang cantik-cantik.'


Sampai di sini air mataku mulai mengalir. Kembali kuingat betapa kasihnya ibu akan kami. 


'Pulang acara lelah sekali rasanya. Tapi Kayla dan Raina adalah hiburanku. Senang sekali bisa melihat mereka bahagia dengan oleh-oleh makanan yang kubawa.' 


Satu kalimat di halaman berikutnya. Kami didahulukannya atas dirinya sendiri. Meski dia dalam keaadaan lapar atau sangat menginginkan makanan tertentu, ibu berikan makanan itu untuk kami. Kenapa baru sekarang aku memahaminya? kenapa baru sekarang aku menyadarinya? Setelah dia tiada. 


'Kaila, Raina sudah besar, jangan sering bertengkar ya, Nak.' 


Aku teringat terakhir kalinya ibu marah padaku. Tapi bukan karena pertengkaranku, melainkan karena aku meneriakinya dan melawannya. Entah kenapa pada saat itu aku merasa tidak bersalah. Tetapi ibulah yang bersalah. "Aku menyesal, Bu," lirihku.


‘Kaila sudah pintar bicara, ya Allah, dia sudah bisa membantahku.

Tapi ampunilah dia, ya Allah, kasihanilah dia, ridailah dia. Maafkan segala kebodohanku dalam mendidiknya.’ 


Air mataku mengalir deras.

Betapa seringnya aku meneriaki ibu. Betapa seringnya aku membantahnya. Betapa sering aku menyalahkannya, tidak puas terhadapnya. Padahal tidak ada yang salah dengan ibu. Dia selalu membantuku menyelesaikan masalah. Memenuhi kebutuhan dan keinginanku selama beliau mampu. Selalu memberi nasihat yang kuartikan itu adalah turut campur.


Tapi, ibu tidak marah denganku. Seolah paham betul bahwa rida Allah adalah rida orang tua. Murka Allah adalah murka orang tua. Ibu memintakan ampunan untukku. Ibu meminta Allah meridaiku. 


“Ya Rabb, ampunilah aku, semoga, Kau masih membukakan jalan untukku berbakti kepada ibu, meski dia sudah tiada.”


Penulis: Oleh Rahmi Ummu Atsilah