Penguatan L967 di Balik Pengesahan RKUHP

Daftar Isi

 


Shiddiq.news.com--Di pengujung tahun 2022, penguasa negeri ini kembali mempersembahkan kado pahit akhir tahun untuk rakyat. Betapa tidak? untuk kesekian kalinya  pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menyakiti hati rakyat. 


Dilansir dari Kompas.com pada (6/12/2022), DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Namun, Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, KUHP yang baru disahkan itu tidak mengatur ancaman pidana bagi seseorang atau kelompok dengan orientasi seksual menyimpang, seperti lesbian, g4y, biseksual, dan transgender.

Putusan tersebut tak pelak membuat masyarakat kecewa, karena keberadaan kaum pelangi sudah berada pada level membahayakan. Komunitas mereka terus bertambah dengan jumlah pengikut hingga ratusan ribu. Ini menunjukkan bahwa perilaku seksual menyimpang sudah tersebar luas dan akan terus menyebar jika tidak ditindak tegas.


Sebelum disahkan, draf final RKUHP telah diajukan ke Presiden Jokowi. Draf final KUHP per 24 November 2022 memuat 627 pasal. Dari ratusan pasal itu, tidak ada pasal yang menetapkan perilaku seksual menyimpang sebagai delik pidana. Padahal, keinginan agar l967 masuk dalam delik pidana sudah lama bergema. Sekelompok masyarakat telah meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memberikan delik pidana perilaku l967. Namun, perdebatan panjang di MK tidak menghasilkan apa-apa. MK angkat tangan dan menyerahkan proses kriminalisasi penyuka sesama jenis tersebut ke DPR sebagai pihak yang berwenang membentuk UU (kumparan.com, 30/5/2022).


Aneh memang, orientasi seksual menyimpang yang notabene perilaku asusila, melawan kodrat, menabrak nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), serta menyalahi ketentuan agama, seakan begitu sulit ditetapkan sebagai tindak kejahatan atau pidana. Padahal, telah nyata kerusakan yang timbul akibat perbuatan kaum Nabi Luth ini. Menyebarnya HIV/AIDS, pedofil merajalela, tatanan sosial masyarakat kian liberal, dll.


MK sebagai lembaga hukum tertinggi dan harapan terakhir bagi masyarakat yang menginginkan hadirnya hukum dan perundang-undangan yang benar-benar sesuai aspirasi mereka, justru tidak mampu mewujudkan harapan tersebut. Padahal, di lembaga inilah rakyat bisa mengajukan gugatan atas kebijakan yang dibuat pemerintah. Jika MK saja tidak berdaya, lalu kemana rakyat harus mengadu? 


Namun demikian, andaikata l967 masuk dalam delik pidana, tetap saja tidak ada jaminan bahwa perilaku menjijikkan ini bisa diberantas. Keberadaan mereka justru dilindungi dengan dalih HAM dan kebebasan. Sebab, hanya berlaku bagi orang dewasa yang mencabuli anak di bawah umur (pedofil) artinya apa? pasangan dewasa sesama jenis tetap tidak bisa dipidana. Bukankah hal ini lebih berbahaya?


Lebih dari itu, delik aduan bagi l967 hanya terbatas pada tindakan percabulan dengan paksaan. Itu pun jika ada pihak yang mengadukan. Di sisi lain, aktivitas yang lebih berbahaya dan menjadi upaya melanggengkan eksistensi l967 justru tidak disentuh. Sebagai contoh, kohabitasi (kumpul kebo) sesama jenis, tidak bisa dipidana dengan alasan sulit dibuktikan dan merupakan ranah privasi. Tidak ada larangan kampanye l967. Tidak ada pertimbangan kemungkinan adanya penyelundupan hukum dari luar, semisal UU pernikahan sesama jenis. Poin-poin inilah yang mestinya diatur dalam KUHP dan menjadi alasan kuat untuk mendelik pidana l967, bukan sebatas delik aduan.


Sungguh miris. Di tengah melonjaknya angka l967 dan HIV/AIDS, penguasa justru mencabut pasal pidana atas perilaku menyimpang tersebut. Padahal, keberadaan mereka merupakan bencana bagi generasi bangsa. Bisa dibayangkan, jika mereka dibiarkan terus tumbuh dan berkembang, akan seperti apa generasi ini ke depan? Apakah generasi pemuja seks bebas? penyakitan? cacat mental? atau mesin predator? Horor, bukan?


Dihapusnya pasal pidana bagi penyuka sesama jenis menunjukkan bahwa Indonesia sedang menuju negara liberal. Hal ini sangat beralasan, mengingat Indonesia mengadopsi dan menerapkan sistem kapitalisme sekuler. L967 sendiri termasuk dalam kebebasan bertingkah laku dan berekspresi, yang dijamin dalam sistem sekuler. Maka wajar, jika penguasa terkesan lebih memilih berkompromi, karena tak berdaya menghadapi tekanan dari negara pengusung komunitas kaum pelangi ini. 


Kebijakan liberal seperti ini tidak akan pernah kita jumpai dalam sistem pemerintahan Islam. Sebab, Islam dengan tegas mengharamkan perilaku kaum Nabi Luth. Pelakunya diancam dengan sanksi yang keras lagi tegas. Sebab, hubungan sesama jenis adalah perbuatan yang sangat keji dan terkategori kejahatan besar (jarimah). 


Mengenai homoseksual atau g4y (dalam Islam disebut dengan liwath), jumhur ulama sepakat bahwa hukuman yang pantas  bagi pelakunya (subjek maupun objek) adalah hukuman mati. Hal ini sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas ra. Beliau menuturkan, Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, bunuhlah subjek dan obyeknya.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).


Hukuman mati bagi pelaku l967 mengindikasikan betapa kejinya perbuatan tersebut. Adapun ketika Allah Swt. menetapkan hukuman mati atas suatu perkara hal itu menandakan bahwa ada maslahat besar bagi manusia ketika perkara itu ditinggalkan. Sebaliknya, mudarat besar pula bagi umat manusia jika perkara itu dilakukan, bahkan diwajarkan dan dilegalkan. 


Oleh karena itu, negara dalam sistem Islam tidak akan berkompromi dengan perilaku l967. Negara tidak akan membiarkan ada celah sekecil apa pun bagi penyuka sesama jenis berikut penyebarannya.  Hal itu diwujudkan melalui penerapan sistem Islam kafah oleh negara. Mulai dari sistem sosial, sistem pergaulan, sistem pendidikan, sistem penyiaran/penerangan (terkait media), hingga sistem sanksi. 


Seluruh sistem ini diterapkan mulai dari tingkat keluarga, masyarakat, hingga negara. Tujuannya, agar semua pihak berperan mencegah agar tidak ada perilaku l967 di tengah masyarakat. Jika ada dan terbukti secara syar'i, maka pelakunya siap-siap menerima sanksi tegas dari negara, yakni hukuman mati. Sanksi ini berlaku umum untuk semua warga negara tanpa kecuali. 


Dengan demikian, masalah l967 hanya bisa diselesaikan jika Islam diterapkan secara sempurna di tengah masyarakat. Saatnya kembali pada sistem Islam, agar generasi bangsa terlindungi dari kehinaan hidup akibat l967. 


Wallahu a’lam bishawwab 


Penulis: Wa Limi, S. Pd.

(Pegiat Opini)