UU KUHP Ketuk Palu, Sistem Demokrasi Anti Rakyat?

Daftar Isi

Siddiq-news.com--Menjadi rakyat di negara Indonesia agaknya harus selalu siap siaga dengan berbagai kejutan. Jika dahulu rakyat dikagetkan dengan pengesahan UU Omnibus Law secara tiba-tiba, kini beruntun dikagetkan dengan kenaikan harga kebutuhan dasar rakyat, termasuk BBM, tarif dasar listrik, hingga senyap dan secepat kilat pemerintah mengetuk palu pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang.


Dilansir dari kemenkumham.go (6/12/22), Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengatakan, pengesahan ini merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda. Yasonna berpesan kita patut bangga karena berhasil memiliki KUHP sendiri, di mana produk Belanda sudah tidak relevan lagi dengan Indonesia. 


Publik pun ramai-ramai melayangkan kritik terhadap keputusan pemerintah tersebut. Tidak sedikit yang menyorot deretan pasal kontroversional, di antaranya dinilai anti demokrasi, cacat prosedural yang kucing-kucingan dengan rakyat, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, hingga mengatur ruang privat masyarakat. Dari sini, terendus arah kebijakan KUHP yang agaknya ingin mematikan gerak rakyat, menjajah mereka sesuai kehendak perundang-undangan rezim.


Kini, nasib rakyat makin tak tentu arah. Di tengah kesengsaraan rakyat, lagi dan lagi pemerintah menampilkan wajah aslinya sebagai predator bagi mereka melalui kebijakan ‘asal jadinya’. Meski terus menebar narasi bahwa UU ini untuk merespon kebutuhan hukum pidana di Indonesia, memberikan keadilan, dan sejenisnya, namun sadar atau tidak, dalih tersebut tidak lain hanya untuk kebutuhan keadilan rezim itu sendiri, bukan untuk rakyat. 


Sebelum pengesahannya (KUHP) saja, rakyat sudah merasa tak pernah dianggap kehadirannya, terjajah, keadilan terkoyak, aspirasi enggan dilirik, kritik terus dibungkam. Sebaliknya, penjahat makin melunjak, dengan hukum dibuat tumpul ke atas dan tajam di bawah. Lantas, bagaimana masa depan rakyat setelah ini? Jawabannya, tentu makin menyedihkan.



Patut dipahami, jika pejabat negeri ini menyerukan ‘kebanggaan’ untuk produk hukum sendiri, dengan kata lain bukan lagi warisan kolonial yang menjajah, seharusnya tercermin dengan adanya produk aturan yang benar-benar patut dibanggakan, membela keadilan dan mengurus rakyat secara menyeluruh. Namun melihat arah kebijakan UU KUHP yang justru terkesan tidak memihak pada rakyat, menindas, bahkan menginjak kepentingan rakyat, rasanya enggan untuk bersyukur.


Sadar atau tidak bahwa UU KUHP baru maupun yang lama, sejatinya tidak ada perbedaan, karena berasal dari bangunan pemikiran yang sama, yaitu penjajah yang bertujuan memperbudak manusia yang lemah. Produk hukum dari keduanya mempertononkan aturan yang disesuaikan dengan selera rezim dan tuannya, demi menekuklutut manusia di bawahnya. Kali ini tampak rakyat dijajah oleh pemerintahnya sendiri, dengan label kebijakan ‘untuk rakyat’ tapi rasa kolonialis. 


Pengesahan KUHP semakin membuka lebar borok demokrasi, bahwa slogan kebesarannya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tidak lebih dari retorika yang penuh kepalsuan. Bagaimana tidak, sistem demokrasi yang berasaskan kapitastik sekuler hanya melahirkan sosok penguasa yang anti rakyat dengan membentuk negara represif. Manusia-manusia yang menjalankan sistem ini adalah mereka yang anti nasihat dan anti kritik. Sehingga melalui kekhasan mekanisme yang mengkambinghitamkan rakyat, apapun yang dihasilkan pasti legal. Ketika ia gagal, selalu meminta pemakluman. Bahkan tidak dimaklumi pun, tabiatnya langsung mengeluarkan sederet pasalnya sendiri, yang multitafsir, ambigu dan dapat dikondisikan sesuka mereka.


Maka apa yang disebut dengan sistem demokrasi, secara realita bukan lagi menunjukkan pemerintahan mayoritas rakyat, melainkan minoritas manusia yang tidak siap dinasehati. Bolak-balik revisi UU tidak lebih hanya untuk membungkam rakyat, bukan untuk mewujudkan kepemimpinan yang sesuai harapan rakyat sebagaimana janji penuh ‘manisan’ sebelum memimpin saat itu. Sistem bernegara yang satu ini hanyalah tempat bernaung tipuan wakil rakyat, menampakkan representasi penghianat sejati dengan kebijakannya yang dzalim. 


Sungguh, Islam adalah sistem alternatif satu-satunya bagi manusia. Dalam Islam, aturan yang diturunkan oleh Sang Pencipta manusia memberikan keadilan yang nyata. Allah Swt. memerintahkan kepada segenap umat manusia untuk berbuat adil, menegakkan kebenaran dan memberikan hak kepada masing-masing orang yang berhak memilikinya. Adapun ketika manusia itu salah, maka syariat secara tegas memerintahkan untuk beramar makruf nahi munkar, yaitu mengajak kepada kebaikan, dan mencegah dari kemungkaran atau kemaksiatan.


Demikian juga dalam sistem pemerintahan Islam, membuat hukum harus merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah, sehingga tidak bisa diubah sesuai dengan kesepakatan segelintir orang. Gambaran keadilan yang terpancar darinya adalah bagaimana setiap umat manusia diperlakukan sama di hadapan hukum tanpa diskriminasi status sosial atau ada istilah kebal hukum pada sebagian orang. Sehingga ketika melakukan pelanggaran syariat secara nyata, maka sanksi diberlakukan sama tanpa memandang apakah dia rakyat biasa atau kolega penguasa. Lebih penting tidak ada kerancuan makna dalam mendefinisikan penerapan hukum Islam, jika benar berarti benar, dan salah tetap dipandang salah.


Apalagi sebagai seorang pemimpin umat, amanah untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah kehidupan bernegara haruslah adil, bukan berbuat zalim seenaknya. Dalam mengambil suatu kebijakan, seorang pemimpin tentu saja menjadikan hukum syarak sebagai tolok ukurnya. Menjalankannya dalam rangka mengurusi urusan rakyat, menjamin hak-haknya, dan mewujudkan kesejahteraan bagi setiap insan mereka.


Representasi ketaatan pemimpin yang mewujudkan keadilan hukum dalam bernegara tidak akan lahir dari rahim demokrasi-kapitalistik sekuler layaknya hari ini. Melainkan hanya ada dalam Islam ketika menerapkan aturan Illahi secara totalitas. Dengan demikian tidak ada kezaliman di dalamnya, kecuali kebaikan hidup dalam naungan negara (Islam). Wallahualam bissawab.


Penulis: Mustika Lestari

(Pemerhati Kebijakan Publik)