Pay Later, Financial Trap ala Ekonomi Kapitalis

Daftar Isi

 



Pola pikir dan pola sikap inilah yang akan menjadi tameng dari gempuran gaya hidup hedonistik dan konsumtif


Oleh Norhidayah, S.Pd.

(Praktisi Pendidikan )


Perkembangan teknologi pada era digital tak dapat dielakkan. Terutama pada sektor ekonomi, yang memunculkan trend baru yakni belanja online. Masyarakat dimudahkan dengan berbagai platform e-commerce untuk belanja online, ditambah dengan fitur paylater. Sebagian besar masyarakat tergiur untuk mencoba dan bahkan terjebak dalam pusaran belanja online; tak dimungkiri ini juga menyasar kalangan usia sekolah menengah.


Dilansir dari bbc.Indonesia (29/12/2022), survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center dan Kredivo terhadap 3.560 responden pada Maret 2021 menunjukkan bahwa jumlah pelanggan baru paylater meningkat sebesar 55% selama pandemi. 


Sementara itu, menurut peneliti Institute for Development of Economic Studies (Indef), Nailul Huda yang mengutip data OJK, karakter pengguna yang kesulitan membayar tunggakan kredit menjadi semakin muda. Menurut Nailul, ini perlu diwaspadai karena karakter pinjaman macet sekarang perkembangannya lebih tinggi untuk peminjam yang usianya di bawah 19 tahun. Karena sistem pay later ini mudah, bisa connect secara digital, generasi muda yang lebih efektif banyak yang mengajukan padahal belum punya pendapatan.


Fitur pay later seperti ini, pada akhirnya menjadi alternatif bagi orang-orang yang “tidak bankable” untuk mengakses kredit. Apalagi dengan kolaborasi penyedia layanan multifinance dan P2P lending yang kini berkolaborasi dengan banyak e-commerce untuk menyediakan opsi pembayaran “beli sekarang, bayar nanti”. Nailul mengatakan, penyaluran kredit jenis ini pun banyak tertuju pada sektor konsumtif seperti pembelian gawai, fashion, dan lain-lain. 


Di sisi lain, gen Z saat ini sebagian besarnya masih didominasi usia sekolah, dengan kata lain belum berpenghasilan. 


Mengutip dari tintahijau (11/12/2022),

Berdasarkan survei nasional oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) disebutkan indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia 2022 mencapai 49,68%. Angka tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki pengetahuan dan pemahaman yang masih rendah terhadap penggunaan produk keuangan dan pengelolaan keuangannya. 


Oleh karena itu penggunaan berlebih BNPL dan kurangnya finansial literacy dapat menyebabkan pengguna masuk ke dalam lingkaran utang atau jebakan finansial (financial trap). 

Lalu bagaimana membayarnya jika mereka yang terjebak adalah seorang yang belum berpenghasilan tetap? Hal tersebut tentu memungkinkan munculnya berbagai faktor risiko besar lainnya. 


Sebuah jebakan keuangan alias financial trap berbaju pay later yang berarti beli sekarang bayar nanti. Sekilas indah didengar, namun nyatanya banyak menelan korban, tak peduli usia dan status sosial; banyak orang yang menjadi penggunanya. Sebenarnya bukan tanpa alasan mereka menggunakan paylater, di tengah karut-marut perekonomian hari ini ditambah dengan pasca pandemi Covid-19; tentu saja banyak yang memanfaatkan pay later. Ditambah dengan banyaknya iklan produk fashion, food dan lifestyle yang menarik untuk dilirik. 


Semakin banyak iklan yang dilihat maka semakin besar pula keinginan untuk membeli, walaupun hal itu hanyalah keinginan bukan kebutuhan yang harus dijadikan prioritas dan mendesak. Di platform e-commerce misalnya, barang yang ingin dibeli dapat dimasukkan dulu ke keranjang wishlist (tempat berkumpulnya produk favorit yang sudah ditandai), bahkan ada yang keranjangnya sampai penuh. 


Di samping itu, pendapatan yang belum mencukupi, sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak, dan harga sembako yang selalu naik; semakin menambah penderitaan masyarakat saat ini. Mereka semakin tergiur untuk memenuhi gaya hidup ala Barat dengan menggunakan pay later.


 Tidak dapat dimungkiri bahwa pay later mengarahkan penggunanya pada konsumerisme dan hedonisme dalam kehidupan kapitalisme. Apalagi negara memfasilitasi jeratan haram dengan berbagai dalih, seperti terdaftar di OJK, bunga rendah, tanpa syarat adanya penghasilan dan lainnya, sehingga dianggap sebagai hal biasa bahkan sangat memudahkan. 


Padahal nyatanya jeratan menggurita membahayakan masa depannya.

Konsep pinjaman seperti ini tentu tidak ada dalam Islam. Karena Islam mengharamkan riba (tambahan). Dalam Al-Qur’an dijelaskan, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (TQS Al-Baqarah: 275). 


Pinjaman pay later mayoritas mengandung riba. Hal ini dapat dilihat dari adanya perjanjian bunga pinjaman (meski rendah) dan terkena denda jika telat membayar. Selain itu, Allah pun telah mengancam pemakan riba, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) gila.” (TQS Al-Baqarah: 275)


Dalam tafsir Ibnu Katsir makna “Berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran gila” adalah gambaran orang yang terjebak riba saat dibangkitkan pada hari kiamat. Mereka akan dibangkitkan dalam kondisi buruk. Selain itu, memakan harta riba juga tidak akan berkah. Kesulitan demi kesulitan akan dihadapi di dunia."


Selanjutnya, Islam memiliki visi misi yang jelas dalam membentuk kepribadian Muslim. Seorang Muslim wajib berpola pikir dan sikap sesuai dengan Islam. Oleh karenanya, pemerintahan yang menerapkan sistem Islam akan mengondisikan masyarakatnya berkepribadian Islam. Dengan demikian, sebelum melakukan aktivitas, mereka akan menyandarkan segalanya sesuai Islam.


Kepribadian Islam akan menghindarkan masyarakat, termasuk pemuda, dari pola hidup hedonistik atau konsumtif. Mereka akan membeli sesuatu sesuai kebutuhan, bukan keinginan, termasuk ketika bertransaksi pinjam-meminjam.

Terkait fintech, Islam akan mengatur sesuai pandangan Islam: tidak boleh memungut riba, akad pinjam meminjam harus jelas, tujuannya tidak boleh melanggar syariat. Islam pun menegaskan pinjam-meminjam hanya dilakukan untuk ta’awun atau tolong menolong, bukan untuk mencari keuntungan.


Agar tidak terjebak pada gaya hidup “buy now, pay later” pemuda perlu memiliki pijakan kuat, yaitu akidah Islam. Akidah yang dapat membentuk mereka memiliki kepribadian Islam. Pola pikir dan pola sikap inilah yang akan menjadi tameng dari gempuran gaya hidup hedonistik dan konsumtif. Namun, untuk mewujudkan itu tentu tidak bisa sendirian. Perlu adanya sinergi yang baik antara orang tua, lingkungan masyarakat, sekolah, dan negara.


Wallahu a'lam bishawwab