Pelatihan Intelijen untuk ASN dan Deradikalisasi

Daftar Isi

 


Pemerintah melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) berencana memberikan pelatihan deteksi dini dan intelijen kepada Aparatur Sipil Negara (ASN)


Padahal sejatinya, kegiatan intelijen (tajassus) yang memata-matai umat Muslim adalah haram dalam Islam


Oleh Gina Ummu Azhari

Komunitas Muslimah Rindu Surga


Siddik-news.com -- Menjelang pemilu serentak yang akan dilaksanakan tahun 2024, pemerintah melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) berencana memberikan pelatihan deteksi dini dan intelijen kepada Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini sejalan dengan salah satu Program Badan Kesbangpol tahun 2023 yakni Peningkatan Kapasitas Aparatur Pusat dan Daerah di Bidang Intelijen dan Kewaspadaan Diri.


Kegiatan akan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Ditjen Polpum) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bekerja sama dengan Pusat Pendidikan Intelijen Kepolisian Republik Indonesia. Pendidikan dan pelatihan dasar intelijen (diklat) akan diadakan bulan Februari-Maret di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Hal itu dijelaskan oleh Edie Faganti, Kepala Kesbangpol Kotawaringin Barat (Kobar) pada Kamis, 5 Januari 2023.


Dengan diklat ini diharapkan semua ASN yang ada di semua bidang Kesbangpol Kobar memiliki pendidikan dasar intelijen. Beberapa bidang di antaranya Bidang Penanganan Konflik, Bidang Wawasan Kebangsaan, Bidang Politik dalam Negeri dan Bidang Ketahanan Ekonomi. Sebab fungsi Badan yang merupakan mata dan telinga Bupati untuk merekomendasikan isu strategis di wilayahnya. 


Penyelenggaraan pemilu dalam sistem Demokrasi merupakan momen yang penting untuk dijaga keberlangsungannya. Dilakukan setiap lima tahun sekali untuk memilih calon pemimpin di setiap daerah. Namun saat ini sebagian masyarakat tampak tidak mempercayai penyelenggaraan pemilu akan dapat memperbaiki kondisi bangsa. Hal ini terjadi karena kondisi negara yang semakin hari kian terpuruk terutama di bidang ekonomi. Utang negara yang terus membumbung tinggi hingga mencapai angka tujuh ribu triliun menyebabkan lemahnya mata uang rupiah dan berimbas pada naiknya harga bahan-bahan pokok.


Kebijakan pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak maupun listrik makin menambah penderitaan rakyat. Biaya kesehatan dan pendidikan semakin tidak terjangkau membuat masyarakat jauh dari kesejahteraan. Maka, kondisi inilah yang seharusnya lebih diperhatikan oleh pemerintah dibandingkan dengan perlunya pendidikan intelijen bagi ASN. 


ASN yang seharusnya bekerja dengan sungguh-sungguh dan optimal untuk rakyat juga negara, justru harus menjadi mata-mata pemerintah untuk menangkal penyebaran pemahaman yang menurut versi pemerintah berseberangan dengan Pancasila atau terkategori radikal. Pemerintah melalui BNPT mewaspadai warga negara yang taat beribadah dan aktif mengkaji Islam sebagai bibit terorisme. Padahal warga negara Muslim yang berpegang teguh dengan ajarannya tidak mungkin membuat ketakutan di tengah masyarakat seperti makna terorisme itu sendiri. Justru dengan ketaatan ini kehidupan berbangsa dan bernegara akan aman dan nyaman karena Islam mengajarkan demikian.


Di Indonesia sendiri kebebasan individu masyarakat memeluk agama dan kepercayaannya termaktub dalam UUD ‘45 Pasal 29 Ayat 1 dan 2. Oleh karena itu negara seharusnya menjamin kebebasan beragama bagi setiap rakyatnya bukan sebaliknya.


Menganggap kaum Muslim yang taat dengan ajarannya sebagai benih terorisme atau mencapnya sebagai kaum radikal adalah propaganda Barat untuk menyingkirkan Islam dan pemeluknya melalui aturan negara. Barat sengaja memecah umat Islam dengan cara saling mencurigai di antara mereka dan menjauhkan budaya  amar makruf nahi mungkar. Barat mengetahui aktivitas ini adalah salah satu kewajiban umat Muslim yang dianggap berbahaya dan bisa menyadarkan masyarakat tentang keburukan yang dibuat  Barat. Sehingga mereka yang mendakwahkan penerapan Islam kafah justru ditakuti dan dianggap mengancam keberadaan negara.


Dengan demikian program intelijen bagi ASN adalah program deradikalisasi yang merupakan propaganda Barat untuk melawan Islam. Padahal masyarakat harusnya menyadari bahwa bahaya yang sesungguhnya bukanlah Islam dan pengembannya melainkan Baratlah dengan gorengan radikalisme dan terorismenya. Barat juga yang sebenarnya mengancam kedaulatan negara melalui jebakan utang agar dapat terus menguasai Sumber Daya Alam yang seharusnya dinikmati oleh rakyat.


Kegiatan intelijen yang memata-matai umat Muslim adalah haram dalam Islam, sebagaimana sabda baginda Rasulullah saw.: “Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara." (HR. Bukhari dan Muslim)


Kegiatan memata-matai di dalam Islam disebut tajassus. Hal ini biasa dilakukan oleh suatu negara dalam peperangan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan musuh. Namun bukan dengan mencari kejelekan dan menyebarkannya kepada orang lain. Seorang Muslim yang memata-matai umat Islam dan memberitahukannya kepada orang kafir bisa dikenakan hukuman takzir. Seperti yang terjadi di masa Rasulullah ketika Hathib bin Balta’ah yang menjadi mata-mata kaum musyrik Makkah mendapat hukuman takzir yang jenis dan kadarnya diserahkan kepada qadhi. 


Namun Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa pelaku tajassus terhadap umat Islam bisa dijatuhi hukuman mati. Sedangkan Khatib adalah Ahlu Badar sehingga mendapat keistimewaan tersebut.


Negara Islam akan mendorong setiap individu warganya untuk beriman dan bertakwa kepada Allah dan menerapkan aturan Islam secara menyeluruh. Terbentuklah masyarakat dengan perasaan dan pemikiran yang sama yakni Islam. Sehingga akan meminimalisir terjadinya pertikaian di antara masyarakat. Bahkan akan menimbulkan ikatan persaudaraan yang kuat demi meraih rida Allah.


Para pemangku pemerintahan dan aparatur negara akan menjalankan tugasnya dengan optimal untuk kepentingan masyarakat dan dengan penuh rasa takut kepada Allah. Karena kepemimpinan dan amanah akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak di yaumil hisab. Fungsi pemimpin dalam Islam adalah sebagai raa’in yakni pengurus urusan rakyat, dan junnah atau pelindung bagi rakyatnya. Sehingga dia tidak akan membiarkan umat Muslim terpecah belah karena ulah kufar penjajah dan anteknya.


Pemimpin dalam sistem Islam akan betul-betul menjaga umat Muslim dari upaya-upaya orang kafir dalam melakukan adu domba. Maka hukuman bagi kafir harbi atau orang kafir yang merupakan musuh Islam, ketika dia memata-matai umat Muslim maka akan dijatuhi hukuman mati. Sedangkan jika pelakunya kafir zimmiy yang terikat perjanjian perdamaian, maka sebagian ulama ada yang berpendapat hukuman mati. Sedangkan Imam Malik dan Abdurrahman Al Auzai berpendapat hukumannya adalah dicabutnya perjanjian dan perlindungan atas dirinya.


Dengan demikian, yang dibutuhkan umat untuk keamanan dan kenyamanan dalam semua aktivitasnya adalah sosok pemimpin yang berperan sebagai raa'in dan pelindung sesuai dengan aturan syariat, bukan pemimpin yang menjadi kepanjangan tangan Barat untuk memecah kaum muslimin. Wallahualam bissawab.