Pemuda Idaman Dambaan Umat (Quo Vadis?)

Daftar Isi

 


Penulis: Ati Solihati, S.TP.

(Praktisi Pendidikan)


Siddiq-news.com -- Masa muda adalah fase puncak dalam kehidupan manusia.  Karena pada fase ini, manusia dalam kondisi terbaiknya.  Memiliki kekuatan fisik dan pemikiran.  Bung karno, founding father negeri ini,  menggambarkan potensi besar yang dimiliki pemuda dengan pernyataan : “Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya.  Berikan aku satu pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”.  

Demikian besarnya potensi yang dimiliki pemuda.  Potensi ini merupakan aset bagi suatu bangsa.  Sebagaimana pepatah Arab, “Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan.”

Terkait hal ini, semestinya bangsa Indonesia sangat bersyukur, karena mendapat berkah bonus demografi. Puncaknya pada tahun 2028-2030, 70% penduduk Indonesia adalah usia produktif, yaitu 15-64 tahun. Dengan mayoritas penduduk muda, plus segala potensi terbaiknya, maka semestinya Indonesia siap mengguncang dunia, dengan capaian-capaian terbaiknya.

Terlebih lagi dengan mayoritas penduduk muslim, maka syariat Islam bukan hanya akan melesatkan potensi terbaik para pemuda untuk kemajuan dan kemaslahatan umat manusia dan seisi alam, tetapi juga akan menjadi payung yang menaungi manusia untuk tetap dalam fitrah kebaikan. Sehingga terlahirlah peradaban yang maju, agung, luhur, nan mulia.

Namun sayangnya, para pemuda muslim saat ini, tidak dinaungi syariat Islam. Padahal habitat kehidupan seorang muslim adalah kehidupan islami.  Sebagaimana halnya ikan, habitatnya adalah perairan. Jika dijauhkan dari perairan, maka ikan akan menderita, terkapar, bahkan mati. Demikian juga seorang muslim. Jika dijauhkan dari syariat Islam, maka dia akan merana. Jika tidak mampu bertahan, maka ruh Islamnya akan mati. Dia akan bermetamorfosis menjadi mayat hidup, tanpa ruh Islam. Mereka menjelma menjadi manusia “unfitrah”, sehingga “unfaedah”. Tiadalah peradaban yang diwujudkan sosok-sosok tanpa fitrah dan tak berfaedah ini, kecuali peradaban yang rusak dan merusak.

Demikianlah realita kehidupan yang ada saat ini. Sekulerisme, sistem kehidupan yang alergi mengikatkan diri dengan agama, telah mencengkeram setiap sendi kehidupan. Para pemuda muslim dijauhkan dari nilai-nilai luhur syariat Islam kafah.  Keber-islaman dipasung dengan moderasi. Mereka digiring untuk bertransformasi menjadi pemuda muslim moderat. Pemuda muslim pengusung demokrasi dan duta penyebaran dimensi-dimensinya: HAM, kesetaraan gender, pluralisme, serta menerima hukum nonsektarian (tidak berasal dari 1 agama). Sebaliknya menolak ajaran-ajaran Islam Kafah, seperti menolak konsep khilafah, jihad, uqubat, dan keharaman riba. Wilayah syariat yang masih diperbolehkan sebatas ibadah mahdhah (ritual) semata.

Kehidupan sekuler menjadikan tatanan kehidupan tanpa kendali.  Dengan berpayung HAM, para pemuda merasa memiliki ruang bebas ekspresi: bebas berpendapat, bertingkah laku, memiliki, bahkan beragama. Ada pemuda yang rajin beribadah tapi doyan gaul bebas. Ada pemuda pintar, tapi minus akhlak dan moral. Ada pemuda sukses, tapi berperilaku “belok” dan menyimpang. Ada pemuda kreatif dan inovatif, tapi hanya untuk sekedar konten viral di medsos. Kehidupan hedonis pun membuat mereka berangan berlimpah materi. Tidak sedikit para remaja puteri yang rela menjadi “ani-ani” para “sugar daddy” hanya demi cuan untuk memenuhi nafsu hedonisnya. Tidak sedikit para pemuda yang kemudian menjadi sampah peradaban. 

Alih-alih bonus demografi usia muda sebagai aset membangun peradaban, namun karena sistem yang menaunginya adalah sistem kehidupan yang rusak, yang mereduksi nilai-nilai ilahiyah, bonus ini pun berbalik menjadi musibah. 

Kondisi seperti ini adalah kondisi yang tidak baik-baik saja. Sebagai seorang muslim, kita memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan yang ada, menjadi keadaan yang baik-baik saja. Bahkan mesti menjadi keadaan yang terbaik, sebagaimana halnya fitrah umat Islam adalah umat yang terbaik. 

Dibangun dari kesadaran, bahwa rusaknya kehidupan umat manusia ini karena menjauhkan diri dari tata aturan yang ditetapkan Sang Khaliq. Maka tidak ada jalan keluarnya, kecuali mengembalikan penataan kehidupan sesuai dengan yang dikehendaki Allah, yaitu berlandaskan kepada Islam.

Untuk mewujudkannya dibutuhkan support system seluruh ranah kehidupan. Keluarga, sebagai sistem kehidupan terkecil, mesti memastikan ketakwaan seluruh anggota keluarga. Mesti memastikan, ranah keluarga berjalan dalam koridor syariat Islam. 

Mengembalikan tugas utama muslimah adalah sebagai ummun wa rabbatul bait. Sebagai ibu yang menjadi madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Sehingga akidah Islam tertanam kokoh dalam jiwa anak.  Menjadi modal bagi anak untuk tetap bagaikan karang yang kokoh dalam mengenggam Islam, sekalipun diterpa beragam gelombang budaya yang menyesatkan.  

Juga menguatkan kembali sosok laki-laki sebagai qawam, sebagai pemimpin keluarga. Yang bertanggung jawab penuh sebagai nakhoda, membawa biduk rumah tangga  mengarungi samudera kehidupan. Meski dengan segala hambatan bahkan beragam serangan, untuk melabuhkan keluarga samawa, dengan selamat di pantai taman surga kelak.

Mesti memastikan ranah masyarakat berjalan mengokohkan tatanan keluarga. Kontrol masyarakat berjalan dengan amar makruf nahi mungkar terhadap setiap penyimpangan yang terjadi.  

Sekolah dan pesantren hadir menguatkan dan melanjutkan proses pendidikan yang telah dimulai di ranah keluarga. Para pemuda ditempa pola pikir dan pola sikapnya dengan basis akidah Islam. Sehingga terbentuk kepribadian Islam, yang senantiasa menghiasi interaksi mereka di tengah-tengah masyarakat.  

Para pemuda dibekali dengan tsaqafah Islam dan tsaqafah kehidupan: sains dan teknologi.  

Para pendidik hadir di tengah anak didik, tidak hanya sekadar transfer ilmu, tetapi juga transfer behavior, yang sesuai syariat Islam. Sehingga terlahirlah para pemuda muslim yang satu paket dalam dirinya: ulama, ilmuwan, sekaligus pembela Islam.

Namun harapan tersebut hanya akan dapat terwujud, kalau pilar yang ketiga juga hadir, yaitu negara. Negara hadir memastikan agar support system di ranah individu dan keluarga, serta masyarakat, berjalan dalam koridor syariat berbasis akidah Islam.  

Untuk menjamin hal tersebut, negara akan menetapkan regulasi-regulasi yang diambil dari sumber hukum Islam: Al-Qur'an, As-sunnah, Ijma sahabat, dan kiyas.  

Negara tersebut,  bentuknya telah ditetapkan oleh syariat.  Rasulullah menjelaskan bahwa kekuasaan negara sepeninggal beliau adalah Khilafah Islamiyah. Sistem pemerintahan yang mengikuti manhaj Beliau.  Yang menerapkan seluruh syariat Islam secara kafah.  

Namun selama sistem kehidupan tidak berganti menjadi sistem Islam (baca: Khilafah Islam), selama sekulerisme masih mencengkeram seluruh sendi kehidupan, maka harapan terlahirnya pemuda idaman dambaan umat, sekadar harapan terpasung. Quo vadis?