Anakku Sayang, Anakku Malang dalam Dekapan Kapitalisme

Daftar Isi


Negara akan mengatur perkembangan teknologi mampu menjadikan manusia sadar akan perannya sebagai hamba Allah yang bertakwa dan khalifatullah fill ardh di muka bumi. 

Kasus perkosaan diduga terjadi pada seorang anak TK dan dilakukan oleh tiga bocah Sekolah Dasar (SD) di Mojokerto, Jawa Timur. Kasus itu masih dalam proses penyelidikan oleh pihak kepolisian setempat.


Oleh: Nesvy Mayasari 

(Pemerhati Umat)


Merinding, bergidik ngeri! Lebih dari sekadar menonton film horror, mirisnya ini adalah realita. Seolah tidak ada tempat aman lagi untuk anak-anak di negeri ini. 


Dilansir dari detik.com (21/01/2023), kuasa hukum korban, Krisdiyansari mengatakan bahwa korban diduga diperkosa oleh tiga anak laki-laki di sebuah rumah kosong. Pelaku pertama memperkosa korban. Kemudian dia menyuruh temannya melakukan hal yang sama. Jika tidak, mereka diancam mau dipukul dan tidak dijadikan teman. Pengakuan korban, dua pelaku memperkosa dan satunya mencabuli. Ironisnya, ketiga terduga pelaku baru berusia delapan tahun. Mereka adalah tetangga korban di salah satu desa di wilayah Kecamatan Dlanggu.


Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan data anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis sebanyak 502 kasus. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan fisik dan/atau psikis kepada anak diantaranya adalah adanya pengaruh negatif teknologi dan informasi, permisifitas lingkungan sosial-budaya, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan keluarga, tingginya angka pengangguran, hingga kondisi perumahan atau tempat tinggal yang tidak ramah anak. 


Hal tersebut memperlihatkan bahwa posisi anak sangat rentan terhadap berbagai kekerasan karena ada banyak sekali faktor yang dapat menjadikan anak sebagai korban maupun pelaku.


Kasus tersebut menjadi tamparan keras bagi semua pihak, baik keluarga, masyarakat, institusi pendidikan, dan tentu saja negara. Memang benar bahwa keluarga memiliki peran penting dalam pengasuhan anak. Secara alamiah, dapat dikatakan anak-anak adalah peniru ulung. Perilaku rusak pada anak tentu ada kaitannya dengan pengasuhan orang tua. 


Pengasuhan yang tepat tentu membutuhkan ilmu pengasuhan. Faktanya, saat ini negara belum memberikan bekal yang cukup untuk calon orang tua, baik dalam kurikulum pendidikan maupun bimbingan calon pengantin menjelang pernikahan. 


Demikian halnya juga dengan mudahnya anak mengakses informasi lewat internet yang tidak kita mungkiri memberi peran terjadinya kasus ini. Berbagai konten pun bebas berkeliaran mengabaikan tayangan ramah anak. Akibatnya, anak dapat mengakses tayangan yang tidak layak dikonsumsi anak-anak, dan mendorong anak menirunya, bahkan ketika anak belum memahami yang dilihatnya. Berkaca pada fakta, bahwa peran negara untuk memberikan kebijakan berupa batasan mengenai tayangan atau konten yang bergenre pornografi dan pornoaksi tidak mampu menghalau derasnya akses internet yang telah dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk anak-anak. 


Pembentukan lingkungan yang tidak kondusif di tengah masyarakat pun menjadi faktor penentu berikutnya bagi keberlangsungan kehidupan anak. Lingkungan masyarakat saat ini menentukan corak anak untuk kehidupan selanjutnya.


Sekolah sebagai institusi pendidikan, alih-alih mampu mencetak anak-anak yang berkualitas dan memiliki kepribadian yang kuat, tetapi justru melahirkan anak yang banyak masalah. Kurikulum yang diterapkan pun tidak mampu mengarahkan para pelajar untuk bersikap baik atau beradab.


Namun, sesungguhnya ini semua hanyalah dampak. Akar masalahnya adalah akibat dari penerapan sistem sekuler kapitalisme di negeri ini. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, nilai-nilai moral dan agama telah dicabut. Asas ini melahirkan paham liberalisme yang mengagung-agungkan kebebasan, baik kebebasan berakidah, berpendapat, berkepemilikan dan bertingkah laku hingga aturan-aturan agama pun makin dipinggirkan. Padahal, kekuatan ruhiyah yang lahir dari pemahaman terhadap agama adalah satu-satunya yang mampu menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan.


Telah nyata pula, negara yang menerapkan sistem sekuler kapitalisme, justru mematikan perannya dalam riayah (memelihara). Negara gagal menciptakan masyarakat yang berkepribadian Islam. Mereka mendidik dengan sistem yang sekuler hingga menggiring manusia pada keburukan dan kenestapaan tanpa pandang bulu. Orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak pun menjadi korbannya. 


Namun, hal tersebut tidak akan terjadi jika negara menjadikan aturan Allah Swt. sebagai way of life. Individu, masyarakat dan negara akan menjadikan akidah Islam sebagai banteng untuk selalu terikat pada aturan Allah. Individu dan masyarakat tidak akan membiarkan diri mereka terseret dalam kungkungan arus sekulerisme. Pun negara, akan membuat kebijakan dan peraturan berpedoman akidah Islam.


Negara juga akan menjaga pemikiran umat agar bersih dan mulia, bersemangat dan berlomba-lomba melakukan kebaikan dan ketaatan, memelihara diri dari kemungkaran, kemaksiatan dan hal yang sia-sia.

Selanjutnya, negara pun akan mengatur perkembangan teknologi yang mampu menjadikan manusia sadar akan perannya sebagai hamba Allah yang bertakwa dan khalifatullah fill ardh di muka bumi. 


Tentu saja hal tersebut akan terwujud jika kita membuang sistem rusak seperti kapitalisme sekuler dan menggantinya dengan sistem kehidupan yang benar, sistem kehidupan yang datang dari Allah Swt., yang tidak lain adalah sistem Islam. Sistem yang telah terbukti mampu mewujudkan ketentraman, dan keamanan bagi semua masyarakat, baik Muslim maupun nonmuslim.



Wallahu a’lam bishawwab