Jajanan Junk Food Marak, Diabetes Anak Merebak

Daftar Isi

 


Negara Abai dalam Mewujudkan Keamanan Pangan bagi Rakyat?


Negara bertanggung jawab secara penuh terhadap keamanan pangan warganya, karena demikianlah Islam memerintahkan.


Oleh Safiatuz Zuhriyah

Aktivis Dakwah Muslimah


Siddiq-news.com -- Saat ini, lazim kita temui aneka macam jajanan menggugah selera. Tak hanya di kota, namun di pelosok desa pun sudah banyak lapaknya. Bukan hanya untuk orang dewasa, bahkan untuk anak- anak lebih beragam lagi ragamnya. Sayangnya, alih-alih menambah asupan gizi, sebagian besar jajanan tersebut justru bisa dikategorikan sebagai junk food.


Junk food adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan makanan yang mengandung kalori, lemak, gula, dan garam terlalu tinggi; tetapi kandungan vitamin dan seratnya rendah. Biasanya junk food juga mengandung berbagai bahan tambahan pangan seperti pemanis, perasa dan pengawet buatan. Kebalikannya adalah healthy food, yaitu istilah yang digunakan untuk makanan yang mengandung nutrisi sesuai dengan kebutuhan tubuh sehingga bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan tubuh kita.


Konsumsi junk food, bisa menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan seseorang. Umumnya, konsumsi makanan mengandung lemak jenuh, dapat meningkatkan risiko obesitas. Sedangkan kadar garam tinggi dapat memicu hipertensi. Sementara kadar gula terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada gigi dan penyakit diabetes.


Dilansir dari Liputan6[dot]com, (3/2/2023), Ketua Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia(IDAI) dr Muhammad Faizi, SpA (K) mengatakan, prevalensi kasus diabetes pada anak meningkat 70 kali lipat pada Januari 2023 dibandingkan tahun 2010. Faizi menyebut, kasus diabetes pada anak mencapai 2 per100.000 jiwa per Januari 2023.


Kasus ini meningkat, disinyalir karena banyaknya jajanan tidak sehat (junk food) yang dikonsumsi anak- anak. Terutama pada usia 7- 14 tahun, yaitu ketika anak mulai mandiri berada di sekolah dan berpeluang jajan tanpa pengawasan. Dr. Piprim menyarankan agar anak-anak mendapat asupan protein hewani ditambah sayuran hijau supaya anak kenyang lebih lama sehingga tidak kalap mengonsumsi camilan yang tidak sehat. Selain itu, anak- anak juga disarankan aktif bergerak, berolahraga dan cukup tidur.


Mengapa Junk Food Lebih Digemari?


Tingginya konsumsi junk food daripada healthy food, mencerminkan ketidakpahaman masyarakat tentang pola makan sehat. Tingkat pendidikan yang rendah, membuat orang tidak memahami kandungan gizi dalam makanan yang sedang dikonsumsi atau dihidangkan untuk anak-anaknya. Terlebih lagi dengan adanya kemiskinan akut, rakyat tidak lagi peduli dengan gizi. Yang penting kenyang. Urusan kesehatan tidak lagi jadi prioritas.


Bak gayung bersambut, pedagang pun menjumpai fakta yang sama. Sulitnya ekonomi memaksa produsen untuk memakai bahan murah tanpa mempedulikan faktor kelayakan konsumsi. Tak jarang, bahan- bahan berbahaya digunakan untuk menekan ongkos produksi. Pedagang pun lebih memilih makanan murah asalkan menarik dan diminati pembeli, meski berbahaya.


Termasuk produsen di sini adalah industri makanan. Industri bermodal besar telah abai terhadap keamanan produk demi mendapatkan keuntungan besar. Dalam sistem ekonomi kapitalisme berlaku prinsip 'dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar- besarnya'. Prinsip ini cenderung menjadikan manusia serakah, hanya memikirkan keuntungan materi semata. Kesehatan dan keselamatan konsumen sama sekali tidak masuk dalam pertimbangan bisnis. 


Di sisi lain, negara telah abai dalam mewujudkan keamanan pangan bagi rakyatnya. Wajar saja, karena fungsi negara saat ini hanya sebagai pengontrol, bukan penyelenggara urusan rakyat. Selama tidak ada perselisihan, maka negara akan berdiam diri, membiarkan hukum alam berlaku. Siapa yang kuat (modalnya) maka dialah pemenangnya.


Bahkan sering kita lihat, penguasa justru berpihak kepada para kapitalis ketika tersandung masalah keamanan pangan. Karena keberpihakan tersebut menjamin keberlangsungan tampuk kekuasaannya. Bisa dikatakan bahwa para pemilik modal inilah penguasa sebenarnya.


Makanan Halal dan Thayyib


Islam mengharuskan umatnya untuk mengonsumsi makanan yang halal dan thayyib. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an, "Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan jangan kamu mengikuti langkah-langkah setan."(Al-Baqarah 168).


Halal artinya diperbolehkan menurut syarak, baik dilihat dari zatnya maupun cara memperolehnya. Sedangkan thayyib adalah makanan yang sehat, tidak berlebihan, aman dikonsumsi, tidak membahayakan tubuh, dan tentu saja halal.


Bagi seorang muslim, makan bukan sekadar memasukan asupan pada mulut dan menelannya. Namun lebih dari itu, bahwa makan adalah bentuk rasa syukur kepada Allah Swt. atas begitu banyak anugerah yang Dia berikan sekaligus sarana yang harus dilakukan agar kuat menjalankan ibadah. Maka aktivitas makan menjadi bagian dari ibadah yang mempunyai nilai pahala.


Rasulullah saw. tidak makan sebelum lapar dan segera berhenti makan sebelum kenyang. Pola makan bukanlah harus kenyang karena kapasitas perut bukan hanya untuk makanan, tetapi ada bagian juga untuk air dan udara. Kita harus memastikan bahwa apapun yang masuk ke dalam perut sudah memenuhi standar halan dan thayyib. Bukan sekedar kenyang. Apalagi memperturutkan hawa nafsu hanya sekedar ingin mencicipi makanan yang sedang viral.


Negara bertanggung jawab secara penuh terhadap keamanan pangan warganya, karena demikianlah Islam memerintahkan.


Masyarakat akan diedukasi tentang kriteria makanan yang halal dan thayyib secara terus- menerus dan dipelajari dalam kurikulum pendidikan. Negara juga menjadi pihak pertama yang mengawasi peredaran seluruh bahan pangan di tengah masyarakat. Apabila ada yang melanggar ketentuan, maka diberikan sangsi tegas. Hukum Islam tidak pandang bulu dan tidak memihak kepada pemilik modal.


Dengan demikian, kesehatan rakyat akan terjaga dan generasi muda muslim tumbuh menjadi generasi yang kuat.