ONH Melangit, CJH Menjerit

Daftar Isi

 



Khalifah Abbasiyah Harun ar-rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz. Pada masing-masing titik dibangun pos pelayanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal 


Oleh Mutiara Aini


Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni'mata laka wal mulk laa syarika lak...


Lantunan kalimat talbiyah nan syahdu diucapkan berulang-ulang  berharap keinginannya dikabulkan berulang kali. Ada rasa bahagia, haru dan syukur.

Namun kini, rasa itu mungkin hanya sebatas mimpi entah terwujud atau tidak. Mengingat ongkos naik haji (ONH) kini melonjak naik hingga dua kali lipat.


Dilansir dari CNNIndonesia (20/1/2203), kenaikan ini diusulkan pemerintah melalui Kemenag, bahwa calon jemaah haji (CJH) harus membayar kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) sebesar Rp69 juta. Ongkos ini juga lebih tinggi dibandingkan 2018 sampai 2020 lalu yang ditetapkan hanya Rp35 juta.


Jumlah tersebut merupakan 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11. Sedangkan, 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta.


Menag Yaqut Cholil Qaumas beralasan kebijakan ini diambil untuk menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan.


Padahal, Arab Saudi telah menurunkan paket layanan haji 1444 H sekitar 30% dari harga yang telah tetapkan pada tahun 2022. Hal inipun dibenarkan oleh  Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief. Menurutnya, penurunan paket haji tersebut telah diperhitungkan dalam usulan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1444 H/2023 M yang disusun pemerintah. 


Rencana kenaikan tersebut pun dikeluhkan oleh sejumlah calon jamaah haji(CJH). Bahkan ada sejumlah calon jamaah haji yang mengundurkan diri jika ONH pada tahun 2023 naik.


Sejatinya, ibadah haji disyariatkan sebagai fardhu ain bagi kaum Muslim yang memenuhi syarat dan mampu sebagaimana yang dinyatakan dalam surah Ali Imran ayat 97. 


Selain bernilai ibadah, haji memiliki makna politis dan syiar agama Islam. Makna politis ini tampak pada bersatunya kaum muslim, ketika wukuf di Arafah umat Islam di seluruh dunia hanya diikat oleh akidah yang sama Al-Qur'an dan kiblat yang sama. Tidak ada perbedaan kelas dan strata.


 Seluruh kaum Muslim berkumpul di Arafah untuk menyerukan seruan yang sama yaitu bacaan talbiyah, tahlil, tahmid, takbir dzikir dan doa. 

Adapun makna syiar agama terlihat pada serangkaian proses ibadah haji itu sendiri. Berkumpulnya kaum Muslim di satu tempat melakukan ibadah yang sama mengumandangkan keseruan yang sama menunjukkan kehebatan Islam dalam menyatukan pemeluknya.


Namun saat ini ibadah haji dikerdilkan oleh penguasa kapitalisme sebagai ibadah ritual semata, sistem kapitalis yang diterapkan berorientasi pada materi semata sehingga semua berdampak pada  kebijakan yang diambil. Mereka memandang bahwa semakin banyak kuota jamaah haji, maka akan semakin banyak keuntungan yang didapat. 

Sangat tampak pelayanan penguasa kapitalisme dalam mengurusi masalah ibadah kaum Muslim hanya berorientasi pada bisnis. 


Ibadah Haji dalam Sistem Islam


Hal ini tentu sangat berbeda sekali pelayan ibadah haji dalam sistem Islam. Penguasa dalam sistem ini disebut khadimul ummah atau pelayan umat. Di mana setiap kebijakannya senantiasa diupayakan untuk memudahkan urusan rakyatnya, termasuk perkara ibadah. Untuk mengatur penyelenggaraan haji, selain terkait dengan syarat, wajib dan rukun haji, pemilik kebijakan juga akan memastikan masalah hukum ijra'i  terkait dengan teknis dan administrasi, termasuk uslub dan wasilah.


Syaikh Taqiyuddin an Nabhani  dalam kitab Ajhizah ad-Dawlah Al-Khilafah  menjelaskan bahwa prinsip dasar negara dalam mengatur masalah manajerial, yakni sistemnya sederhana, eksekusinya cepat dan ditangani oleh orang-orang yang profesional. Karena itu sebagai pemimpin negara yang menangani lebih dari 50 negeri kaum Muslim. Daulah akan mengambil kebijakan melalui beberapa hal.


Pertama, membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah dari pusat hingga ke daerah. Tugas departemen ini mengurus persiapan, bimbingan, pelaksanaan, hingga pemulangan jamaah haji ke daerah asal. Dalam melaksanakan tugas ini, departemen haji akan bekerja sama dengan departemen kesehatan dalam mengurus kesehatan jamaah, termasuk departemen perhubungan dalam urusan transportasi. 


Kedua, ongkos naik haji (ONH) ditentukan bukan dengan paradigma bisnis seperti penguasa kapitalisme saat ini. Besar kecilnya biaya ditentukan berdasarkan jarak wilayah para jemaah dengan tanah haram yakni Mekkah dan Madinah, serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci. Daulah akan menyediakan opsi rute baik dari darat, laut dan udara dengan konsekuensi biaya yang berbeda.


Ketiga, penghapusan visa haji dan umrah. Daulah merupakan satu kesatuan dari negeri kaum Muslim. Sehingga untuk melakukan berkunjung dari satu wilayah ke wilayah lain hanya perlu menunjukkan kartu identitas. Bisa KTP atau paspor. Sedangkan Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi maupun fi'lan. 


Keempat, dalam pengaturan kuota haji dan umroh. Daulah akan menggunakan database warga negaranya untuk menentukan urutan prioritas pemberangkatan ibadah haji. Dalam hal ini daulah akan memperhatikan dua hal: pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan mampu. 


Kelima pembangunan infrastruktur Mekah Madinah agar semakin memudahkan para tamu Allah dalam beribadah. 

Di antara bukti nyata pengaturan daulah dalam mengurus ibadah haji terlihat pada kebijakan Sultan Abdul Hamid II, seorang khalifah pada masa  Utsmaniyah. Beliau membangun sarana transportasi massal berupa jalur kereta api dari Istambul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji. 


Bahkan jauh sebelum masa Utsmaniyah, seorang Khalifah Abbasiyah Harun ar-rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz. Pada masing-masing titik dibangun pos pelayanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. 


Tidak hanya itu khalifah Harun Ar-Rasyid juga memiliki kebiasaan menghajikan 100 orang ulama dan anak-anak mereka bila beliau naik haji. Jika ia sedang berjihad, sehingga tidak berangkat haji, maka ia menghajikan 300 orang ulama dan anak-anak mereka. Semua itu berasal dari harta pribadi khalifah. 


Itulah sekelumit sejarah pemerintahan yang menerapkan sistem  Islam dalam melayani para tamu Allah yang tidak akan pernah bisa diwujudkan dalam sistem kapitalisme saat ini.



Wallahu a'lam bisshawab