Penyakit Diabetes pada Anak, Negara Gagal Melindungi Anak?

Daftar Isi


Hilangnya Peran Negara dalam Menjaga Kesehatan Anak Negeri.


Islam yang memiliki seperangkat aturan untuk mewujudkan kebaikan (kesehatan) untuk seluruh manusia.


oleh Iven Cahayati Putri

(Pemerhati Sosial)


Siddiq-news.com -- Ketua Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Muhammad Faizi, SpA(K) mengatakan bahwa prevalansi kasus diabetes pada anak meningkat 70 kali lipat pada Januari 2023. 


Jumlah tersebut dibandingkan dengan diabetesi anak tahun 2010. Faizi menyebutkan kasus diabetes pada anak mencapai 2 per 100.000 jiwa per Januari 2023. Kasus yang banyak ditemukan adalah tipe I sedangkan diabetes tipe II pada anak sebanyak 5-10 persen dari keseluruhannya. (Liputan6.com, 3/2/2023)


Saat ini data IDAI mencatat ada sekitar 1.645 anak di Indonesia yang mengalami diabetes. Data yang tercatat ini berasal dari 15 kota, mulai dari Jakarta, Surabaya, Palembang, hingga Medan. Dari laporan tersebut, jumlah yang paling banyak berasal dari Jakarta dan Surabaya. (CNBCIndonesia/2/2/2023)


Lagi-lagi gangguan kesehatan serius pada anak kembali menghantui masyarakat kita. Padahal belum usai fenomena gagal ginjal akut yang merenggut nyawa banyak anak. Jika gagal ginjal akut konon karena Chiki Ngebul, maka sekarang diabetes karena pola makan yang tidak sehat. Memang memprihatinkan, tetapi itulah realitanya. Beberapa pihak lengah, hingga penguasa yang bertanggungjawab besar atas fenomena ini gagal menjaga anak dan menjaga kualitas pangan. 


Menteri Kesehatan Budi Gunadi menyatakan, diabetes merupakan ibu dari segala penyakit sebab dapat menjalar kepada terjadinya stroke, gagal ginjal, bahkan penyakit jantung. Melihat faktanya, diabetes ini bukan semata penyakit genetik atau keturunan melainkan karena kesalahan pola konsumsi. Sementara  diabetes bukan penyakit pertama yang diakibatkan oleh pola makan yang salah. Di samping itu gagal ginjal akut, kanker dan leukemia juga mengintai. Di Indonesia sendiri ada 14,2 per 100.000 penderita leukemia. Pasalnya, penderita diabetes tipe I sampai saat ini belum ada obatnya sama halnya dengan kanker pada anak yang sampai detik ini belum juga ada obatnya. Solusinya hanya preventif atau pencegehan, yaitu dengan pola hidup sehat, olahraga, istrahat, serta makan makanan yang teratur.


Diabetes pada anak sendiri, sebagian besar diakibatkan oleh makanan yang tidak sehat khususnya gula yang berlebihan. Dan saat ini negara sangat ketergantungan dengan gula. Berdasarkan data Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia  (AGRI) stok gula rafinasi dalam negeri tinggal 30.000 ton hingga akhir tahun 2022, seiring melonjaknya industri makanan dan minuman yang mengakibatkan anak sulit dilerai keinginannya untuk mengonsumsi makanan jajan yang tidak terjamin kesehatan dan keamanannya. Misalnya saja makanan ringan ataupun minuman soft drink yang sangat murah dan mudah ditemukan di lingkungan anak. Studi nutrisi yang diterbitkan National center for Biotechnology Information (NCBI) menunjukan satu gelas dengan 16 ons menghasilkan total kalori jenuh diatas 16 persen.


Dokter dan ahli gizi masyarakat, Dr.dr. Tan Shot Yen, M.Hum, mengatakan bahwa kandungan gula pada susu kental manis juga dapat menyebatkan diabetes. Bahwasannya, 45 gram susu  yang diencerkan hingga 150  cc mengandung kurang lebih 20 gram gula, padahal World Health Organization (WHO) telah menekankan konsumsi gula sehari pada orang dewasa  tidak lebih dari 25 gram. Belum ditambah dengan minuman dan makanan yang lainnya  seperti es krim, es teh, junkfood, dan masih banyak lagi. 


Kita harus memahami bahwa mengonsumsi gula secara berlebihan dapat menyebabkan tubuh memerlukan insulin lebih banyak lagi untuk menjaga glukosa darah tetap normal. Kondisi ini  dapat menyebabkan insulin terganggu dan sel akan menjadi resisten terhadap insulin. Kadar insulin yang meningkat  dapat mengakibatkan banyak glukosa dalam darah yang disimpan dalam lemak. Sehingga kondisi inilah yang menyebabkan gula darah lebih tinggi. 


Sungguh sangat berbahaya ternyata masyarakat khususnya anak-anak berada dalam bayang-bayang penyakit yang serius. Makanan yang dikonsumsi sangat jauh dari kata ‘sehat’. Akan tetapi hal itu bukan tidak beralasan, melainkan ada sebabnya. Di satu sisi, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pola hidup sehat dengan asupan yang bergizi. Namun di sisi yang lain setelah masyarakat memiliki pengetahuan tentang pola konsumsi yang sehat, persoalan berikutnya adalah kondisi perekonomian keluarga tidak menjangkaunya setiap saat. Tidak bisa dipungkiri di masa sulitnya mencari uang, makanan yang terjangkau hanyalah makanan yang tidak sehat. 


Maka terjawab jika maraknya fenomena ini tidak terlepas dari hilangnya peran negara dalam menjaga anak dalam negeri. Sungguh tidak cukup jika sekadar memberi imbauan kepada anak-anak agar menghindari makanan dan minuman instan, sementara produknya terdapat dimana-mana. Terlebih harganya dapat dijangkau masyarakat umum. Namun tidak heran, kondisi negara yang konsumtif tentu menjadi angin segar perusahaan-perusahaan besar untuk menjadikannya target pasar. Negara pun tidak menolak, melainkan menerima dengan tangan terbuka. Di samping gagal secara pencegahan, dari segi pengobatan juga menjadi masalah. Anak-anak pengidap diabetes harus diberikan obat atau mendapatkan pelayanan kesehatan, sayangnya biaya perawatan sangat mahal, sehingga persoalan makin kompleks dan kasus terus bertambah.


Inilah akibatnya jika negara menerapkan aturan kapitalisme-sekuler yang orientasinya adalah keuntungan materi. Selama ada pemasukan yang diterima, segala hal boleh dan legal tanpa melihat dampak buruknya dan bertanggungjawab apabila terdapat korban. Bahkan demi pemasukan, tertuang dalam Perpres No. 130/2022  tentang perincian APBN Tahun anggaran 2023, pada 30 November 2022 lalu yang menerbitkan aturan rincian APBN  tahun 2023 yang salah satu isinya berisi target penerimaan cukai dari plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan. Pemerintah mematok target penerimaan cukai minuman bergula dalam kemasan sekitar Rp.3,08 triliun.  Agaknya memang negara tidak berpihak terhadap masyarakat, peduli terhadap kesehatan anak-anak, dan sebaliknya hanya mengurus kepentingan pemilik uang.


Realita di atas sangat berbeda dengan Islam yang memiliki seperangkat aturan untuk mewujudkan kebaikan untuk seluruh manusia. Aturan Islam orientasinya adalah iman dan takwa kepada Allah SWT, bukan untung rugi. Pemimpin negara dalam Islam tidak sembarangan mengedarkan makanan dan minuman masyarakat yang tidak halal dan tidak baik, sebab ia memahami tanggungjawabnya memberi jaminan perlindungan atas terpenuhinya kebutuhan makanan dan minuman yang halal dan baik bagi rakyatnya.


Pemimpin Islam paham betul jika  makanan/minuman itu haruslah halal dan tayib. Sebagaimana Allah SWT berfirman, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi tayib dari apa yang terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)


Itulah panduan dalam mengkosumsi makanan dan minuman, tidak hanya halal namun juga harus baik karena semua yang dikonsumsi sangat berpengaruh terhadap tubuh dan perilaku. Selain tindak preventif (pencegahan) negara juga mengupayakan tindakan kuratif. Negara akan menyediakan obat-obatan, rumah sakit, dokter yang baik, dan gratis karena sudah menjadi tanggungjawabnya menjamin kesehatan setiap warga negara. Pengurusan seperti ini hanya akan terwujud jika menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, dan mustahil terjadi jika sistemnya masih layaknya saat ini, yaitu kapitalisme-sekuler.

Wallahu a’lam bi showwab.