Kebijakan Setengah Hati Pemberantasan Miras

Daftar Isi

 


Izin bagi para pengusaha miras untuk bebas mengedarkan miras, selama mereka membayar cukai dan pajak.


Islam takkan membuka celah peluang peredaran minuman beralkohol.


Oleh Asma Sulistiawati 

(Pegiat Literasi)


Siddiq-news.com -- Minuman keras atau minuman beralkohol adalah minuman yang di dalamnya terkandung zat alkohol atau etanol.


Minuman ini dihasilkan dari proses fermentasi atau penambahan zat alkohol dan apabila dikonsumsi dapat menyebabkan hilangnya kesadaran atau mabuk. Minuman keras dapat dibuat secara alami maupun kimiawi dan biasanya dibuat dari bahan-bahan alami seperti anggur, beras, gandum, dan buah-buahan lain yang difermentasi.


Proses fermentasi itu sendiri adalah proses perubahan karbohidrat menjadi gula sederhana dan menghasilkan etanol sebagai zat sampingan atau residu. Zat etanol inilah yang membuat seseorang menjadi mabuk karena zat ini mampu menekan sistem saraf pusat dan membuat seseorang hilang kendali atau kesadarannya. Seseorang yang kehilangan kendali tentu sangat berbahaya, sebab dengan mudah bisa melakukan apa saja termasuk tindakan kriminal seperti mencuri maupun membunuh.


Berdasarkan realitas minuman keras tersebut maka kebijakan rezim untuk menertibkan miras jelang ramadhan sebenarnya merupakan langkah yang patut diapresiasi. Akan tetapi, ketika kita mencermati secara teliti, ada problem penting yang wajib diketahui mengenai fakta bisnis miras di Indonesia, yang diprediksi menjadi faktor penyebab kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan peredaran miras.


Permasalahan tersebut tak lain bersumber dari peraturan yang dibuat oleh rezim sendiri, yakni mengenai kebolehan menjual minuman beralkohol selama memiliki izin dari pemerintah karena bisa menyumbangkan pendapatan cukai dan pajak. Aturan ini tentu akan kontradiktif (berlawanan) dengan kebijakan lain pemerintah yang berusaha menertibkan peredaran miras jelang ramadhan. Sekalipun penertiban tersebut tetap terlaksana, yang terjaring hanya para pedagang yang tidak memiliki izin. Adapun bagi mereka yang sudah mengantongi izin edar, maka akan luput dari radar rezim.


Sungguh, hal itu merupakan sebuah tanda kehancuran bagi negeri dengan jumlah umat Islam terbanyak. Secara fakta, sudah seharusnya miras tidak diperjualbelikan mengingat keharaman minuman beralkohol dalam agama Islam. Tapi, lagi-lagi akibat paham sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang diterapkan oleh negara ini, maka sesuatu yang sebenarnya haram dari sudut pandang Islam menjadi boleh, selama itu bukan pada momen yang dianggap sakral, seperti waktu ramadhan misalnya.


Ironisnya lagi, akibat sistem ekonomi kapitalisme yang membelenggu negeri ini, menjadikan rezim menghalalkan segala cara untuk meraup rupiah, meskipun harus menghalalkan sesuatu yang haram. Bukti nyatanya adalah izin bagi para pengusaha miras untuk bebas mengedarkan miras, selama mereka membayar cukai dan pajak.


Oleh sebab itu kita bisa mengambil kesimpulan bahwa selama rezim masih mengambil aturan sekularisme-kapitalisme sebagai sumber kebijakan, maka masalah peredaran miras takkan pernah selesai. Bagaimana tidak, di satu sisi mereka serius mencegah peredaran miras, tetapi di saat bersamaan mereka juga membiarkan minol berizin beredar di tengah masyarakat. Dari aspek ini seharusnya rezim bisa memahami bahwa aturan tersebut rusak. Sistem yang rusak sudah sepantasnya diganti, sebab jika masih dipertahankan maka keburukan akan menimpa penduduk negara tersebut.


Berbeda dengan sistem buatan manusia, maka Islam takkan membuka celah peluang peredaran minuman beralkohol. Sebagaimana yang sempat disinggung di atas, Islam melarang keras segala jenis minuman keras untuk dikonsumsi umat muslim. Adapun salah satu dalil perkara ini adalah Surah Al-Maidah ayat 90, yang artinya;


“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”


Ayat tersebut jelas menegaskan keharaman meminum khamr (minuman keras). Olehnya, tatkala aturan Islam diterapkan dalam sebuah negara, maka tidak akan pernah ada peluang bagi mereka yang ingin memproduksi, mengedarkan, maupun menjual minuman keras. 


Selain aturan tersebut, negara yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh juga akan menjaga akidah setiap umat Islam yang menjadi warganya, dengan esensi keimanan patuh dan taat pada setiap aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.. Oleh sebab itu, takkan ada satu pun pemimpin yang berani mengubah aturan Islam yang jelas-jelas menyatakan bahwa sesuatu itu haram, meski diiming-imingi uang berjuta dollar misalnya. Berdasarkan penjelasan ini, maka jelas hanya Islam yang efektif mencegah peredaran miras.


Situasi yang terjadi ketika Islam diterapkan takkan pernah ada selama rezim masih teguh memilih sistem buatan manusia. Sudah seharusnya cakrawala berpikir rezim terbuka dengan berbagai macam fakta perbandingan antara sistem buatan manusia seperti kapitalisme dan aturan yang bersumber dari Sang Pencipta yakni Islam. Bahwa, satu-satunya yang bisa mencegah segala keburukan hanyalah Islam, bukan aturan yang lain. Wallahu a’lam.