Konten Tak Berkualitas dari Generasi yang Bertaraf Pikir Rendah

Daftar Isi

 


Para pecandu pujian ini, datang bukan hanya dari orang-orang yang memang punya tujuan, tapi juga karena mendapat tekanan sosial dari masyarakat sekitar. Mereka seolah dituntut mengikuti gaya hidup lingkungannya agar mendapat pengakuan dan tidak diusir dari komunitas


Oleh Zia Sholihah

(Pegiat Literasi)


Siddiq-news.com -- Saat ini marak bermunculan konten kreator yang aktif di berbagai media sosial. Sayangnya banyak konten yang isinya kurang mendidik bahkan membahayakan jiwa.


Seperti dilansir dari Surabaya.net (6/10/2021), pengamat media sosial Ismail Fahmi menyatakan, motivasi terbesar pelaku kreator konten saat ini adalah faktor ekonomi, bukan semata mengendepankan moralitas dan bermanfaat untuk pengikut mereka. Hal inilah yang kemudian menjadi sebab masih banyak konten yang kurang bermanfaat di media sosial.


Apalagi algoritma media sosial yang lebih menampilkan konten yang paling banyak diakses, tanpa menilai kualitas kontennya. Baru-baru ini, sebuah aplikasi menggunakan algoritma menampilkan konten yang paling banyak diakses oleh pengguna. Ini menjadi masalah ketika konten yang paling banyak diakses adalah yang kontroversial, kebencian, dan sesuatu yang sifatnya receh minim manfaat.


Walaupun ada yang mengklaim telah mendukung kreator kontennya memperbanyak konten positif. Platform layanan video besutan Google tersebut konon membuat kerja sama dengan televisi agar membuat lebih banyak konten bermanfaat. Mereka bahkan bekerja sama dengan televisi.


Sebagian pengamat, memberikan saran agar mereka mengambil cara, selain membuat konten yang banyak diminati penonton, kreator konten juga perlu memperluas perspektif dan menambah pengetahuan. Misalnya dengan banyak membaca buku dan menimbang-nimbang kebermanfaatan kontennya. Karena pada dasarnya, hanya mereka yang punya pengetahuan luas yang bisa membuat konten yang positif.


Generasi kita sedang terjebak di sini. Hanya demi viral melakukan hal-hal tak berguna dan terkadang di luar nalar. Beberapa konten yang mereka buat, terkadang sampai menyakiti orang lain, juga menghilangkan nyawa. 


Sebagai contoh kasus yang sedang ramai dibicarakan, seorang perempuan tewas usai coba-coba membuat konten gantung diri. 

Dilansir dari CNNIndonesia, (3/3/ 2023), seorang perempuan kota Bogor ditemukan tewas dengan kondisi leher menggantung di sebuah tali.

Korban berinisial W (usia 21 tahun) itu tewas saat membuat konten candaan gantung diri di hadapan teman-temannya via video call.


Petugas kepolisian mengatakan peristiwa tersebut terjadi ketika W sedang melakukan panggilan video dengan teman-temannya. Kepada teman-temannya, W sempat iseng menyebut hendak membuat konten gantung diri, dengan kain melilit di leher.


Teman-teman W yang sedang video call, langsung mendatangi kediaman korban di Cibeber 1, Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Sayangnya, setiba di lokasi, korban yang tinggal seorang diri ini sudah tidak bernyawa.

Pihak terkait juga menyebutkan jenazah W sempat dibawa ke RSUD untuk divisum. 


Ada lagi jenis unggahan konten, jenis lain dari generasi strawberry ini yaitu flexing. Masyarakat belakangan disibukkan dengan melakukan flexing, sesuatu yang seharusnya dihindari.

Flexing, merupakan aksi menyombongkan gaya hidupnya demi memberikan kesan mampu pada orang lain.


Sungguh sangat disayangkan, banyak dari mereka yang rela menghabiskan uang untuk barang-barang dan fasilitas mewah hanya demi menunjukkannya ke orang lain, khususnya melalui media sosial. Sesuatu yang sebenarnya hanya merugikan diri sendiri dan bisa merujuk pada penipuan.


Tujuannya adalah jelas, kebiasaan seseorang untuk memamerkan apa yang dimilikinya di media sosial demi mendapatkan pengakuan oleh orang lain. Salah satu hal yang paling kerap ditemui adalah seseorang yang flexing dengan barang-barang mewah yang digunakannya. Sayangnya, beberapa dari mereka mengaku tidak benar-benar menyukainya, hanya saja ingin mendapat pengakuan oleh orang lain.


Rupanya flexing ini digunakan untuk menutupi rendah dirinya, menunjukkan betapa dia berkelas dan juga menarik perhatian seseorang, terutama lawan jenis.


Para pecandu pujian ini, datang bukan hanya dari orang-orang yang memang punya tujuan, tapi juga karena mendapat tekanan sosial dari masyarakat sekitar. Mereka seolah dituntut mengikuti gaya hidup lingkungannya agar mendapat pengakuan dan tidak diusir dari komunitas.


Miris, bukannya mendekatkan diri mencari perhatian Tuhan untuk bekal akhirat, generasi kini seperti lupa mati. Taraf berpikir yang rendah, lebih dominan mengejar sesuatu yang sifatnya duniawi. 


Namun, tentunya, semua kejadian-kejadian buruk di atas tidak akan terjadi kalau saja tidak ada kemerdekaan berkarya konten kreator. Pemerintah yang notabene adalah orang tua dari rakyat dan seharusnya menjaga mereka, bisa memberikan batasan dengan diadakannya kebijakan. Melalui standar tertentu misal, konten tak masuk akal secara otomatis dicekal dan tidak bisa tayang.


Sungguh sangat disayangkan. Fakta yang terjadi bertolak belakang dengan itu, ledakan konten terus terjadi, masyarakat menganggap ini menjadi pemicu munculnya peluang ekonomi di tengah kesulitan yang melanda negeri. 


Mereka berusaha menunjukkan eksistensi diri sebagai prioritas. Tentu saja, kesulitan demi kesulitan yang terjadi di negeri ini adalah karena penerapan sistem yang salah. Meninggalkan sistem yang sudah Allah dan Rasul-Nya tetapkan.


Oleh karena itu sudah semestinya, pemerintah kita mulai memberikan perhatian lebih. Menilik dari mana masalah demi masalah di negeri yang mayoritas Muslim ini muncul. Mencari akar masalahnya dan kemudian menyelesaikannya dengan cara islami sesuai dengan tuntunan Sang Pencipta pula.


Wallahu a'lam bishawwab