Pengangguran, Masalah Konkret Kenegaraan

Daftar Isi

 


Dalam sistem kapitalisme, peran swasta lebih mendominasi dalam pemenuhan kebutuhan rakyat.


Negara harus berperan besar dalam menciptakan lapangan kerja.


Oleh Imas Rahayu, S.Pd.

Aktivis Muslimah


Siddiq-news.com -- Presiden Joko Widodo kini telah meluncurkan Perpres 68/2022 terkait Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi (PVPV). Aturan tersebut telah diklaim mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan dengan menciptakan SDM yang kompeten, produktif, dan berdaya saing di pasar global.


Jokowi mengatakan, saat ini perkembangan begitu cepat, banyak sekali pekerjaan baru yang telah membutuhkan keahlian baru. Tanpa penguasaan keahlian baru kita pun akan tertinggal. Karena itu, demi meningkatkan kualitas SDM, dengan revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi, maka akan tercipta lulusan yang siap memenuhi kebutuhan tenaga kerja di dalam negeri dan siap berkompetisi di pasar kerja global dengan penguasaan emergent knowledgead (keahlian-keahlian baru).


Indonesia sendiri telah memiliki jumlah angkatan kerja yang amat besar. Diprediksi ada sekitar 143,7 juta orang dan akan terus bertambah sekitar 3,5 juta orang setiap tahunnya. Indonesia diprediksi pula akan mengalami puncak bonus demografi pada 2030, jumlah penduduk usia produktif akan lebih besar mencapai 64% dari total jumlah penduduk. (msn[dot]com, 22/02/2022).


Bonus demografi inilah yang akan negara manfaatkan lewat program revitalisasi untuk melompat menjadi negara maju pada tahun 2045 nanti. Hartanto sebagai Menko Perekonomian Airlangga  menyampaikan bahwa aturan tersebut akan membuka keran kerja sama dengan banyak pihak swasta. Hal tersebut bertujuan untuk membantu para lulusan SMK mencari pekerjaan. Menurut beliau, perpres revitalisasi pendidikan vokasi adalah payung dari kerja sama antara sekolah-sekolah dan pihak swasta. Melalui kerja sama tersebut, pihak swasta akan mendapatkan suntikan dana dari pemerintah dalam rangka untuk menyediakan program-program pemagangan.


Pengangguran adalah hal yang serius, baik bagi negara maju maupun berkembang. Meski demikian, umumnya terkait masalah pengangguran paling banyak di negara maju. Pengangguran dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi dan hal itu juga akan berdampak pada kondisi ekonomi suatu negara.


Sisi lain dalam aspek sosial pun akan mengalami keterdampakan yang diakibatkan oleh tingginya angka pengangguran. Angka kriminalitas pun akan mengalami peningkatan. Angka kemiskinan juga akan mengalami lonjakan. Efeknya beban negara makin berat akibat banyaknya pengangguran dalam negara.


Tentu diperlukan adanya strategi untuk mengurai hal tersebut. Hanya saja, benarkah masalah ini akan dapat terurai dengan adanya link and match antara dunia pendidikan dan pihak swasta? Sebelum menjawab ini, sejatinya harus ada paradigma mendasar yang dapat ditegakkan.


Masalah pengangguran sesungguhnya merupakan masalah konkret bagi kenegaraan. Negaralah yang bertanggung jawab sepenuhnya untuk menciptakan lapangan kerja. Sebab, hal ini merupakan fungsi bagi negara yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Menuntut pemerintah untuk memetakan SDM dan distribusinya ke tengah masyarakat. Negara juga siap menyiapkan SDM andal melalui sistem pendidikan yang bermutu dan menciptakan lapangan kerja sesuai kebutuhan masyarakat.


Peran inilah tidak dapat beralih ke yang lainnya. Namun, mengapa saat ini negara malah merumuskan kebijakan yang menyerahkan tugasnya pada pihak swasta? Jawabannya, spirit kebijakan tersebut terlahir dari paradigma kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, peran swasta lebih mendominasi dalam pemenuhan kebutuhan rakyat. Menganggap pihak swasta sebagai ‘penyelamat ekonomi’ tegak atas sistem kapitalisme adalah prinsipnya.


Lantas, ke manakah negara? Apakah negara hanya bertugas sebagai regulat yang menjembatani masyarakat dengan pihak swasta Maka itulah mengapa kebijakan yang pemerintah rumuskan selalu mengakomodasi kepentingan swasta. Rumusan terbaru yang menopang kebijakan ini yakni konsep penta helix.


Konsep tersebut merupakan konsep multipihak, unsur pemerintah, akademisi, pebisnis, masyarakat, dan media berkoordinasi dalam mengembangkan inovasi yang berpotensi untuk dikapitalisasi atau dikembangkan menjadi suatu produk atau jasa. Apakah problem pada masyarakat selesai ketika peran negara dalam mengatasi problem beralih ke swasta? Ya, tentu saja tidak!


Ketika dilihat secara sekilas mungkin masalah selesai saat pihak swasta turut menjadi pemain dalam mengurai masalah, termasuk masalah pengangguran. Bahkan, realitas tersebut telah menunjukkan bahwa swastalah yang justru menguasai pasar dunia kerja saat ini. Sejatinya, untuk melaksanakan pelayanan kepada rakyat negara tentu harus mempunyai peran besar dalam menciptakan lapangan kerja.


Mungkin saja masyarakat tidak akan mempermasalahkan siapa yang bertugas menciptakan lapangan kerja. Akan tetapi, masyarakat hanya perlu pekerjaan agar kebutuhan mereka dapat terpenuhi. Spirit swasta dalam memberikan pelayanan adalah spirit bisnis. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelayanan tersebut berorientasi pada dua hal, yakni untung dan rugi.


Pastinya terdapat konsekuensi dari hal tersebut yakni saat masyarakat hendak memenuhi kebutuhannya. Dimana mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih besar lagi. Rakyat tetap harus mengeluarkan biaya ketika menggunakan fasilitas umum yang pengurusannya beralih ke swasta.


Dua hal yang menyedihkan dari realitas tersebut yakni, negara angkat tangan dalam mengurusi rakyatnya. Kemudian, adanya kebijakan yang memperlebar masuknya pihak swasta ini memanfaatkan dunia pendidikan. Nyatanya pemerintah malah mengarahkan para intelektual untuk mengabdikan ilmu mereka kepada pemodal, bukan masyarakat. Amatlah miris kebijakan yang lahir dari paradigma kapitalistik ini. Ya begitulah yang terjadi jika kapitalisme dijadikan sebuah aturan. 


Sangat berbeda dengan Islam. Dalam Islam penguasa yang menjalankan roda pemerintahan dan berperan sebagai pelayan dan pengurus rakyatnya. Negaralah yang bertanggung jawab sepenuhnya untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat dan memberikan pelayanan. Maka itu, semaksimal mungkin negara akan menyediakan infrastruktur pendukung, menyiapkan SDM andal, dan merekrut tenaga kerja (ajir) melalui pembukaan lapangan kerja yang membantu pemerintah dalam menjalankan amanahnya.


Pada era yang sangat kompleks saat ini, tentu saja negara telah membutuhkan tenaga kerja yang sangat banyak. Misalnya dalam memenuhi APBN daulah melalui pos-pos ganimah, anfal, kharaj, dan jizyah. Kemudian, pengelolaan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, dan pemasukan dari hak milik negara yaitu usyur, khumus, rikaz, dan tambang, tentu membutuhkan banyak tenaga kerja dalam menjalankan tugas memenuhi pos-pos tersebut. Para pegawai pun akan bekerja sesuai bidangnya masing-masing, baik ekonomi, pendidikan, pertanian, pertanahan, ahli IT, tenaga kesehatan, maupun yang lainnya.


Adanya kemajuan teknologi tidak lantas menjadi dalih untuk membenarkan tingginya tingkat pengangguran. Teknologi merupakan tools yang memudahkan pengurusan urusan rakyat. Jadi, negara tetap melaksanakan pelayanan dan memanfaatkan teknologi dalam mempercepat dan memudahkan pelayanannya.


Islam bukanlah negara yang fobia dengan kemajuan zaman. Namun, negara malah akan mendorong dunia pendidikan untuk menciptakan inovasi-inovasi teknologi sesuai zamannya, dan bahkan melampaui apa yang telah negara lain peroleh.


Terdapat dunia pendidikan berguna untuk membantu negara dalam menyediakan SDM andal dalam memberikan pelayanan. Bukan malah mengabdikan intelektualitasnya untuk memenuhi kebutuhan para pebisnis saja. Namun, butuh adanya revisi paradigma dalam melayani rakyat dan untuk mengurai pengangguran secara sistemis. Artinya, butuh kajian dan diskusi kritis saat menjadikan swasta sebagai partner dalam mengurai masalah pengangguran di negeri tercinta ini. Wallahu a'lam bishawwab.