Perppu Kontroversi Disahkan Menjadi Undang-Undang, Kesejahteraan Rakyat Utopia Belaka?

Daftar Isi

 


Borok kapitalisme-demokrasi selalu mementingkan kepentingan oligarki kapital. Untung dan rugi menjadi tolak ukur lahirnya berbagai kebijakan. 

Kesadaran sebagai hamba Allah Swt. memunculkan iman dan takwa, serta rasa takut terhadap Sang Penciptanya. Sehingga saat memegang amanah sebagai penguasa, bukan lagi kepentingan pribadi maupun golongannya yang dipikirkan, melainkan kemaslahatan umat. 


Oleh Fajrina Laeli, S.M.

Kontributor Media Siddiq-News 


Siddiq-news.com--Kabar mengejutkan datang dari Gedung DPR RI. Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) menjadi undang-undang (UU). Meskipun menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai pihak, tetapi akhirnya DPR RI tetap mengetuk palu tanda disahkannya Perppu tersebut. Padahal sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja ini inkonstitusional bersyarat.

Menolak lupa, gagasan tentang UU Cipta Kerja ini, pertama kali diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019. Secara kilat draf RUU imi dinyatakan rampung pada 12 Februari 2020. Meskipun telah disahkan, UU Cipta Kerja terus banjir kritik, karena dianggap merugikan hak buruh dan menguntungkan pengusaha.

Kaum buruh pun sempat meminta pembatalan, tetapi ditolak. MK menilai, UU tersebut cacat formil lantaran dalam proses pembahasannya tidak sesuai dengan aturan dan tidak memenuhi unsur keterbukaan. Namun, pemerintah tetap bersikeras hingga akhirnya setahun setelah putusan MK, pemerintah tiba-tiba menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Perppu yang diteken Presiden Jokowi pada Jumat, 30 Desember 2022 ini tak ayal lagi mengundang gelombang aksi demonstrasi, mulai dari buruh, mahasiswa, hingga sejumlah elite politik. Ya, lagi dan lagi, meskipun rakyat menolak, pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang pada Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023 tetap berjalan mulus. (kompas.com, 21/03/2023).

Seakan buta dan tuli, meskipun berkali-kali ditolak sejak awal kemunculannya, suara rakyat tetap tak didengar dan digubris. Entah apa yang dirasakan oleh tuan dan puan wakil rakyat saat melakukan pengesahan. Jeritan pilu buruh dari segala sisi negeri seolah-olah diabaikan.

Jika ditelaah, terdapat sembilan poin yang menjadi sorotan dalam UU Cipta Kerja ini. Sembilan poin ini pun sejatinya tidak jauh beda dengan undang-undang sebelumnya, yakni terkait penetapan upah minimum, tenaga kerja alih daya atau outsourcing, pembayaran pesangon, ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), soal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), keberadaan tenaga kerja asing (TKA), terkait sanksi pidana, jam kerja, dan cuti panjang.

Penetapan Upah Minimum misalnya, penetapannya menggunakan indeks tertentu tanpa dijelaskan maksudnya. Selain itu, penetapan Upah Minimum Kab/Kota dapat diputuskan gubernur sehingga muncul kekhawatiran bila terjadi pergantian gubernur maka aturan pun akan berubah.

Poin lain yang ditolak oleh buruh adalah terkait dengan Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK). Kaum buruh jelas menolak sistem mudah rekrut mudah PHK. Dalam undang-undang ini, tidak sedikit pasal yang dinilai sangat merugikan buruh, tetapi menguntungkan pengusaha.

Tampak penguasa bersikukuh mengemban kebijakan yang makin tidak berpihak kepada rakyat. Makin nyata bahwa jargon "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" hanyalah pepesan kosong belaka. Rakyat pun makin dibuat bingung. Sebenarnya rakyat mana yang sedang dibela kepentingannya? Rakyat mana yang sedang dijunjung keadilannya?

Tidak heran, jika mahasiswa memberi kritik pedas atas kebijakan yang secara kilat disahkan. Kritik pedas ini pun dilayangkan lewat media sosial. Sebutlah salah satunya dari BEM Universitas Indonesia, dengan beraninya membuat meme yang menyebut DPR adalah Dewan Perampok Rakyat.

Sayangnya, meskipun dihantam derasnya kritik dari rakyat, tanggapan para wakil rakyat tetaplah abai. Sungguh sebuah sikap yang sama sekali tidak terpancar mewakili rakyat. Menjadi bukti, inilah borok kapitalisme-demokrasi. Kepentingan oligarki kapital yang selalu diutamakan. Untung dan rugi menjadi tolak ukur lahirnya berbagai kebijakan. 

Kondisi ini jelas sungguh berbeda saat Islam memimpin dunia. Sebab, paradigma Islam memandang bahwa hanya hukum Allah Swt. yang wajib menjadi tolok ukur setiap perbuatan manusia. Segala perilaku manusia dibatasi oleh koridor syarak yang menjadikan manusia memiliki kesadaran atas tanggung jawabnya sebagai hamba.

Kesadaran sebagai hamba Allah Swt. inilah yang memunculkan iman dan takwa, serta rasa takut terhadap Sang Penciptanya. Sehingga saat memegang amanah sebagai penguasa, bukan lagi kepentingan pribadi maupun golongannya yang dipikirkan, melainkan kemaslahatan umat. Segala kebijakan yang lahir juga niscaya diambil dari Al-Qur’an dan Sunah sehingga menjamin tidak adanya cacat hukum atau cacat regulasi.

Kesempurnaan syariah Islam niscaya melahirkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Niscaya tidak akan ada lagi permasalahan berulang baik antara buruh dan penguasa maupun antara buruh dan pengusaha. Semuanya hidup adil dan sejahtera dalam naungan sistem Islam. Inilah sistem yang dirindukan oleh umat yang wajib kita perjuangkan. Wallahualam bissawab.