Masalah Kemiskinan Kian Memprihatinkan, Islam Solusi Jitu Untuk Mengentaskannya

Daftar Isi

 


Islam memiliki mekanisme untuk mengurai masalah kemiskinan dari akarnya dengan solusi secara menyeluruh


Islam memandang bahwa ukuran sejahtera adalah ketika setiap individu dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan baik dan layak


Oleh Waryati

(Pemerhati Kebijakan Publik) 


Masalah kemiskinan di Indonesia memang menjadi pembahasan banyak kalangan, sekalipun tak kunjung selesai. Disinyalir, jumlah orang miskin bukannya berkurang, justru setiap tahun mengalami kenaikkan yang kian menajam. 


Kemiskinan ekstrem yang dialami masyarakat Indonesia dibuktikan dengan begitu banyaknya provinsi yang mengalami kasus balita stunting (tengkes). Meski persentase stanting di 2022 menurun jika dibandingkan dengan tahun 2021 lalu. Namun begitu, jumlah balita stunting yang ada di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. 


Menurut Status Gizi Indonesia (SSGI) yang telah melakukan survei pada tahun 2022 kepada populasi sampel sebanyak 334.848 balita yang tersebar di 486 kota di 33 provinsi, dan provinsi yang mengalami stunting balita terbanyak ialah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan jumlah 37,8 persen meski mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yakni 35,4 persen. (Kompas.com, 15/05/2023). 


Baru-baru ini Bank Dunia merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk mengubah acuan tingkat garis kemiskinan yang diukur melalui paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) dengan besaran pendapatan yang sebelumnya sebesar US$ 1,9 per hari diubah menjadi US$ 3,20 per hari. 


Namun demikian, Sri Mulyani seolah keberatan dengan saran tersebut. Menurutnya, jika ukuran garis kemiskinan mengikuti saran dari Bank Dunia maka masyarakat terkategori miskin di Indonesia bisa bertambah jumlahnya menjadi 40 persen. Itu berarti jumlah penduduk miskin terdapat kurang lebih 110 juta jiwa penduduk disebut miskin, ( CNBCIndonesia, 09/05/2023). 


Menyoal pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait keengganannya menaikkan indikator garis kemiskinan bagi rakyat Indonesia sungguh merupakan hal tidak masuk akal. Pasalnya, dengan ukuran standar kemiskinan yang telah ditetapkan pemerintah, ternyata masih banyak masyarakat hidup dengan sangat kekurangan. Kasus kemiskinan justru kian meningkat melebihi data yang diperlihatkan pemerintah. Itu membuktikan bahwa masyarakat perlu mendapat penambahan standar besaran pendapatan sebagai indikator kemiskinan untuk menaikkan tarap hidup mereka. 


Buktinya masih banyak rakyat yang sulit memenuhi kebutuhan hidupnya hingga terjadi stunting hampir di setiap provinsi harusnya menjadi bahan penelaahan serta evaluasi bagi pemerintah untuk senantiasa memahami kondisi rakyat. Salah satunya tak segan mengubah indikator jumlah pendapatan dari sebelumnya sedikit menjadi lebih besar untuk indikasi orang miskin. Negara sejatinya zalim ketika menetapkan standar kemiskinan dengan sangat rendah. 


Pemenuhan kebutuhan rakyat yang meliputi pemenuhan kebutuhan pokok, kesehatan, pendidikan dan berbagai kebutuhan lainnya adalah tanggung jawab pemerintah. Dengan kata lain jika terjadi kasus kemiskinan melanda rakyat dan sampai menjadikan sebuah kondisi yang membahayakan bagi rakyat, maka negara bertanggung jawab penuh menyelesaikan persoalan tersebut dengan segera. Meski dalam hal ini pemerintah beralasan bahwa sekarang pun pihak pemerintah sedang melakukan berbagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan dan optimis sampai 0 persen di 2024. 


Di saat banyak kasus stunting dan persoalan kemiskinan tak juga mendapat solusi dalam penanganannya, pantas kiranya jika rakyat memiliki praduga kalau pemerintah tak benar-benar serius menyelesaikannya. Terlebih pemerintah beralasan jika mengubah ukuran garis kemiskinan seperti yang direkomendasikan Bank Dunia akan tidak cocok diterapkan di Indonesia. Mengingat setiap wilayah di Indonesia memiliki struktur harga yang relatif berbeda. Seolah kesejahteraan rakyat bukan hal utama yang diperhatikan oleh negara, pihak pemerintah begitu lugasnya mengklaim alasan tersebut. 


Kemajuan ekonomi yang sering disampaikan pemerintah nyatanya berbanding terbalik dengan kondisi rakyat saat ini. Apalah artinya mempertahankan nama baik serta mendapat apresiasi dari asing jika fakta sebenarnya tidak sesuai dengan data-data yang disampaikan. Sebelumnya, Bank Dunia memang mengapresiasi kemajuan ekonomi yang terjadi di Indonesia 20 tahun terakhir ini. Padahal, rakyat yang berpenghasilan di atas satu juta perbulan saja sangat kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Apalagi jika merujuk pada standar kemiskinan BPS yang hanya Rp535.467. Dengan uang sebesar itu bisa apa? Mengingat harga-harga terus merangkak naik. 


Namun itulah hitung-hitungan angka dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Antara fakta dan data seringkali terjadi banyak perbedaan. Demi citra dan nama baik, tak mengapa jika rakyat lagi dan lagi menjadi tumbal atas kepentingan elit penguasa. Padahal rakyat dikatakan sejahtera jika mereka mampu memenuhi kebutuhan pokoknya secara layak. Jumlah orang miskin dikatakan berkurang ketika hanya sedikit dijumpai kasus kemiskinan di tengah masyarakat. Nyatanya tidak begitu bukan? Masih terdapat rakyat miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok termasuk kesulitan mengakses kesehatan dan pendidikan. 


Sangat jauh berbeda dengan mekanisme Islam dalam mengentaskan kemiskinan dan menentukan standar sejahtera bagi rakyatnya. Islam memandang bahwa ukuran sejahtera adalah ketika setiap individu dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan baik dan layak. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, salah satu mekanismenya adalah negara memberikan kemudahan bagi para laki-laki supaya dapat bekerja. Dengan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. 


Adapun dalam aspek pendidikan dan kesehatan, negara bertanggung jawab memenuhinya secara gratis. Karena merupakan hak setiap warga negara mendapatkannya tanpa terkecuali. 


Hal penting lainnya ialah pemerintah membuat regulasi tentang kepemilikan umum, individu dan negara. Sehingga ketika ketiganya sudah dipetakan secara benar, tidak mungkin terjadi salah kelola yang dapat menyebabkan kekayaan hanya berputar dan dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Akibatnya membuat status sosial di masyarakat menjadi jomplang sekaligus penyebutan si miskin dan si kaya nyata adanya. 


Saat pengelolaan sumber daya alam berada di tangan negara hasilnya bisa dikembalikan kepada rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat. Di samping pendistribusian kekayaan tersebut dilakukan secara cepat dan tepat. Walhasil, rakyat makmur serta sejahtera hanya bisa didapat ketika negara menerapkan sistem yang sesuai dengan fitrah manusia, yakni sistem Islam. Karena Islam memiliki mekanisme untuk mengurai masalah kemiskinan dari akarnya dengan solusi secara menyeluruh. 


Wallahu a'lam bishawwab