Perilaku Anak Makin Sadis, Output Generasi Sekuler

Daftar Isi

 


Islam memahami anak adalah generasi yang akan memimpin peradaban kelak sehingga harus memberikannya perhatian terbaik


Untuk membangun generasi berkualitas dan berakhlakul karimah dibutuhkan perbaikan menyeluruh, yakni mengubah pengaturan hidup dari pengaturan sekuler kapitalisme menjadi pengaturan berbasis syariah Islam


Oleh Iven Cahayati Putri

Pemerhati Generasi


Siddiq-news.com--Perangai anak masa kini makin sadis. Aksi bullying atau perundungan sesama mereka terus terjadi. Belum lama ini bocah kelas 2 di salah satu Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Jabar), meninggal dunia akibat dikeroyok oleh kakak kelasnya. Kakek korban mengatakan, usai kejadian tersebut cucunya sempat mengeluh sakit. Esoknya, korban tetap masuk sekolah dan nahas saat itu korban kembali dikeroyok (kompas[dot]com, 20-5-2023). 


Tentu kita juga tidak lupa dengan kasus-kasus serupa yang terjadi selama ini. Pihak kepolisian di Kalibaru, Jakarta Utara misalnya, mengamankan enam pelaku perundungan terhadap seorang anak perempuan berinisial AM (12). Para pelaku tersebut berusia sekitar 13-16 tahun. Fatalnya, kejadian semacam ini tidak hanya berujung pada pertengkaran kecil, melainkan sampai kematian. Seperti siswa SD yang berinisial MR (11) di Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, yang nekat mengakhiri hidupnya karena kerap mengalami bullying. Karena hal tersebut ia depresi, hingga akhirnya bunuh diri. 


Benar bahwa kasus bullying di negeri ini semakin mengkhawatirkan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, kasus perundungan meningkat kisaran 30-60 kasus per tahunnya. Bahkan, Indonesia menempati peringkat ke-lima dalam kasus tersebut. Mirisnya, kasus ini marak terjadi di lingkungan sosial seperti lingkungan bermain hingga sekolah. Sehingga tak ayal pelakunya adalah anak usia dini. Anak-anak yang seharusnya masih polos, berubah bak monster mengerikan yang melakukan aksi sadis di luar nalar. 


Lazimnya, adanya asap karena ada api. Begitu juga bullyng yang sudah pasti tidak terjadi begitu saja atau kebetulan, melainkan ada pemicunya. Sebut saja, pertama minimnya teladan yang benar dari orang tua. Tidak bisa dimungkiri jika anak adalah peniru paling ulung. Ia akan mencontoh apa yang dilakukan orang tuanya. Apalagi jika orang tua tidak memiliki pemahaman Islam, maka si anak pun demikian. Melihat orang tuanya yang arogan, si anak juga ikut arogan. Bahkan tidak sedikit anak yang mencari perhatian di luar akibat kurangnya perhatian dari orang tuanya. Padahal jelas rumah adalah awal terbentuknya kepribadian anak dan orang tualah yang membentuknya. 


Kedua, pendidikan di lingkungan sekolah yang memisahkan antara agama dengan kehidupan. Sungguh menyesakkan dada melihat aksi-aksi brutal anak sering dijumpai di sekolah, mulai dari anak yang menghina temannya, mengejek, bahkan berujung pada kekerasan fisik. Padahal ketika berada di sekolah, mestinya anak-anak usia dini dididik bagaimana menumbuhkan kasih sayang antar sesama, peduli, dan saling menghargai atas landasan agama. Sebab tanggungjawab pendidik bukan sekadar transfer ilmu, melainkan juga transfer karakter. Sayangnya, fakta justru menunjukkan hal sebaliknya. Tidak jarang ditemui pendidik yang memberikan materi ajar sekadar memenuhi tuntutan jam belajar, yang makin parah tanpa memberikan pemahaman yang benar terkait pengaplikasian ilmunya dalam kehidupan bersosial sesuai dengan nilai-nilai Islam. Alhasil, fenomena semisal perundungan antarpelajar makin banyak dengan berbagai motif, dan seringkali luput dari perhatian sekolah. 


Ketiga, adanya konten-konten negatif yang berseliweran. Tidak sedikit konten kekerasan dan bullyng bertebaran di media sosial yang mudah diakses oleh anak, hingga menginspirasinya untuk melakukan hal serupa. Keempat, kurangnya kontrol sosial dari masyarakat dan sekitar. Sikap individualis menjadikan mereka acuh tak acuh dan tidak mau tahu di sekelilingnya. Kurangnya rasa tolong menolong, simpati, dan empati juga menjadikan pelaku makin bebas berbuat jahat tanpa teguran. Bahkan bukannya menegur atau menolong, justru aksi bullying bak hiburan yang menjadi bahan tontonan.  


Kelima, tidak adanya keseriusan negara untuk menjaga rakyatnya. Aksi sadis ini terjadi karena kelalaian beberapa pihak, entah itu orang tua, pelaku-pelaku dari orang dewasa sebelumnya, hingga banyaknya konten yang tidak mendidik. Negara sebagai salah satu pihak yang seharusnya mengambil peran penting, seperti memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku agar tidak menjadi contoh bagi orang lain termasuk anak-anak, menyaring berbagai tontonan di media dalam rangka melindungi generasi dari pengaruh negatif media, sayangnya justru abai atas semua itu. Realitanya, pelaku makin menjamur, sanksi tegas pun tak kunjung menunjukkan wujudnya. Negara hanya sibuk dengan kepentingan mereka sendiri. 


Akan tetapi, yang menjadi pemicu paling pangkal dari seluruh permasalahan ini adalah penerapan sistem sekuler kapitalisme dalam kehidupan. Orang tua yang acuh, anak yang susah diatur, pendidikan yang gagal, masyarakat yang apatis, terjadi karena negara menerapkan sistem rusak tersebut. Jelas, asasnya yang memisahkan agama dari kehidupan dengan orientasinya pada materi telah gagal melahirkan generasi emas harapan bangsa. Yang ada sekadar output generasi rusak bermental penjahat yang tidak lagi menganggap sesamanya sebagai manusia. 


Hanya saja setiap permasalahan memiliki solusi. Tentunya bukan dari sekuler kapitalisme yang menjadi sumbernya, melainkan Islam yang memiliki seperangkat aturan yang mengatur kehidupan dari akar hingga daun, termasuk aktivitas buruk bullying yang dilarang dalam bentuk apapun. 


Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum (mengolok-olok)  kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang (diolok-olok) lebih baik dari mereka yang (mengolok-olok). Dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan yang lain, karena boleh jadi perempuan yang (diolok-olok) lebih baik dari perempuan yang (mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat 11)


Islam sendiri memiliki mekanisme yang khas bagaimana mengatasi fenomena semacam ini. Karena Islam memahami anak adalah generasi yang akan memimpin peradaban kelak sehingga harus memberikannya perhatian terbaik. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa hal, pertama orang tua memahami kewajiban awalnya sebagai pendidik anak. Anak adalah karunia Allah Swt. yang harus dijaga dan dididik sebaik-baiknya. Islam memberikan perhatian penuh terhadap keluarga dengan menyediakan pekerjaan untuk suami/bapak untuk bekerja sehingga para ibu sebagai madrasah pertama dapat fokus mendidik anak-anaknya. 


Kedua, pendidikan yang berbasis akidah dan syariah Islam sehingga dapat membentuk kepribadian generasi sejak dini dengan pemahaman yang Islami. Ketiga, menciptakan lingkungan masyarakat yang Islami sebagai social control masyarakat. Keempat, memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku bullying yang sudah baligh karena dalam Islam ketika anak sudah baligh maka ia telah menanggung konsekuensi syariat dan berlaku sanksi kepada mereka yang terlibat dalam aktivitas jahat semacam ini. 


Untuk membangun generasi berkualitas dan berakhlakul karimah dibutuhkan perbaikan menyeluruh, yakni mengubah pengaturan hidup dari pengaturan sekuler kapitalisme menjadi pengaturan berbasis syariah Islam. Islam terbukti berhasil mewujudkannya selama kurang lebih 13 abad lamanya. Kegemilangannya mampu mencetak generasi dan tokoh-tokoh Islam yang menorehkan tinta emas sepanjang sejarah peradabannya. 


Umar bin Khattab pernah mengungkapkan, “Dahulu kita adalah umat yang pernah hina dan lemah, lalu Allah menguatkan dan memuliakan kita dengan Islam. Kalau kita mencari kemuliaan selain dengan agama ini, maka Allah akan menghinakan kita.” 

Wallahualam bissawab.