Ironi Nasib Pekerja dalam Dunia Kapitalisme

Daftar Isi


Melihat bagaimana keadaan saat ini, rasanya sulit sekali untuk memenuhi tanggung jawab untuk menafkahi keluarga. Mengingat lapangan pekerjaan jauh lebih sedikit dibanding orang-orang yang membutuhkan lowongannya


Saking sedikitnya, membuat sebagian yang membutuhkan pekerjaan harus mencari pekerjaan yang penghasilannya tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari


Oleh Siti Nurtinda Tasrif

Aktivis Dakwah Kampus


Siddiq-News.com - Pada dasarnya, setiap pencari nafkah terutama kepala keluarga membutuhkan sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang akan membuatnya tetap bertahan hidup, di zaman yang serba mahal ini. Apalagi biaya kebutuhan semakin meningkat di samping kelangkaan kebutuhan yang terjadi, sehingga setiap kepala keluarga terkadang memiliki pekerjaan yang serabutan tanpa kepastian.


Maka harus disadari, sebagai pencari nafkah sekaligus kepala keluarga, harus memberikan usaha yang optimal agar berhasil dalam menggapai setiap tujuan yang merupakan sebuah target yang akan digapai. Karena itu, setiap para pekerja berusaha memenuhi tugasnya yakni memberikan nafkah bagi keluarganya.


Di samping ia juga harus memenuhi perannya sebagai salah satu bagian pembangun keluarga sembari tetap mencari nafkah. Terutama bagi seorang pemimpin, dimana ia akan berusaha menjadi sosok yang akan melindungi sekaligus mengayomi keluarganya. Dengan cara tetap memberikan penghidupan yang halal lagi baik bagi keluarga sebagai bentuk tanggung jawabnya.


Namun, melihat bagaimana keadaan saat ini, rasanya sulit sekali untuk memenuhi tanggung jawab tersebut. Mengingat lapangan pekerjaan jauh lebih sedikit dibanding orang-orang yang membutuhkan lowongannya. Sehingga saking sedikitnya membuat sebagian yang membutuhkan pekerjaan harus mencari pekerjaan yang penghasilannya tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.


Bahkan ada juga yang sampai menganggur, terutama orang-orang dalam kisaran muda yakni 20-24 tahun. Sebagaimana yang penulis kutip dari Media Kataboks[dot]Katadata[dot]co[dot]id (12/01/2023) bahwasanya menurut data Badan Pusat statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,4 juta orang pada Agustus 2022. Porsinya 5,86% dari total angkatan kerja nasional.


Pengangguran paling banyak berasal dari kelompok usia 20-24 tahun, yakni 2,54 juta orang. Angka ini setara 30,12% dari total pengangguran nasional. Kemudian penduduk usia 15-19 tahun yang menganggur ada 1,86 juta jiwa (22,03%), penganggur usia 25-29 tahun 1,17 juta jiwa (13,84%), usia 30-34 tahun 608,41 ribu jiwa (7,22%), dan usia 60 tahun ke atas 485,54 ribu jiwa (5,76%).


Ada juga penganggur dari kelompok usia 35-39 tahun 439,94 ribu jiwa (5,22%), usia 40-44 tahun 395,17 ribu jiwa (4,69%), usia 45-49 tahun 355,84 ribu jiwa (94,22%), usia 50-54 tahun 324,18 ribu jiwa (3,85%), dan usia 55-59 tahun 254,17 ribu jiwa (3,02%). Secara keseluruhan, jumlah penduduk usia kerja di Indonesia mencapai 209,42 juta jiwa pada Agustus 2022. 


Dari jumlah tersebut, yang termasuk angkatan kerja mencapai 143,72 juta jiwa. Dengan demikian tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) nasional mencapai 68,63%, dengan rincian TPAK laki-laki 83,87% dan TPAK perempuan 53,41%. Ironis memang, yang seharusnya berupaya untuk memenuhi kebutuhan malahan menjadi penganggur akibat kurangnya lowongan pekerjaan.


Dampaknya setiap individu umat senantiasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Mengingat minimnya lowongan kerja yang ada, kebanyakan terpaksa jadi buruh dan kerja serabutan. Hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Umat dipaksa secara tidak langsung dalam melakukan aktivitas tersebut. Mau tidak mau, suka tidak suka, rela tidak rela harus dijalani. Jika tidak akan semakin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya.


Inilah buah dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Pandangan hidup yang berorientasi kepada materi. Pun juga menganggap bahagia itu mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Sehingga terkadang menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan kebahagiaan yang notabene semu.


Namun hal tersebut hanya berlaku bagi orang-orang yang terkena pemikiran beracun. Pun juga kebanyakan terjadi pada oknum yang memiliki harta yang berlimpah ruah, sehingga yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Kalau kita lihat fenomena yang terjadi dalam sistem kapitalisme, sesulit apapun mendapatkan pekerjaan, tapi semua akan didapat asal punya materi untuk membeli pekerjaan tersebut. Sehingga hidup di bawah pandangan kapitalisme malahan semakin membuat umat rusak. Bahkan rasa keadilan dan membantu satu sama lain sama sekali hilang dalam diri umat.


Parahnya umat semakin individualis dan tidak memiliki rasa empati. Pun juga hilang rasa takut kepada Sang Pencipta, yang notabene semua adalah pemberian dari Sang Pencipta tersebut.


Sistem ini juga, semakin membuat umat terlena hingga buta akan masalah yang mendekatinya yakni kerusakan yang datang dari segala sisi. Terutama kerusakan keluarga, hingga mencapai kerusakan generasi. Tatkala keluarga fokus mencari nafkah maka anak-anak menjadi korban, mereka tidak dirawat dan tidak diberikan pendidikan yang islami, sehingga kebanyakan mereka menjadi generasi yang anarkis.


Jauh berbeda dengan sistem Islam, yang dengan segala aspeknya hanya ingin memenuhi satu tujuan yaitu kemaslahatan bagi umat. Ia akan memberikan dan menyiapkan segala yang umat butuhkan, salah satunya pekerjaan. Setiap lowongan hanya akan mempekerjakan orang-orang yang memiliki keterampilan yang sesuai dengan pekerjaan tersebut.


Tidak membedakan antara yang kaya dan miskin pun juga syarat dalam penerimaan bekerja tidak dilihat dari materi yang dimiliki. Bahkan semua harus dijalankan dengan jujur dan adil. Sebelum itu, siapapun yang bekerja tentu saja mereka juga harus pantas. Baik itu keterampilan maupun latar belakang pendidikannya.


Sehingga jika pendidikannya memadai maka akan cukup sebagai modal utama dalam mendapatkan pekerjaan. Pun juga dalam Islam harus tetap ada yang akan memiliki keterampilan dalam bercocok tanam, sehingga keduanya bisa sama-sama bersinergi untuk umat. Baik dalam bidang teknologi, industri maupun dalam bidang pangan.


Islam selalu memberikan peraturan-peraturan yang mengedepankan kepentingan masyarakat. Sedangan pejabatnya adalah nomor ke sekian. Meskipun begitu, para pejabatnya tidak merasa keberatan karena mereka bukan bekerja untuk materi tapi untuk memenuhi kewajibannya kepada Allah Swt. sehingga mereka akan tetap terkondisikan dan tersuasanakan dengan ketakwaan individu yang mempengaruhi ketakwaan masyarakat. 


Mereka pun berusaha memenuhi semua kewajiban dengan menstandarisasikan perbuatan berdasarkan halal dan haram. Sehingga umat akan jauh dari maksiat kepada Allah Swt.. Yang ada hanyalah memenuhi kewajiban untuk menggapai rida-Nya dengan harapan bisa menggapai surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Wallahualam bissawab.