Kekerasan Seksual pada Anak Semakin Menjadi-jadi

Daftar Isi


Kasus yang mengintai generasi kita ini tidak serta-merta berjalan sendiri. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya, mulai dari sistem pendidikan yang tidak optimal mencetak individu hingga buruknya media yang diakses masyarakat


Dan yang tak kalah penting bahkan paling berperan adalah kurangnya dukungan negara dalam memberi sanksi yang jera dan mendefinisikan suatu kejadian perkara


Oleh Ledy Ummu Zaid

Pegiat Literasi 


Siddiq-News.com - Orang tua mana yang tidak meradang ketika buah hati kesayangannya disakiti orang lain. Mirisnya hari ini, banyak anak tidak bersalah yang direnggut kehormatannya. Bukan hal yang baru kasus kekerasan pada anak terjadi di masyarakat kita. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Dilansir dari laman BBC (31/05/2023), seorang anak di bawah umur diperkosa oleh 11 pria. Pelakunya mulai dari seorang guru hingga kepala desa, dan bahkan ada yang dari kalangan kepolisian sendiri. Tak hanya itu, fakta yang lebih memprihatinkan adalah kondisi sang anak pasca terjadinya kasus pelecehan seksual tersebut. Akibat mengalami kekerasan seksual yang terjadi berulang kali, korban mengalami gangguan kesehatan berupa infeksi akut pada rahimnya yang mengakibatkan rahimnya harus diangkat. Retno Listyarti, Pemerhati Anak dan Pendidikan, meminta kepolisian menelusuri dugaan prostitusi anak dalam kasus yang menimpa gadis berusia 15 tahun ini. 


Kekerasan seksual pada anak semakin menjadi-jadi di masyarakat. Beritanya sering berseliweran dan silih berganti dengan kasus-kasus kriminalitas lainnya. Ironi, negeri dengan mayoritas Muslim ini ternyata tidak ramah anak, bahkan darurat kekerasan seksual pada anak. Kondisi yang semakin parah ini lantas tidak menunjukkan adanya simpati yang besar dari masyarakat sendiri. Dalam kasus ini saja, Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah atau Kapolda Sulteng, Irjen Agus Nugroho disebut-sebut salah menafsirkan kejadian yang ada.


Dilansir dari laman Tempo (04/06/2023), beliau lebih memilih istilah ‘persetubuhan terhadap anak di bawah umur’ dibanding ‘pemerkosaan terhadap anak di bawah umur’. Akhirnya pernyataan beliau ini menuai kontroversi.


Dikutip dari laman Republika (02/06/2023), Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menganggap Kapolda Sulteng tersebut tidak sensitif gender.


Kasus yang mengintai generasi kita ini tidak serta-merta berjalan sendiri. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya, mulai dari sistem pendidikan yang tidak optimal mencetak individu hingga buruknya media yang diakses masyarakat. Dan yang tak kalah penting bahkan paling berperan adalah kurangnya dukungan negara dalam memberi sanksi yang jera dan mendefinisikan suatu kejadian perkara.


Adapun semua ini terjadi karena masih diberlakukannya sistem yang tidak ideal hari ini, yaitu sistem sekularisme kapitalisme. Dalam sistem sekularisme ini, segala urusan publik dilarang dikaitkan bahkan diatur oleh agama.


Kemudian, para kapitalis yang tak lain adalah para pemilik modal pasti tidak akan tinggal diam untuk terus memasarkan produk-produk liberal mereka demi mencapai keuntungan yang besar. Sebut saja, para pemasok film maupun konten-konten porno pasti akan mendulang keuntungan yang besar jika produk-produk tak senonoh mereka laku keras di pasaran hari ini. 


Berbanding terbalik jika kita menggunakan kacamata Islam, ada mekanisme jitu dalam memberantas kasus yang baru-baru ini terjadi, baik dari pencegahan maupun pengobatannya.  Dimulai dari segi pendidikan misalnya, adanya kurikulum terbaik yang bersumber dari nash-nash yang shahih untuk mencetak individu-individu, khususnya pemuda-pemuda yang saleh. Orientasi yang mereka kejar adalah akhirat dengan mengharap rida Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan Semesta Alam. Oleh karena itu, mereka pasti akan takut azab di dunia dan akhirat, sehingga tidak sampai melanggar syariat seperti berzina maupun tindakan kriminalitas lainnya.


Kemudian, media yang membersamai masyarakat pun terbebas dari kebohongan-kebohongan atau yang saat ini kita kenal dengan hoax serta konten-konten yang berbau pornografi. Tentu hal ini menjaga masyarakat, khususnya umat Islam dari godaan-godaan syahwat yang tidak terbendung.


Ketika perzinaan sudah terjadi sekalipun, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensyariatkan solusi terbaik bagi para pelaku maupun korban. Dalam Al-Qur’an, jelas Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (cambuk).” (TQS. An-Nur [24]: 2)


Dalam hal ini, ada mekanisme sanksi atau hukuman yang setimpal bagi pelaku zina ghairu muhshan atau pelaku zina yang belum menikah. Tak hanya itu, Islam juga tidak sembarangan menuduh seseorang berzina, apalagi salah memberi definisi, seperti yang tertuang dalam firmanNya:  “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.” (TQS. An-Nisa [4]: 15)


Sayangnya, gambaran penyelesaian yang ideal ini belum dapat kita saksikan hari ini. Belum diberlakukannya sistem Islam ala minhajin nubuwwah atau sistem yang mengikuti jejak kenabian di masa lampau adalah hal utama yang mendasari masih diberlakukannya sistem zalim seperti sekularisme kapitalisme di tengah-tengah umat. Negara yang seharusnya menjadi tameng nomor satu bagi rakyatnya, tapi nyatanya belum bisa memelihara kesejahteraan hidup rakyat hari ini. Maka tidak heran, kekerasan seksual pada anak semakin menjadi-jadi. Wallahualam bissawab.