Besarnya Kesenjangan Antara Mitigasi dan Potensi Bencana di Indonesia

Daftar Isi

Lemahnya antisipasi bencana berpotensi besar mengancam keselamatan jiwa warga dan kerugian ekonomi pun kian besar


Perlu penguatan sistem mitigasi guna mencegah dampak bencana yang lebih besar


Oleh Fajrina Laeli, S.M.

Pegiat Literasi 


Siddiq-news.com -- Banjir, gempa bumi, longsor adalah sebagian bencana yang sering kali menimpa Bumi Pertiwi. Silih berganti tak hanya datang satu kali, di berbagai tempat, di berbagai wilayah, seperti banjir yang terjadi di kota Malang, Jawa Timur baru-baru ini.


Dikutip dari kompas[dot]id, 7/7/2023, hujan turun sejak Kamis malam hingga Jumat (6-7/7/2023) pagi, yang mengakibatkan banjir dan longsor di beberapa titik di wilayah selatan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Keadaan ini membuat jalur selatan Malang-Lumajang putus akibat longsor, kemudian disusul putusnya jembatan di perbatasan kedua daerah itu.


Selain Malang, Banjir juga terjadi di wilayah Timur Indonesia, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa, Kecamatan Lunyuk. Banjir ini terjadi akibat meluapnya sungai Kokat sampai merendam banyak rumah warga. Mirisnya, rumah warga terendam sejak Kamis lalu (6/7), setelah hujan lebat terjadi dari sore hingga malam hari. 


Wilayah yang berdampak paling parah yaitu Dusun Kalbir, Desa Emang Lestari. Ada 1.370 rumah warga yang terendam air dengan ketinggian 50 centimeter. Akibat dari banjir juga 28 ton pupuk urea milik warga terendam. Stok sembako warga pun turut terendam banjir. Sungguh kerugian materi yang besar akibat satu bencana alam tanpa korban jiwa.


Tidak hanya sampai di sana, Lumajang juga sedang ditimpa bencana banjir. Namun kali ini, banjir lahar dingin dari Gunung Semeru yang menerjang beberapa wilayahnya. Akibat bencana tersebut, Bupati Lumajang Thoriqul Haq, menetapkan masa tanggap darurat selama 14 hati. Menurutnya, cuaca ekstrem dengan intensitas hujan tinggi selama beberapa hari kemarin mengakibatkan banjir dan tanah longsor di beberapa wilayah.


Bahkan, terjangan keras material lahar dingin Semeru juga mengakibatkan beberapa jembatan mengalami kerusakan hingga terputus total. Setidaknya, empat jembatan terputus akibat terjangan material lahar dingin. (CNNIndonesia[dot]com, 8/7/2023).


Berbagai bencana yang kembali terjadi menimpa tanah air, jelas merugikan secara materi. Bahkan bencana kerap menelan korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Inilah konsekuensi letak Indonesia secara geografis, yang memang memiliki banyak potensi bencana, karena terletak di Sirkum Pasifik atau yang lebih dikenal dengan Cincin Api Pasifik.


Banyak sekali penjelasan ilmiah mengenai alasan Indonesia rawan bencana dari sisi geografis. Namun sayangnya, beragam penjelasan dan fakta tentang kerawanan bencana alam ini, nyatanya belum membuat penguasa sadar akan bahayanya bagi rakyat. Ini terbukti dari lemahnya mitigasi bencana yang dimiliki oleh Indonesia.


Lemahnya mitigasi bencana inilah yang kerap memakan banyak korban jiwa dan luka-luka. Ditambah kerugian materi yang tidak sedikit, mulai dari kerusakan rumah, kehilangan harta, kerusakan fasilitas umum, hingga infrastruktur negara. Alhasil, lemahnya mitigasi bencana ini menambah daftar panjang abainya peran negara sebagai pelindung rakyat.


Selain itu, kesiapan Pemerintah Daerah melakukan langkah mitigasi bencana relatif masih buruk. Lemahnya antisipasi bencana berpotensi besar mengancam keselamatan jiwa warga dan kerugian ekonomi pun kian besar.


Setiap tahun, ribuan peristiwa bencana terjadi di berbagai lokasi di Indonesia. Dari 34 provinsi, memang delapan di antaranya termasuk dalam kategori bahaya tinggi karena luasnya cakupan area terdampak serta tingginya intensitas bencana di wilayah bersangkutan. Maka sangatlah perlu penguatan sistem mitigasi guna mencegah dampak bencana yang lebih besar di delapan provinsi tersebut dan daerah lainnya di seluruh Indonesia.


Sangat miris, tetapi inilah fakta yang terjadi. Sejatinya, hal ini tidaklah mengejutkan, mengingat bagaimana secara berulang negara abai dalam hal mitigasi. Bahkan saat telah terjadi bencana pun negara masih butuh bantuan masyarakat dalam hal penggalangan dana. Sesaat setelah terjadi bencana pun rakyat tidak lagi diurusi keperluannya dan pengurusan kerugian atas harta benda yang telah hilang.


Aksi sosial masih terus digaungkan di mana-mana saat bencana alam besar terjadi. Sisi empati rakyat memang tinggi, tetapi tidak serta merta pemerintah menjadi berpangku tangan dan mengandalkan hal tersebut. Justru seharusnya negara menjadi kunci dan pemegang peran penting dalam hal dana juga pemulihan pascabencana bagi warga.


Dari sini tampak nyata, bahwa negara seakan tidak dapat dijadikan sebagai pelindung bagi rakyat, apalagi dari sisi pengurusan bencana. Rakyat pun seolah menjaga dirinya sendiri baik harta maupun jiwa. Sebab, penanggulangan bencana di negeri ini tidaklah berfungsi dengan baik bagi kehidupan.


Hal ini jelas berbeda andai Islam kembali diterapkan atas negeri ini. Sebab, paradigma Islam memandang bahwa kewajiban negara adalah sebagai pelindung atas rakyat, baik dari segi harta maupun jiwa. Sehingga rakyat tidak perlu khawatir atau waspada akan lalainya negara atas pengurusan bencana. Andai kata terjadi bencana rakyat akan yakin bahwa segala hal adalah kehendak Allah Swt., sedangkan manusia telah berusaha meminimalisirnya, tetapi Allah Swt. yang memiliki kuasa. 


Nantinya negara akan melakukan berbagai upaya secara maksimal untuk menjaga keselamatan warga dengan penuh tanggung jawab. Jika bencana tetap terjadi maka pemerintah dalam sistem Islam akan menyanggupi pemenuhan kebutuhan baik sandang dan pangan bagi para korban.


Adapun pembiayaan penanggulangan dan mitigasi bencana ini diambil dari baitulmal, yang sumber pemasukannya berasal dari pos kepemilikan umum, fai, kharaj, dsb. Pembiayaan ini pun bersifat mutlak, artinya ada atau tidak ada dana di baitulmal, menjadi tanggung jawab negara untuk mengadakannya.


Inilah cara Islam memitigasi bencana alam. Sudah dapat dipastikan bahwa Islam adalah satu-satunya sumber solusi dari peliknya masalah hidup manusia. Bencana akan terselesaikan dengan cara baik dan tidak berlarut-larut sepanjang waktu. Tidak heran, jika pada gemilingan Islam, para khalifah senantiasa berupaya semaksimal mungkin untuk memitigasi bencana. Bukan justru berpangku tangan dan lepas tanggung jawab. Wallahualam bissawab. []