Miris, Pinjol Meningkat saat Ramadan

Daftar Isi

 


Seorang muslim tentu tidak boleh gampang tergiur dengan kemudahan yang ada tanpa melihat apakah itu sesuai dengan syariat Islam atau tidak

Menjadi seorang muslim harusnya memahami bahwa hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syarak


Penulis Amey Nur Azizah

Pegiat literasi 


Siddiq-news.com -- Saat lagu "Ramadan Tiba" mulai menggema, bulan penuh ketaatan akan segera dijumpai. Banyak orang mulai berlomba-lomba menyiapkan segala sesuatunya dengan sesempurna mungkin. Di antara banyaknya persiapan yang hendak dilakukan tentu budget finansial juga menjadi korelasi yang nyata untuk mewujudkan ekspektasi dalam menyambut bulan Ramadan ini. 


Namun bulan Ramadan yang harusnya identik dengan aktifitas ibadah, meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt., menahan nafsu angkara justru diwarnai dengan aktifitas yang melanggar apa yang sudah dilarang oleh Allah Swt..


Sebagaimana disampaikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai prediksi pertumbuhan utang pada perusahaan P2P lending atau pinjaman online (pinjol) akan meningkat saat Ramadan sampai Lebaran 2024. Hal ini diproyeksi sebab adanya permintaan terhadap kebutuhan masyarakat yang juga naik saat bulan suci tersebut. (tirto[]id/gWCE)


Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memproyeksi pinjaman online (pinjol) pada saat Ramadan 2024 ini akan melonjak. Entjik S. Djafar, Ketua Umum AFPI, menyampaikan bahwa asosiasi menargetkan pendanaan di industri financial technology peer-to-peer (fintech P2P) lending saat Ramadan dapat tumbuh sebesar 12%. “Industri fintech lending melihat kecenderungan peningkatan penyaluran pendanaan menjelang Ramadan disebabkan meningkatnya permintaan,” kata Entjik kepada Bisnis, Minggu (3/3/2024). (finansial[]bisnis[]com, 3/3/2024)


Dari data di atas jelas terlihat bahwa demi memenuhi kebutuhan saat bulan ramadan dan lebaran banyak orang rela melanggar apa yang dilarang oleh Allah Swt.. Pinjol atau pinjaman online merupakan fasilitas pinjaman uang yang disediakan perusahaan yang bergerak di industry keuangan dan beroperasi secara online


Pinjol ini sifatnya sama dengan KTA atau Kredit Tanpa Agunan, yang tidak memerlukan agunan karena sistemnya yang berjalan secara online. Namun di balik kemudahan yang ditawarkan ada bahaya besar yang menanti. Pinjol memiliki tingkat bunga dan biaya keterlambatan yang tinggi, sehingga jika gagal membayar tepat waktu, biaya tambahan menumpuk dengan cepat dan membuat jumlah utang makin besar. Maka pinjol yang dianggap sebagai jalan pintas penuntas masalah keuangan rakyat ternyata justru menjerumuskan rakyat pada dosa besar riba.  


Saat ini riba sudah merajalela karena penerapan sistem kapitalisme di Indonesia menjadikan riba sebagai pilarnya. Namun sebagai seorang muslim tentu tidak boleh gampang tergiur dengan kemudahan-kemudahan yang ada saat ini tanpa melihat apakah itu sesuai dengan syariat Islam atau tidak. Karena menjadi seorang muslim harusnya memahami bahwa hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syarak.


Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk asal-asalan mengikuti sesuatu yang sedang tren, tanpa tahu hukumnya apakah halal atau haram. Untuk kaitannya dengan pinjol yang sedang marak mewarnai bulan yang Mubarak ini, maka harus difahami bahwa hukumnya adalah haram, karena Allah telah mengharamkan riba.


Sebagaimana firman Allah Swt.,

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Al-Baqarah: 275)


Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba jika kalian beriman. Apabila kalian tidak melakukannya maka yakinlah dengan peperangan dari Allah dan Rasul-Nya. Apabila kalian bertobat, kalian berhak mendapatkan pokok harta kalian. Kalian tidak menzalimi dan juga tidak dizalimi.” (QS Al-Baqarah [2]: 279)


Rasulullah saw. pun pernah bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, sementara ia tahu, adalah lebih berat (dosanya) daripada berzina dengan 36 pelacur (HR. Ahmad, al-Baihaqi dan ath-Thabrani)


Satu dirham saat ini setara dengan Rp50 ribu. Dengan kata lain, seseorang yang memakan harta hasil riba sebesar Rp50 ribu saja dosanya seperti telah berzina dengan 36 pelacur. Lalu bagaimana dengan riba yang jumlahnya lebih dari itu. Riba hingga jutaan bahkan miliaran rupiah? Jika disejajarkan dengan hukuman bagi pezina, berapa puluh, berapa ratus bahkan berapa ribu kali pelaku riba harus dirajam? Bagaimana pula dengan azab yang bakal dia rasakan di akhirat? Tentu amat mengerikan!


Lalu siapa yang disebut pelaku riba? Dalam sahih Muslim, dari Jabir bin Abdillah ra. dinyatakan, “Rasulullah saw. telah  melaknat pemakan riba (pemberi pinjaman), peminjam (nasabah), pencatat (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (sama-sama berdosa).” (HR. Muslim).


Karena itu di bulan yang penuh dengan berkah ini, bulan yang di dalamnya banyak diobral pahala, sebagai seorang muslim harusnya dengan tegas berani mengambil sikap untuk tinggalkan dosa riba. Sambutlah seruan Allah Swt., "Bertobatlah kalian semua, wahai kaum Mukmin, agar kalian beruntung." (TQS an-Nur [24]: 31)


Ketika Allah sebagai Sang Maha Pencipta telah mengharamkan riba, Allah juga telah memberikan Solusi yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan Masyarakat. Allah hadirkan sistem ekonomi islam yang mampu mewujudkan kesejahteraan yang nyata. Di mana level kesejahteraan yang dimaksud adalah terpenuhinya kebutuhan pokok secara individual yakni, sandang, pangan dan papan serta kebutuhan pokok secara komunal yakni, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Kebutuhan pokok ini akan ditanggung oleh negara secara keseluruhan, sehingga tidak ada istilahnya rakyat kebingungan mencari pinjaman karena bertambahnya kebutuhan jelang Ramadan dan lebaran. 


Bahkan dengan ekonomi Islam negara mampu untuk mempermudah rakyatnya dalam memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. 


Selain itu, negara Islam juga akan memberikan edukasi kepada rakyat, bahwa kehidupan yang dijalani hari ini adalah semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt., sehingga prioritas kehidupan mereka akan jauh dari yang namanya hura-hura ataupun foya-foya. Maka akan menjadi sangat jelas arah pembelanjaan harta mereka hanya kepada sesuatu yang prioritas semata demi mengharap rida Allah Swt. Serta dalam tradisi mudik lebaran pun juga tidak akan dijumpai keinginan untuk pamer harta ataupun pencapaian duniawi mereka. Sehingga kehidupan rakyat jauh dari kata memaksakan keadaan agar terlihat wah, di mata orang lain.


Terlebih lagi untuk pencarian modal usaha, maka seorang muslim yang terbina dengan pemahaman Islam dari negara tentu tidak akan mengambil modal yang berasal dari sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah. Karena keberkahan dalam hidup menjadi poin utama yang diharapkan mereka, sehingga terwujud kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahmah yang korelasinya terlahir generasi-generasi cemerlang yang bertakwa. Kalaupun harus meminjam modal, maka negara akan memberikan pinjaman modal kepada pelaku usaha dengan tanpa riba. Masyaallah betapa Islam sangat relevan dalam mengatasi segala permasalahan yang ada saat ini. Wallahualam bissawab. []