Malapetaka Pinjol dalam Pusaran Kapitalisme

Daftar Isi

Negara menjamin bahwa pinjaman yang diberikan bebas dari utang ribawi

Bantuan atau pun sumbangan yang diberikan akan tepat sasaran, amanah, dan bebas dari KKN



Penulis Riani Andriyantih, A.Md.Kom.
Pemerhati Masyarakat


Siddiq-news.com, OPINI -- Mahalnya harga berbagai macam kebutuhan hidup saat ini, menjadikan masyarakat mengambil berbagai langkah untuk memenuhinya, salah satunya dengan pinjol (pinjaman online). Sebab, pinjol merupakan cara mudah dan cepat di hadapan mata sehingga kerap membuat orang kalap untuk terlibat. Terlebih, melihat abainya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya sehingga rakyat harus bertahan dan berputar otak mencari cara agar setiap kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi.


Ironisnya, alih-alih negara memberikan solusi tanpa masalah, pemerintah justru memberikan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk dapat menutupi kebutuhan hidup dengan munculnya lembaga-lembaga pinjol yang dilegalisasi oleh negara dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sehingga stigma utang aman dan nyaman seolah jadi slogan. Namun, apakah langkah ini tepat sebagai bagian dari solusi negara atas permasalahan yang menimpa rakyatnya atau justru menjadi lahan bisnis baru yang berstandar untung dan rugi belaka? 


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa ada platform Peer to Peer Lending seperti Investree, Tanifund, iGrow, dan Modal Rakyat yang tengah tersangkut kasus gagal bayar kepada lendernya. Tercatat dari data statistik P2P Lending periode Januari 2024 yang dipublikasikan oleh OJK (25/3/2024), total kredit macet atau tingkat wanprestasi di atas 90 hari (TWP 90) P2P Lending mencapai Rp1,78 triliun. Jumlah ini naik 27% dari tahun 2023 sebesar Rp1,40 triliun. Ini artinya makin banyak kasus kredit macet hingga gagal bayar para peminjam dana. (cnbcindonesia, 4/04/2024)


Pilihan yang disediakan negara berupa pinjol ini jelas membahayakan. Dalih memberikan solusi, nyatanya justru dijadikan untuk gali lubang tutup lubang oleh masyarakat, bahkan tidak sedikit masyarakat yang sulit untuk terlepas dari jerat bunga bertingkat hasil dari pinjol yang berbuah habisnya harta benda, rusaknya keluarga, bahkan hilangnya nyawa.


Tentu saja, tidak akan ada asap jika tidak ada api. Ada sebab pastilah ada akibat. Hal ini tidak terlepas dari sistem ekonomi dunia saat ini yang menganut sistem ekonomi kapitalisme. Tidak heran jika utang ribawi adalah suatu keniscayaan yang menjadi jantung perekonomian, termasuk aktivitas pinjol ini. Harus disadari bahwa dalam transaksi utang pinjol ada transaksi berbasis ribawi yang dinamakan bunga. Meski diiming-imingi dengan dalih bunga rendah, cicilan ringan, sejatinya ada racun berbalut madu yang terkadang tidak disadari.


Menjamurnya iklan-iklan pinjol diberbagai platform media sosial dengan syarat mudah ini pun menjadi malapetaka bagi masyarakat. Yang tadinya mereka tidak ada niatan, tetapi saking masifnya promosi yang dipasarkan, akhirnya tidak sedikit orang yang tergiur dan terjebak. Mirisnya, bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, melainkan demi mengikuti gaya hidup yang konsumtif dan konsumerisme.


Fakta tersebut semestinya membuka kesadaran kita bahwa sesulit apa pun kondisi kita, sejatinya pinjol bukanlah solusi yang tepat. Pinjol yang saat ini sudah merebak, menjadi solusi alternatif untuk menyelesaikan berbagai masalah keuangan yang dihadapi masyarakat. Padahal pinjol jelas riba yang diharamkan, tentu Allah Maha mengetahui dibalik aturannya ada mudarat yang menyengsarakan pelakunya. Tidak ada dosa yang paling menyeramkan melainkan dosa memakan harta riba, sampai Allah Swt. mengumumkan perang kepada pelakunya.


Dari Jabir ra, Nabi saw. bersabda, "Rasulullah saw melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1598)


Dari sisi lain terkait kerugian akibat tagihan macet dan mandegnya cicilan dari para nasabah, merupakan bagian dari konsekuensi usaha para lembaga pinjol tersebut karena menjadikan bisnis pada bidang tersebut. Demikian kerusakan demi kerusakan yang akan makin terasa jika kita mengambil solusi bukan dari Allah Swt semata. Solusi yang lahir dari sistem rusak hari ini hanya bicara untung dan rugi. Bukan lagi maslahat dan mudarat.


Berbeda, jika dengan sistem Islam. Islam akan memberikan solusi berdasarkan akar masalah yang ada, seperti permasalah pokok yang terjadi secara tersistem saat ini. Maka menjadi kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat berupa sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan secara gratis, serta memberikan akses lapangan pekerjaan yang mudah dengan upah yang layak bagi rakyatnya, terutama bagi kaum laki-laki sebagai kepala keluarga sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.


Andai masyarakat membutuhkan pinjaman, negara menjamin bahwa pinjaman yang diberikan bebas dari utang ribawi. Bantuan atau pun sumbangan yang diberikan akan tepat sasaran, amanah, dan bebas dari KKN. Masyarakan pun secara otomatis akan terbentuk cara hidupnya bersifat zuhud, bermental kaya, dan senantiasa kanaah dan bersyukur.


Dalam naungan Islam, negara niscaya membentuk masyarakat untuk senantiasa terikat kepada syariat dalam setiap kondisi dan tidak mudah terjerumus pada gaya hidup konsumtif dan konsumerisme yang menjadikan nafsu sebagai pengendali perilakunya. Wallahualam bissawab. []