Ada Apa di Balik Banyaknya Anak Berkonflik dengan Hukum?

Daftar Isi


Tak peduli benar atau salah, terpuji atau tercela, bahkan tak jarang menabrak norma dan agama

Sehingga food, fashion, dan fun ala Barat pun berhasil merusak generasi hari ini secara vulgar dan legal


 Riani Andriyantih, A.Md.Kom.

Pegiat Literasi 


Siddiq-news.com, OPINI -- Hidup dalam naungan sekularisme hari ini menjadikan tantangan bagi keluarga. Khususnya para orangtua dalam mendidik dan mengasuh buah hati nya. Fakta yang terjadi saat ini menjadi alarm rapuhnya ketahanan keluarga dalam membentuk nilai-nilai kebaikan.


Sebagai fakta yang memilukan, di Sukabumi anak usia SMP menjadi pelaku utama pembunuhan anak usia 6 tahun, sekaligus menjadi pelaku kekerasan seksual sodomi terhadap korban. Aksi pelaku ini jelas di luar nalar. Karena pelaku melakukan sodomi berulang setelah korban meninggal hingga pada akhirnya jasad korban dibuang ke dalam jurang. (sukabumiku.id, 2/05/2025).


Sungguh ironis, anak usia belia menjadi predator keji mengalahkan nalar dan logika. Kisah tak kalah memprihatinkan juga menimpa Airul Harahap, seorang santri di Pondok Pesantren Raudhatul Mujawwidin, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi menjadi korban pembunuhan yang diketahui ketiga pelakunya merupakan senior korban di pondok pesantren. (metrojambi, 4/05/2024).


Kehidupan yang serba bebas dan terbuka ini menjadikan banyak anak turut terlibat dan tersangkut kasus kriminalitas. Menjadi gambaran kelam generasi dalam pelukan sistem sekuler liberal. Ironisnya, orang tua yang seharusnya menjadi role model keteladanan bagi anak-anaknya, justru disibukkan dengan mencari nafkah dan membantu mencari pundi-pundi rupiah demi mencukupi kebutuhan keluarga yang serba mahal. Sehingga tidak sedikit orang tua menggantungkan harapan ke lembaga pendidikan untuk dijadikan perantara mendidik, membina, dan mencetak anak-anak mereka agar menjadi insan yang unggul.


Sedihnya, lembaga pendidikan hari ini dengan kurikulum sekulernya pun tidak mampu memenuhi harapan para orang tua siswa. Sangat jauh panggang dari api. Sehingga baik orangtua dan lembaga pendidikan pada akhirnya sama-sama sulit mencetak insan generasi yang unggul baik secara pola pikir maupun secara pola sikap.


Dalam kondisi saat ini, tidak sedikit anak-anak tercerabut fitrahnya. Banyak yang kekurangan kasih sayang hingga sakit mental, karena menjadi korban pengasuhan orangtua. Penyebabnya antara lain faktor ekonomi, ketidakutuhan tatanan keluarga, perceraian orangtua, kurang bekal ilmu orang tua tentang tata cara mendidik anak, dan sebagainya.


Dalam sistem Islam, pendidikan pertama dan utama itu akan didapati di dalam keluarga. Ibu sebagai madrasatul ula bagi anak-anaknya. Sementara ayah sebagai pemimpin keluarga tidak hanya mencari nafkah, tetapi juga turut serta dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Ayah mwenjadi teladan sekaligus menjadi penjaga visi dan misi keluarga agar terjaga keharmonisannya.


Sistem pendidikan saat ini juga bukan lagi fokus mencetak generasi unggulan, melainkan bergeser bagaimana agar para siswa-siswinya mampu menghasilkan banyak materi ketika lulus dari bangku pendidikan. Nilai tinggi, hanya jadi ajang agar mendapat pekerjaan bergengsi agar mampu kumpulkan pundi-pundi sebagai pemuas diri. 


Berbeda di dalam sistem Islam, sistem pendidikan Islam niscaya akan mencetak generasi-generasi unggul yang berkepribadian islami dengan pola pikir dan pola sikap yang islami, dekat dengan nilai-nilai kebaikan, dan mendatangkan maslahat bagi banyak orang, khususnya generasi mendatang yang menjadi harapan masa depan peradaban.


Negara juga tampak lalai menjalankan perannya dalam memberikan pelayanan, pengurusan, dan kontrol kepada rakyat. Sebaliknya, malah memberikan ruang kebebasan yang kebablasan sehingga rakyat hanya dijadikan objek untung dan rugi.


Hukum rimba pun terjadi, yang kuat yang akan bertahan. Sehingga memang sungguh berat menjaga fitrah anak-anak dalam sistem saat ini. Kebebasan menjadi landasan dalam berbuat, bersikap, bahkan berprilaku di bawah payung yang mengatas namakan Hak Asasi Manusia (HAM). Tak peduli benar atau salah, terpuji atau tercela, bahkan tak jarang menabrak norma dan agama. Sehingga food, fashion, dan fun ala Barat pun berhasil merusak generasi hari ini secara vulgar dan legal.


Sanksi hukum yang ada pun tidak memberikan efek jera bagi para pelaku tindak kejahatan, apalagi jika pelaku dianggap masih anak-anak, usia kurang dari 18 tahun. Peradilan anak yang berlaku dan berjalan akhirnya kurang maksimal. Padahal dalam Islam, usia tidak dapat dijadikan standar kedewasaan. Siapa saja yang akalnya telah sempurna sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yg buruk, siapa saja yg sudah baligh, maka ia dibebankan taklif hukum. 


Maka dari sinilah, dibutuhkan sinergi antara orangtua, lembaga pendidikan, masyarakat, dan negara untuk sama-sama berperan menjaga fitrah anak agar terlahir generasi yang tangguh secara fisik, akal, intelektual, dan mental, sebagaimana generasi terdahulu di masa kejayaan Islam. Bukankah, kita semua menginginkan kembali lahirnya generasi tangguh seperti Muhammad Al-Fatih atau seperti halnya Shalahuddin Al-Ayyubi ?


Tidak ada jalan lain, selain kita kembali kepada agama fitrah, yaitu Islam beserta seperangkat aturannya yang dengannya kehidupan mulia akan kita dapati sehingga melahirkan generasi unggul yang beriman dan bertakwa. Wallahualam bissawab.