Anak jadi Pelaku Kriminal, Bukti Gagalnya Fungsi Keluarga dalam Kapitalisme

Daftar Isi

 


Islam memiliki sistem pendidikan yang terbukti menghasilkan generasi berkepribadian Islam bukan kriminal

Keberhasilan ini tidak lepas dari sistem landasan pendidikan Islam yakni akidah Islam


Penulis Neneng Sriwidianti

Pengasuh Majelis Taklim


Siddiq-news.com, OPINI -- Kasus anak-anak yang  menjadi pelaku kriminal bukan lagi menjadi hal asing di negeri ini. Generasi makin mendekat dengan lingkungan kriminal, makin menjauh dari ketaatan. Kekhawatiran membayangi kita, bagaimana masa depan generasi yang terus berada di pusaran tindak kejahatan atau sebagai pelaku kriminal.


Seperti kabar baru-baru ini yang menghebohkan, seorang pelajar SMP berusia 14 tahun, menjadi pelaku utama pembunuhan dan sodomi terhadap bocah laki-laki berinisial MA, 6 tahun asal Sukabumi. Dari keterangan yang diperoleh, pelaku melakukan hal tersebut, karena ia pernah menjadi  korban pencabulan atau sodomi. Begitu juga kasus yang terjadi di pondok pesantren Raudhatul Mujawwidin, Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Santri AH (13) telah menjadi korban penganiayaan AR (15) dan RD (14) yang merupakan seniornya. Penganiayaan itu berujung pada kematian si korban. Motif penganiayaan tersebut seperti yang disampaikan ke pihak yang berwajib, karena pelaku tidak terima ketika utangnya senilai Rp10.000 ditagih korban.  


Dua kasus tersebut hanyalah sebagian dari ribuan kasus anak yang bermasalah dengan hukum. Menurut Direktorat jenderal Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kasus anak yang berkonflik dengan hukum menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023. Tercatat sampai 26 Agustus 2023, hampir 2.000 anak berurusan  dengan hukum. Di antaranya, berstatus tahanan sebanyak 1.467 anak dan masih menjalani proses peradilan, dan 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana. Kompas.id.


Jumlah anak yang berhadapan dengan hukum jika dibandingkan dengan data tiga tahun lalu belum pernah tembus di angka 2000.  Misalnya, data pada 2020 dan 2021, angka anak berhadapan dengan hukum 1.700-an orang. Jumlahnya meningkat di tahun berikutnya menjadi 1800-an anak.


Meningkatnya kasus anak yang berhadapan dengan hukum, semestinya merupakan alarm keras bahwa generasi kita sedang tidak baik-baik saja. Harus ada kesadaran bersama agar keluar dari kondisi ini, sebelum semuanya terlambat. Pekerjaan besar semua pihak, terutama keluarga sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak-anak.


Fakta ini tentunya membuat kita miris. Namun, inilah output generasi hasil didikan sistem kapitalisme, yakni sistem yang berorientasi pada materi. Akibatnya, orang tua menganggap dirinya sebagai pihak pemberi materi. Orang tua merasa sudah maksimal ketika anak-anak sudah terpenuhi segala kebutuhannya baik itu pangan, sandang, mainan, dimasukkan ke sekolah favorit, dan sebagainya. Sementara itu, orang tua hanya sibuk mengejar materi sebagaimana yang ditanamkan oleh kapitalisme.  


Karena tekanan ekonomi, ayah dan ibu sibuk bekerja. Akhirnya anak-anak tidak mendapatkan pendidikan yang benar di dalam rumah. Sementara di sekolah, diarahkan oleh kurikulum sistem pendidikan kapitalisme yang berorientasi materi dan minim nilai agama. Alhasil, anak-anak akan terus diarahkan mengejar prestasi tanpa ada bimbingan akhlak dan ketaatan. Apalagi sistem sanksi kapitalisme tidak membuat pelaku jera. Akibatnya, anak-anak pelaku kejahatan semakin marak. 


Adanya keluarga broken home juga turut menyumbang kasus anak  yang berhadapan dengan hukum. Memang tidak semua anak-anak yang berhadapan dengan hukum, orang tuanya bercerai. Akan tetapi, kalau kita telusuri, mayoritas anak-anak yang bermasalah dengan hukum berasal dari keluarga yang tidak utuh. Mereka sering bertingkah dan berulah karena ingin mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya.


Sangat berbeda dengan sistem Islam, tatkala menjaga generasi dari kehancuran dan kerusakan. Islam memiliki mekanisme konkrit untuk mencetak generasi yang berkualitas, baik dari segi keimanan, moral, akhlak, dan pengembangan potensi diri. Islam memiliki sistem pendidikan yang mampu dan sudah terbukti menghasilkan generasi berkepribadian Islam bukan kriminal. Keberhasilan ini tidak lepas dari sistem landasan pendidikan Islam yakni akidah Islam.


Salah satu kurikulum pendidikan dasar Islam yaitu harus mampu mencetak generasi yang memiliki kepribadian Islam. Standar  kepribadian Islam ini bisa dilihat dari pola pikir (aqliyah) Islam dan pola sikap (nafsiyah) Islam peserta didik. Kepribadian Islam ini akan mendorong seseorang untuk senantiasa berada dalam ketaatan dan menjauhi kemaksiatan secara sadar. Mentalitas demikian mampu mencegah perilaku keji seperti yang banyak terjadi saat ini.


Bahkan dari sistem pendidikan Islam, terlahir generasi yang siap dan mampu mengemban amanah besar, seperti menjadi orang tua. Mereka akan mengetahui hak dan kewajiban yang harus dijalankan ketika mendidik anak-anaknya kelak, dipastikan dari anak-anak yang memiliki kepribadian Islam akan melahirkan keluarga yang Islami pula. 


Bukan hanya sistem pendidikan, Islam juga memberi perhatian penuh kepada keluarga. Islam memandang bahwa keluarga adalah fondasi awal sebuah peradaban. Karena kualitas generasi pertama kali ditentukan oleh keluarga. Dalam Islam, fungsi ibu adalah sebagai pendidik dan sekolah pertama bagi anak-anaknya. Pendidikan yang berlandaskan syariat Islam, akan membentuk anak-anak yang saleh dan salehah. 


Pembentukan ini makin kuat, karena Islam mewajibkan seorang ayah menjadi qawwam (pemimpin) keluarga. Sinergitas peran ayah dan ibu akan memberi dampak yang sangat besar bagi pendidikan anak-anak. Keamanan anak-anak juga akan terjamin, karena Islam memiliki sistem sanksi (uqubat) yang tegas.


Dalam Islam, pelaku kejahatan diberi sanksi selama mereka sudah baligh. Dalam Islam tidak dikenal pembatasan usia berdasarkan umur, seperti usia di bawah 18 tahun dikategorikan anak-anak dan usia di atas 18 tahun dikategorikan dewasa. Islam hanya mengenal pembatasan usia berdasarkan usia baligh. Kemudian, penganiayaan berujung pembunuhan mendapat sanksi qishash. Pelaku sodomi mendapatkan had liwath yakni dijatuhkan dari tebing atau tempat tinggi di daerah tersebut. Alhasil, pelaku sodomi tidak akan melahirkan pelaku baru sebagimana yang terjadi di Sukabumi. Hanya saja, konsep-konsep yang demikian hanya akan terwujud jika keluarga, masyarakat, dan negara menerapkan sistem Islam secara sempurna dalam kehidupan.

Wallahualam bissawab. []