Biang Kerok Mahalnya Biaya Pendidikan

Daftar Isi

Mahalnya biaya pendidikan tinggi membuktikan abainya peran negara dalam menjamin pendidikan masyarakat umum

Dunia pendidikan tinggi digunakan sebagai salah satu komoditas bisnis yang bisa dikomersialisasi


Penulis Galuh Metharia

Aktivis Muslimah, Ngaglik, Sleman, DIY


Siddiq-news.com, OPINI -- Polemik kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) menimbulkan gelombang protes di kalangan mahasiswa atau orang tua. Adapun besaran kenaikan UKT tiap perguruan tinggi menunjukkan persentase yang berbeda. Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) misalnya, mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa karena UKT naik hingga lima kali lipat. Kasus serupa juga terjadi di beberapa universitas lainnya. Bahkan, para mahasiswa mengancam akan melakukan aksi demo besar-besaran jika pemerintah tidak segera menyelesaikan permasalahan ini. (cnnindonesia, 19/05/2024)


Salah satu pemicu melejitnya biaya UKT di berbagai perguruan tinggi tidak terlepas dari perubahan status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Dengan status PTN-BH, kampus memiliki otonom terhadap pengelolaan sumber daya, termasuk penentuan biaya pendidikan. Tak hanya itu, PTN-BH juga mempunyai kewenangan dalam pola pelaporan keuangan. Mereka juga punya ruang untuk menentukan program studi yang dibuka di masing-masing kampus. (cnnindonesia, 22/05/2024)


Tidak bisa dimungkiri, keberadaan status PTN-BH termasuk bentuk privatisasi dan komersialisasi kampus. Inilah yang dinilai menjadi biang kerok kenaikan UKT di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Sementara itu, Kementerian Pendidikan sendiri seolah kurang peka dan kurang peduli dengan persoalan ini. Sekretaris Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Tjitjik Srie Tjahjandarie mengatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier. Artinya, pendidikan tinggi atau yang disebutnya sebagai tertiary education dianggap sebagai pilihan individu saja bukan bagian dari program wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah.


Pernyataan pejabat Kemendikbudristek tersebut seakan menguatkan persepsi bahwa kuliah bersifat elitis dan hanya diperuntukkan kalangan tertentu saja. Mahalnya biaya pendidikan tinggi seolah diciptakan untuk kaum ningrat agar mereka bisa memenuhi pasar dunia kerja nantinya. Sementara rakyat miskin tidak bisa bersaing dan menembus pasar kerja karena kesulitan mengakses dunia pendidikan dengan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan.


Imbas Tata Kelola Sistem Kapitalisme

Miris, inilah bentuk kapitalisasi dunia pendidikan yang terjadi saat ini. Mahalnya biaya pendidikan tinggi membuktikan abainya peran negara dalam menjamin pendidikan masyarakat umum. Dunia pendidikan tinggi digunakan sebagai salah satu komoditas bisnis yang bisa dikomersialisasi. Imbasnya tidak semua masyarakat mampu mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Ini juga yang menjadi penyebab rendahnya rasio penduduk berpendidikan tinggi terhadap populasi produktif di Indonesia. Ditambah lagi, tingginya biaya pendidikan di Indonesia tidak diimbangi dengan mutu pendidikan yang masih rendah di kancah Internasional.


Tidak bisa dimungkiri, penerapan sistem dalam sebuah negara mempengaruhi tata kelola segala aspek di dalamnya. Dalam sistem kapitalisme sekuler, pendidikan tidak dianggap sebagai kebutuhan dasar rakyat yang menjadi tanggung jawab penuh negara. Paradigma kapitalisme memandang segala sesuatu berlandaskan asas manfaat dan keuntungan tak terkecuali dalam bidang pendidikan.


Selain itu, kapitalisasi pendidikan akan menimbulkan kesenjangan akses dan kesempatan pendidikan bagi masyarakat. Bagi mereka yang mampu membayar biaya pendidikan maka akan mendapat pendidikan yang berkualitas. Sementara, bagi masyarakat yang kurang mampu harus puas dengan pendidikan yang rendah atau bahkan tidak mendapatkannya sama sekali.


Padahal jelas, pendidikan merupakan kunci dari perkembangan dan kemajuan sebuah negara. Namun, sebuah paradigma yang keliru jika pendidikan dimaknai sebagai aset untuk mencetak manusia agar dapat memenuhi tuntutan industrialisasi, pasar ekonomi, atau pengembalian investasi finansial. Dengan mengedepankan tuntutan tersebut, output pendidikan lebih terfokus pada hasil daripada proses.


Tentu saja, dengan logika pasar akan mengurangi kreatifitas, inovasi, dan mengerdilkan intelektualitas peserta didik. Banyaknya kecacatan moral dan intelektual generasi muda merupakan konsekuensi dari sistem ini. Orientasi pendidikan tinggi bergeser menjadi kompleks mega industri dan sarana kapital untuk mencetak komoditas pekerja. Maka jelas, pendidikan yang berkualitas dan merata tidak akan terwujud selama masih menggunakan paradigma kapitalisme. Dari sini juga, cita-cita negara untuk mencetak generasi emas mustahil akan tercapai.


Pendidikan dalam Sistem Islam

Islam memandang pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok dan hak rakyat yang wajib diupayakan pemenuhannya oleh pemerintah. Fakta ini bisa kita lihat dari kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan pada masa kejayaan sistem Islam terdahulu. Misalnya, pada masa Kekhilafahan Umaiyyah. Sejarah mencatat bagaimana pendidikan terus berkembang, lebih maju, dan mencetak banyak intelektual Muslim.


Pola pendidikan yang diterapkan bersifat desentralisasi, tidak memiliki tingkatan dan dasar standar umur. Tujuannya untuk mencetak sumber daya manusia yang unggul dan seimbang dalam ilmu agama maupun umum. Sasarannya ditujukan untuk seluruh rakyat yang berada pada seluruh wilayah kekuasaan Islam. Pendidikan dalam sistem Islam mampu mengubah kondisi dari masyarakat dengan kejahilan menjadi bersinar ilmu pengetahuan.


Negara akan mengeluarkan dana dari anggaran pemerintah dan dana wakaf untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pembiayaannya digunakan untuk pembangunan gedung, sarana prasarana, hingga biaya hidup guru, dan peralatan sekolah lainnya. Pendidikan pada masa itu gratis. Sarana prasarana seperti alat tulis, rumah guru, asrama pelajar, gedung sekolah, ruang praktikum, laboratorium, dan lainnya sangat lengkap berkat perhatian besar pemerintah dan masyarakat secara umum. Sistem Khilafah membiayainya dari baitul mal yang berasal dari pengoptimalan pos-pos pemasukan negara, terutama dari pengelolaan sumber daya alam.


Inilah rangkaian mekanisme negara dalam memenuhi pendidikan yang menjadi kebutuhan dasar rakyat. Tentu saja, paradigma Islam jauh berbeda dengan kapitalisme. Konsep pendidikan, tujuan, dan visi misi pendidikan tidak akan bergeser statusnya kecuali karena hadirnya sistem kapitalisme pendidikan seperti hari ini. Pendidikan yang berkualitas dan merata hanya akan terwujud dengan sistem tata kelola yang benar yakni sistem Islam di bawah naungan Daulah Khilafah.

Wallahualam bissawab. []