Jangan Abai, Kerusakan dan Kejahatan Mengintai

Daftar Isi


Pendidikan tidak difokuskan pada pembinaan akhlak dan kepribadian

Kecanggihan teknologi pun tak luput dari sumbangsihnya sebagai faktor tindak kriminal yang dilakukan anak di bawah umur


Penulis Umul Istiqomah 

Pegiat Literasi 


Siddiq-news.com, OPINI -- Sudah menjadi makanan publik, acap kali melihat siaran berita di televisi, kabar yang muncul tidak lain yakni maraknya kasus kriminalitas. Yang lebih mirisnya lagi, pelaku atau korban berada di rentang usia yang masih dalam masa ‘Bimbingan Orang tua’. Seperti yang di kabarkan beberapa waktu lalu pada Minggu 17 Maret 2024 sekitar pukul 05.30 WIB, laki-laki berinisial MA (6 tahun) asal Sukabumi ditemukan dalam keadaan tewas di dekat tebing. 

Dan setelah dilakukan berbagai penyelidikan, ternyata ia menjadi korban pembunuhan, tidak hanya itu, anak yang baru mau duduk di sekolah dasar ini pun sekaligus menjadi korban kekerasan seksual sodomi. Dan yang menjadi dalang dari pembunuhan sekaligus tindakan bejat pelecehan seksual sodomi yakni seorang pelajar yang masih berusia 14 tahun dan kini duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), kondisi ini tentu makin mempersuram masa depan generasi. (SUKABUMIKU, 02/05/2024). 

Di tempat lain, pihak kepolisian mengungkap kasus kematian Airul Harahap (13), santri Pondok Pesantren Raudhatul Mujawwidin, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi yang dibunuh oleh ketiga kakak kelasnya dengan cara dianiaya, hanya karena kakak kelasnya merasa tersinggung dengan perkataan korban. (METROJAMBI, 04/05/2024)

Berbagai penyelidikan hingga pengambilan keputusan dalam setiap kasus kriminalitas telah dilakukan, tetapi pada akhirnya semua akan bermuara pada kesimpulan bahwa pendidikan di dalam keluargalah yang menjadi kuncinya. Bagaimana didikannya? Nilai-nilai apa yang ditanamkan? Terutama bagi pelaku. Di mulai dari peran masing-masing anggota keluarga khususnya orang tua yang dalam hal ini bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan sang anak baik jasmani maupun rohaninya. Artinya bukan hanya kebutuhan fisiknya saja, tetapi kebutuhan jiwa pun perlu dipenuhi asupannya. Sehingga harapannya, anak dapat dengan mudah diarahkan kepada hal-hal yang benar ketika dua unsur kebutuhan ini terpenuhi. 

Namun, orang tua saat ini lebih banyak memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan jasmani daripada rohani itu sendiri. Karena, sebagian dari mereka menganggap ketika materi terpenuhi maka sudah gugur tanggung jawab orang tua kepada anaknya, inilah capaian yang di kejar oleh orang-orang kebanyakan hari ini yakni materi semata sehingga mengabaikan aturan agama. Inilah sistem hidup yang berdasarkan pemahaman kapitalisme. 

Dalam sistem kapitalisme ini, anggapan bahwa mendidik dan mencetak generasi gemilang hanya tanggungjawab seorang ibu, tentulah ini kekeliruan. Memang benar, gelar ummu madrasatul ula itu ada pada seorang ibu dan sudah seharusnya peran itu dijalankan, jangan sampai karena alasan ekonomi atau tuntutan gaya hidup, seorang ibu rela perannya digantikan oleh orang lain. Namun, kehadiran ayah sebagai pemimpin keluarga tidak kalah penting untuk ikut andil dalam mendidik anak-anak dan menjadi teladan terbaik untuk mereka.

Dalam QS At Tahrim ayat: 6 Allah Swt. berfirman yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka....” 

Ayat ini jelas memberikan kewajiban untuk orangtua dan anggota keluarga lain agar saling mengingatkan ketika ada yang berbuat kesalahan. Maka, orang tua seharusnya bukan hanya sosok ‘ATM Berjalan’ di mana ketika anak perlu uang maka orangtua merasa dibutuhkan, sedangkan tidak ada kedekatan secara emosional yang terjalin antara orang tua dan anak dengan alasan sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan materi. 

Selain dari faktor keluarga,  penyebab maraknya kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak juga merupakan gambaran, buruknya output dalam sistem pendidikan kapitalisme, di mana capaiannya yang hanya bersifat materi dan berupa angka semata. Serta hanya mencetak lulusan yang mampu untuk ‘dipimpin’ bukan sebagai ‘pemimpin’. Sehingga, meskipun anak tersebut secara administratif tercatat sebagai pelajar. Namun bisa jadi sikap dan kepribadiannya ‘tidak terpelajar’. Karena pendidikan tidak difokuskan pada pembinaan akhlak dan kepribadian. Kecanggihan teknologi pun tak luput dari sumbangsihnya sebagai faktor tindak kriminal yang dilakukan anak di bawah umur. Hari ini mereka begitu bebas dan dengan mudahnya mengakses internet, yang isinya tidak semua konten sesuai dengan usia. Banyak tontonan yang tidak selayaknya ter-publish di media, tetapi tidak ada yang ‘concern’ pada hal ini. Sehingga meskipun anak tidak diajari oleh orang tuanya mengenai hal-hal yang berbau pornografi misalnya, tetap ada kemungkinan anak bisa tahu dan mengerti dari gawai yang ia pegang. 

Ditambah dengan sanksi yang tidak tegas terhadap para pelaku kriminal di bawah usia 18 tahun, menjadikan kejahatan akan terus berulang dan tidak menimbulkan efek jera terhadap para pelaku. Sehingga, memungkinkan untuk bisa melakukannya kembali di kemudian hari saat sudah bebas dari jeruji besi. Semua hal tersebut terjadi dalam sistem hidup kapitalisme yang telah gagal menjamin kesejahteraan dan keamanan bagi rakyat.

Menyikapi persoalan ini, maka Islam telah memiliki solusi yang mengakar lagi tuntas demi memperbaiki serta melindungi generasi yang saat ini mengalami banyak sekali kerusakan. Di antaranya sistem pendidikan yang diterapkan di seluruh sendi kehidupan harus berlandaskan akidah Islam dan memiliki capaian yang jelas yakni melahirkan generasi cemerlang yang berkepribadian Islam dan berakhlak mulia. Sehingga anak-anak tahu batasan dalam berperilaku karena setiap perbuatan terikat dengan hukum syarak, maka tidak mungkin mereka berani berbuat hal yang menjerumuskan kepada dosa seperti membunuh atau melakukan pelecehan seksual. 

Kemudian keluarga khususnya orang tua harus bisa memenuhi kebutuhan ruhiyah anak-anaknya, bukan hanya jasadiyah. Yaitu menjaga fitrah keimanan anak, dengan cara menanamkan nilai-nilai akidah sedini mungkin, sehingga anak akan tumbuh dan berkembang dengan optimal sesuai dengan usianya dan memiliki kepribadian Islam. Pun peran ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya betul-betul dijalankan sebagaimana mestinya tanpa ada istilah ‘ibu sibuk bekerja, hingga tak bisa mendidik anak’. Karena negara yang akan menjamin kesejahteraan rakyatnya. Setiap individu harus terpenuhi kebutuhan asasinya. Karena hal itu merupakan tanggungjawab pemimpin umat dihadapan Allah Swt..

Adanya negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, lalu dukungan masyarakat yang peduli dan saling menjaga serta ketakwaan individu akan mewujudkan kondisi yang aman. Selain itu, negara juga akan memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk menyaring informasi yang muncul di situs internet agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak melanggar syariat. 

Terakhir, sistem sanksi yang diberikan dalam negara yang menerapkan Islam tentunya tegas dan membuat efek jera. Kepada pelaku kriminal seperti pembunuhan contohnya maka hukuman yang dijatuhkan adalah hukum qisas dan tidak memandang usia selama dia sudah tergolong mukallaf maka hukum itu sudah berlaku baginya tentu dengan syarat-syarat menurut aturan fikih. Aturan Islam yang begitu sempurna ini akan melindungi generasi dari kerusakan serta mewujudkan peradaban yang mulia. Maka hanya dengan sistem Islamlah yang akan melindungi secara nyata.

Wallahualam bissawab. []