Kelaparan, Ironi Hidup di Bawah Kapitalisme

Daftar Isi

 


Realitas sosial sulit untuk dipoles, sebab berbagai masalah derivat bermunculan akibat kemiskinan ini

Laporan-laporan penurunan angka kemiskinan tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan


Penulis Kiki Zaskia, S. Pd 

Pemerhati Sosial


Siddiq-news.com, OPINI -- Seorang anak berusia 6 tahun telah viral di jagad tik tok, sebab kelaparan. Setelah ditelusuri anak tersebut bernama Gibran yang menangis dalam video tersebut. Diketahui, Gibran adalah warga Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor. (Dilansir, news.detik.com, 09/05/24)


Adapun wali Gibran bernama Hamzah yang berprofesi sebagai kuli bangunan. Penghasilannya setiap hari tidak menentu. Namun, dengan kekuatan sosial media kini, Gibran mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk mendapatkan atensi sosial.


Pasca viralnya Gibran dengan tangisan kelaparannya tentu sangat memprihatinkan sebab atensi sosial yang diberikan setelah viral. Semacam keadilan yang tidak bisa didapatkan kecuali diviralkan terlebih dahulu. 


Pada dasarnya, cukup sulit untuk mengatakan hal ini sebagai kasus, sebab kasus kelaparan ini telah banyak dialami oleh masyarakat di Indonesia yang berada di garis kemiskinan sehingga selaiknya ini menjadi sebuah permasalahan sistemik. 


Dalam sebuah laporan, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun 2023, terdapat sekitar 78 juta orang Indonesia rentan miskin. Bahkan, sekitar tiga kali lipat dari jumlah miskin saat ini. Adapun dalam data Bank Dunia, per 2022, penduduk miskin di Indonesia semestinya ada 44 juta orang. 


Di sisi lain, indikator kemiskinan kini yang berkiblat pada global, yaitu berdasarkan standar paritas daya beli di mana ketika negara berpendapatan menengah sekitar Rp47.502 dari standar Rp28.969. indikator ini tentu terlalu rendah. Sehingga sangat memungkinkan grafik kemiskinan menurun.


Namun, pada kenyataannya realitas sosial sulit untuk dipoles, sebab berbagai masalah derivat yang bermunculan akibat kemiskinan ini. Sehingga laporan-laporan penurunan angka kemiskinan tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Kasus stunting menjadi akibat dari fenomena kemiskinan kini. 


Tentu hal ini menjadi ironi dalam kehidupan kini. Seolah tak ada jalan keluar untuk pengentasan kemiskinan. Padahal, berbagai keran investasi telah dibuka besar-besaran oleh pemerintah atas nama membuka lapangan kerja namun apadaya tidak semua kalangan mampu untuk mengaksesnya. 


Ketidakmampuan untuk mengakses lapangan pekerjaan hal ini bukanlah semata sebab individu yang tak memiliki etos kerja hingga softskills. Namun, permasalahannya ada pada sistem pengaturan negara dengan tata kelola kapitalistik yang membelenggu masyarakat kecil. 


Hal ini sangat tampak dipelbagai aspek belenggunya. Baik aspek ekonomi, pendidikan hingga kebijakan politik. Keseluruhannya saling berkaitan satu sama lain.


Dalam aspek akses pendidikan yang sangat mahal padahal berperan penting dalam membangun sumber daya manusia yang mampu bermanfaat potensinya. 


Adapun dalam aspek politik, korupsi makin menggila. Misalnya saja korupsi tambang timah yang mencapai 271 triliun. Hal ini tentu sangat merugikan rakyat. Saat rakyat bertaruh nyawa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, kebijakan politik yang bercorak kapitalistik ini hanya menjadikan bantuan sosial sebagai alat politik untuk meraup suara rakyat.


Bahkan, janji-janji politik yang absurd seperti memberikan jatah makan siang gratis, alih-alih memberikan akses kebutuhan dasar yang paling penting, seperti, akses pendidikan terjangkau, kesehatan gratis, hingga kemandirian pangan negeri ini akan lebih membantu rakyat dalam membangun negeri ini lebih baik, tetapi justru makan siang gratis, yang kini sulit  untuk direalisasikan sebab pos-pos anggaran yang terbatas. 


Dengan demikian, kondisi kemiskinan kini sesungguhnya bentuk kegagalan negeri ini. Generasi silih berganti tetapi anak kecil yang menangis kelaparan selalu ada, sosok wali anak masih saja dalam kebingugan dalam memecahkan persoalan perut. Sebab, generasi silih berganti tak memilih alternatif jalan kembali dengan sistem Islam, malah bertahan dengan belenggu yang menyakitkan, Kapitalisme. 


Padahal, dalam Islam, di mana pengaturan kehidupannya sesuai dengan fitrah manusia ini sebab Allah Swt. yang telah memberikan petunjuk dengan Al-Qur’an dan SunnahNya telah berhasil memberikan pelayanan pada peradaban selama 14 abad. 


Dalam sebuah kegemilangan peradaban, seorang pemimpin Umar Bin Abdul Aziz tidak ada yang menjadi seorang muzakki (penerima zakat). Hal ini terjadi sebab salah satu kebijakan politiknya, yang menghidupkan tanah/menggarap tanah. Sehingga sejauh mata memandang terlihat hijau diberdayakan oleh rakyat. 


Serta tanggung jawab sosok Umar bin Khattab yang takut rakyatnya kelaparan. Sehingga ia berpatroli malam, bukan menunggu viral di masyarakat baru sampai di telinga beliau. 


Sosok-sosok pemimpin tersebut tidak akan pernah hadir dalam sistem kepemimpinan kapitalisme yang hanya menghadirkan pemimpin boneka. Pemimpin adil dan menjaga rakyatnya hanya bisa hadir dengan Khilafah Islamiyyah. 


Wallahu ‘alam bisshawab