Santer Perceraian di Kota Bandung Imbas Penerapan Kapitalisme

Daftar Isi

Kehidupan pernikahan yang sesuai fitrahnya tidak akan dapat ditempuh dalam kehidupan kapitalis sekuler

Maka, tidak heran sulit membentuk ketahanan keluarga dengan asas materialisme di era saat ini


Penulis Intan A

Pegiat Literasi


Siddiq-news.com, OPINI -- “Pernikahan bukanlah tentang menemukan seseorang untuk hidup bersamanya, tapi tentang menciptakan sebuah kehidupan yang indah bersama” (Anonim). 


Pernikahan sebagaimana penggalan kalimat di atas merupakan fase baru dalam hidup untuk meraih kebahagiaan. Meskipun dalam praktiknya akan menghadapi berbagai onak dan duri tapi komitmen yang disepakati bersama adalah modal dasar demi kelanggengan pernikahan. Namun, tak jarang mereka yang menyerah dalam pernikahan harus menempuh jalan yang pahit. Seperti dilansir dari berita Kota Bandung bahwa menurut Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), sepanjang tahun 2023 telah terjadi perceraian yang 76% pengajuannya dilakukan oleh pihak perempuan. Disebutkan bahwa penyebab yang dominan adalah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, lalu beberapa sebab lain seperti penelantaran pasangannya, masalah ekonomi, kdrt, hingga murtad (detik, 13/05/2024).


Persoalan dalam pernikahan sesungguhnya adalah hal yang alami. Tetapi, masalah yang datang silih berganti bukan hal sederhana jika gaya hidup masyarakat diwarnai dengan aturan yang serba jauh dari Islam. Penerapan kapitalisme sekuler, yaitu memisahkan agama dari kehidupan membuat masyarakat termasuk pasangan suami istri menuntaskan persoalan pernikahan dengan jalan yang jauh dari Islam. Malah banyak yang menimbang masalahnya dengan pertimbangan untung dan rugi saja. Tidak sedikit perempuan yang terpengaruh ide kesetaraan gender yang berakibat pada timpangnya peran suami dan istri dalam keluarga.


Pemikiran semacam itu dibentuk oleh persepsi kapitalisme yang mengukur kebahagiaan dari pemenuhan materi saja. Adapun, ide kesetaraan gender mendorong perempuan untuk keluar rumah sehingga ranah domestik kerap kali tidak ditangani dengan baik. Sehingga persoalan dalam pernikahan dapat dipicu oleh ragam ketidakpuasan yang berujung pada pertengkaran yang tak ada habisnya. Oleh sebab itu, rusaknya tatanan keluarga sesungguhnya karena penerapan kapitalisme yang membentuk persepsi masayarakat sebagaimana corak sistem rusak itu sendiri. Lingkungan hidup pun serba kapitalis dan sekuler termasuk pernikahan. Padahal, dalam pernikahan ada  komitmen kepada pasangan yang dilandaskan janji dihadapan Allah Swt. sebagai simpul kuat yang mestinya tak membuat seseorang mudah  menempuh jalan perpisahan.


Kehidupan pernikahan yang sesuai fitrahnya tidak akan dapat ditempuh dalam kehidupan kapitalis sekuler. Maka, tidak heran sulit membentuk ketahanan keluarga dengan asas materialisme di era saat ini. Selama pasangan tidak dapat menjalankan hak dan kewajiban sebagaimana yang ditetapkan Islam maka permasalahan seperti ini tidak akan kunjung usai. Allah Swt. berfirman,


Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (TQS. An-Nisa: 34)


Lelaki adalah al qawwam, pemimpin yang akan menjadi nakhoda dalam kapal pernikahan. Sepatutnya ia juga berbekal ilmu Islam dalam menjalani pernikahan sehingga mampu memahami dan memenuhi kewajibannya sebagai pemberi nafkah. Wanita pun perlu mengetahui perannya sebagai ummu wa rabbatul bait, di mana ia akan menjadi madrasah pertama anak-anaknya sehingga tidak perlu disibukkan dengan aktivitas mencari nafkah yang merupakan peran sang ayah. Hal itu akan didukung oleh penguasa dalam pemerintahan Islam yang berkewajiban menjamin tiga aspek utama kebutuhan masyarakat yakni jaminan pendidikan, kesehatan dan keamanan. Hal ini sesuai yang dicontohkan Nabi saw. yang bersabda,


Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari)


Demikianlah Islam mengakomodir kehidupan pernikahan yang distandarkan pada hukum syariah dengan asas yang sesuai fitrah manusia. Begitupun, dengan tujuan pernikahan bukan sekedar bahagia yang bersifat materialistik tapi kebahagiaan yang dengannya datang keridaan Allah Swt.. Namun, tentu hal itu takan terwujud dalam sistem kapiltalis sekuler yang cacat dan gagal. Semua hanya dapat terealisasi dalam sistem Islam yang diterapkan dalam segala aspeknya tanpa terkecuali.

Wallahualam bissawab. []