Tingginya Angka Pengangguran di Tengah Bonus Demografi

Daftar Isi

Liberalisasi ekonomi inilah yang menyebabkan sumber daya alam yang kita miliki dikuasai oleh para kapitalis

Anak bangsa yang seharusnya mendapatkan kesempatan untuk bekerja, harus memilih menganggur karena sulitnya mencari pekerjaan


Penulis Bunda Hanif

Pegiat Literasi 


Siddiq-news.com, OPINI -- Belum lama ini viral video yang memperlihatkan ratusan pelamar kerja di sebuah warung seblak di sebuah kompleks pertokoan di Pasar Sindangkasih, Ciamis. Video tersebut memperlihatkan kegiatan wawancara yang digelar oleh Warung Seblak Bangsat (Bang Satria) pada Jumat (17/5/2024). Warung seblak tersebut hanya membutuhkan 20 karyawan, tetapi yang melamar sampai 200 orang (Detik, 22/5/2024)


Video tersebut jelas “menampar” pemerintah karena menggambarkan secara riil betapa sulitnya mencari kerja saat ini. Bagi generasi muda atau Gen Z, mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah, jangankan pekerjaan “papan atas”, untuk bekerja di warung seblak saja sulit. 


Bisa kita bayangkan, dari 200 pelamar, hanya 20 yang diterima. Miris bukan? Lalu ke manakah yang 180 orang harus mencari kerja? Mereka harus memutar otak lagi untuk mencari pekerjaan. Setelah beberapa kali mereka harus mencari kerja ke sana kemari tanpa hasil, akhirnya Gen Z memilih menganggur saja. 


Padahal Indonesia dinobatkan sebagai negara yang memiliki bonus demografi terbanyak di dunia. Namun ternyata mendapat ancaman serius dengan fenomena maraknya pengangguran di kalangan Gen Z. 


Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa hampir 10 juta penduduk Indonesia generasi Z berusia 15-24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and training/NEET). (Kompas.com, 24/5/2024)


Anak muda yang paling banyak masuk dalam ketegori NEET justru tinggal di perkotaan yakni sebanyak 5,2 juta orang dan 4,6 juta di pedesaan. Menurut keterangan dari Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah pengangguran berusia muda tersebut tercatat baru lulus SMA sederajat dan perguruan tinggi.


Ida mengatakan angka pengangguran yang terbanyak berasal dari mereka yang sedang mencari pekerjaan usai lepas dari masa pendidikan. Namun, mereka tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Biasanya usia mereka yang baru lulus kuliah S1 sekitar 24 tahun dan yang baru lulus sekolah sekitar 18 tahun. Anak muda yang belum mendapatkan pekerjaan ini karena tidak cocok antara pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja. Hal ini terjadi pada lulusan SMA/SMK sebagai penyumbang angka tertinggi pengangguran pada usia muda. 


Banyaknya pemuda yang menganggur, sungguh sangat memprihatinkan. Padahal mereka sedang berada pada masa puncak produktivita. Pada masa inilah seharusnya mereka bisa mendayagunakan seluruh potensinya untuk memenuhi kebutuhan dirinya, membantu orang tua, dan lebih-lebih adalah untuk memberi manfaat kebaikan bagi umat. 


Sebagaimana firman Allah swt, “Allahlah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban.” (QS Ar-Rum: 54)


Sayangnya, potensi yang terdapat pada Gen Z tersebut seolah terbuang percuma. Mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja. Hal ini berdampak tidak hanya pada dirinya, tetapi juga pada para orang tua yang masih harus terus menanggung nafkah anak-anak mereka yang sebenarnya sudah dewasa dan bisa hidup mandiri. Tingginya angka pengangguran juga memicu maraknya kriminalitas. 


Namun, semua ini terjadi bukan semata-mata karena faktor diri Gen Z yang kurang tangguh sehingga mudah menyerah ketika mengalami penolakan demi penolakan saat melamar kerja. Faktor yang lebih dominan adalah kegagalan pemerintah dalam mencegah tingginya angka NEET. 


Kegagalan ini mewujud pada tiga hal, yakni pertama, gagalnya negara dalam menyiapkan para pemuda untuk menjadi sosok yang berkualitas melalui sistem pendidikan. Seharusnya sistem pendidikan mampu membentuk para pemuda menjadi orang yang memiliki keahlian tertentu untuk bekal hidupnya. Selain itu, sistem pendidikan seharusnya juga mampu membentuk mental para pemuda sehingga tidak mudah menyerah saat menghadapi tantangan dan hambatan.


Kedua, negara gagal menyediakan pendidikan tinggi yang terjangkau oleh septiap lapisan masyarakat. Tingginya UKT menyebabkan banyak pemuda gagal kuliah karena tidak mampu membayarnya. Padahal seharusnya memperoleh pendidikan adalah hak setiap rakyat. Namun nyatanya, saat ini hanya bisa didapat oleh segelintir orang. 


Ketiga, negara gagal menyediakan lapangan pekerjaan dalam jumlah besar. Selama ini pemerintah selalu membanggakan proyek strategis nasional (PSN) yang bernilai triliunan rupiah yang katanya mampu menyerap tenaga kerja, tetapi hasilnya ternyata minim. Begitu pun dengan pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) ternyata juga gagal menjamin tersedianya lapangan kerja yang cukup. 


Seharusnya bonus demograsi di negeri ini diiringi dengan terbukanya lapangan kerja dalam jumlah besar. Sayangnya, negara abai terhadap hal ini sehingga berdampak meningkatnya jumlah pengangguran usia produktif. Bonus demografi kini justru menjadi tragedi demografi. 


Inilah buah busuk dari penerapan sistem kapitalisme. Negara tidak turun tangan memberikan solusi bagi masalah rakyatnya. Fakta yang amat miris, negara “kalah” dengan warung seblak yang mampu membuka lapangan pekerjaan, meski sumber dayanya sangat minim. Padahal negara memiliki sumber daya alam yang jumlahnya sangat besar, tetapi tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang mencukupi. Semua ini dikarenakan negara hanya berfungsi sebagai regulator dan pengawas saja. Semua kekayaan alam seperti tambang, hutan, laut sungai dan lain-lain diserahkan kepada swasta atau asing untuk mengelolanya. 


Liberalisasi ekonomi inilah yang menyebabkan sumber daya alam yang kita miliki dikuasai oleh para kapitalis. Anak bangsa yang seharusnya mendapatkan kesempatan untuk bekerja, harus memilih menganggur karena sulitnya mencari pekerjaan. 


Kondisi yang amat jauh berbeda manakala Islam diterapkan. Sistem Islam menjalankan isi Al-Qur’an dan Sunah yang menempatkan kekayaan alam sebagai milik umum sehingga haram diswastanisasi. Negara wajib mengelolanya untuk kemaslahatan rakyat. 


Untuk mengelola kekayaan alam tersebut, negara melakukan industrialisasi untuk membuka lapangan pekerjaan dalam jumlah besar. Sumber daya manusia yang berkualitas akan dipenuhi melalui sistem pendidikan Islam yang menghasilkan output generasi yang berkepribadian Islam dan sekaligus memiliki kompetensi tertentu. 


Pendidikan dalam Islam bisa diakses siapa pun karena gratis. Mereka bahkan mendapat fasilitas berupa asrama, makan, minum, buku pelajaran, pakaian, alat tulis, layanan kesehatan dan transportasi. Generasi muda bisa memperoleh pendidikan setinggi-tingginya tanpa terkendala biaya. Mereka tidak dipusingkan dengan UKT, biaya kos, buku, transport, dan lain-lain. 


Generasi muda yang telah lulus pendidikan dasar (ibtidaiah, mutawasithah dan sanawiah) bisa memilih apakah mereka ingin bekerja sesuai kompetensinya atau melanjutkan ke perguruan tinggi. Dan negara menggratiskannya hingga level pendidikan tertinggi yaitu doctoral (S3). 


Inilah gambaran negara Khilafah yang menyejahterakan para pemuda. Pemuda masa Khilafah tidak ada yang menganggur. Mereka membaktikan segala potensinya untuk umat sehingga menghasilkan berbagai penemuan yang bermanfaat untuk umat. Peradaban ini pernah ada selama 13 abad lamanya dan menguasai hampir dua pertiga dunia. Peradaban Islam yang terdepan dan gemilang, hanya dapat dicapai dengan penerapan Islam dalam setiap sendi kehidupan. 

Wallahualam bissawab. []