Delusi Kesetaraan Gender melalui Kasus-Kasus KDRT

Daftar Isi


Siddiq-News.com - Pelaporan kasus KDRT makin marak terdengar melalui tayangan media baik media cetak maupun elektronik. Berita-berita terkait tindakan KDRT akhirnya memicu emosi masyarakat terhadap perbuatan laki-laki yang dianggap semena-mena terhadap anak dan istri.


Berita-berita semacam itu menjadi peluang para pegiat gender untuk mengaruskan opini-opini negatif terhadap laki-laki dan mendorong para perempuan yang dianggap kerap menjadi korban KDRT untuk menyuarakan kebebasan untuk perempuan. Padahal, isu kesetaran gender sampai hari ini belum menemui titik terang dalam menyelesaikan kasus-kasus KDRT.


Sejak kemunculannya di awal abad ke-19, feminis telah membawa masalah baru bagi perempuan. Makin banyak perempuan yang meninggalkan wilayah domestik mereka, meninggalkan keluarga, melupakan tanggung jawab sebagai manajer rumah tangga, dan pendidik bagi anak-anak mereka di rumah. Mike Buchanan dalam bukunya yang berjudul “Feminism, The Ugly Truth” menyatakan bahwa feminisme jauh dari pembelaan terhadap kepentingan perempuan, tetapi hanya membela kelompok elite tertentu saja. Inilah salah satu alasan masyarakat Amerika Serikat menjagal upaya ratifikasi CEDAW (Convention of All Forms of Discrimination Against Women). Sayangnya, Indonesia malah turut meratifikasi CEDAW sejak tahun 1984 dan RUU Kesetaraan Gender pada 3 September 2014. Inilah bukti bahwa Indonesia merupakan negara pembebek ideologi. 


Pandangan yang keliru terhadap kasus KDRT yang selalu dialamatkan pada lelaki sebagai pelaku, karena tindakan kekerasan kadangkala juga dialami oleh laki-laki sebagai korban. Sebagaimana dilansir dari BBC.com (20/12/2018), di Inggris diperkirakan satu dari enam laki-laki menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Namun jumlah yang mencari pertolongan sangat minim. 


Dikutip dari European Commission (2011), di Eropa, isu kesetaraan gender telah mengisi ruang-ruang publik sejak awal abad ke-20. Bahkan dikatakan betapa pada abad itu, Uni Eropa yang masih bernama EEC untuk pertama kalinya mengangkat isu kesetaraan gender dalam perjanjiannya, tepatnya pada tahun 1957. Isu yang diangkat adalah tentang kesetaraan gaji/upah bagi perempuan dan laki-laki. Kemudian, pada tahun 1970, EEC juga mulai menyebutkan tentang larangan diskriminasi perempuan dalam dunia kerja di segala sektor.


Sebuah pandangan yang keliru pula jika menganggap perjuangan terhadap kesetaraan gender adalah tindakan untuk keadilan. Seyogiayanya, kesetaraan tidak selamanya bermakna penyamarataan. Istilah gender pun tidak mengarah pada jenis kelamin biologis tertentu sehingga orang-orang yang memperjuangkan kesetaraan gender secara tidak sadar sedang memperjuangkan sebuah ideologi bernama feminisme.


Kesetaraan Gender, Ilusi Keadilan


Isu kesetaraan gender makin gencar dikampanyekan seiring merebaknya kasus-kasus KDRT. Hal ini merupakan keberhasilan dari perjuangan kaum feminis dan para pegiat gender yang lain untuk memalingkan perempuan dari kodratnya sebagai manajer rumah tangga. Parahnya, isu gender tidak hanya menyasar kaum ibu, tetapi hingga para wanita remaja yang masih duduk di bangku sekolah. Isu gender telah masuk hingga ke ranah pendidikan. 


Adanya pembelaan terhadap kasus-kasus kekerasan yang dialami kaum wanita semakin menumbuhkan keberanian bagi kaum wanita mencari keadilan melalui lembaga-lembaga pembela isu gender. Keberanian para wanita ini berangkat dari satu perasaan, yakni perasaan tertindas. Para wanita ini merasa memperjuangkan kebebasan mereka melalui isu gender akan memberikan hasil yang memuaskan. Padahal, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya keadilan dalam isu gender hanyalah sebuah ilusi kesejahteraan yang semu.


Tindak kekerasan maupun KDRT terjadi karena beberapa faktor seperti ekonomi, sosial dan politik. Dari sisi ekonomi, kepala keluarga dituntut memenuhi kebutuhan rumah tangga yang setiap harinya makin bertambah namun di sisi yang lain pendapatan ekonomi keluarga tidak memadai. Hal ini memicu adanya konflik rumah tangga yang akhirnya bisa berujung pada tindakan KDRT.


Secara sosial, lingkungan pertemanan tidak bisa dijadikan tempat berbagi, berlindung dan mengadu. Sifat apatis yang tumbuh dalam masyarakat hari ini membuat individu mudah merasa kesepian dan emosional hingga bisa menimbulkan ketersinggungan. Secara politik, setiap individu haus akan kekuasaan, fokus pada kepentingan pribadi dan kelompok tertentu hingga saling bersinggungan. Namun, perlu disadari pula jika berbagai faktor ini dipengaruhi oleh sistem yang mengatur jalannya pemerintahan. Sistem sekuler demokrasi yang diterapkan hari ini tentu adalah payung dari semua masalah sosial dan segala ketimpangannya. Sehingga, perlu sistem yang paripurna untuk mengatasi masalah KDRT, gender dan berbagai masalah sosial lainnya.


Islam Ideologi Sempurna


Mengulik permasalahan gender, tidak adil jika diselesaikan dengan satu perspektif hukum saja, hukum manusia sedangkan ada hukum tertinggi buatan Sang Pencipta, Allah Swt.. Islam hadir bukan semata sebagai sebuah agama spiritual, melainkan pula sebagai ideologi paripurna bagi seluruh umat manusia.


Secara biologis, Allah memang menciptakan manusia dengan jenis kelamin yang berbeda. Namun laki-laki dan perempuan di hadapan Allah memiliki kedudukan yang sama terkait ketakwaannya. Allah Swt. berfirman:


"Barangsiapa mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki atau perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak akan dianiaya walau sedikit pun," (QS. Annisa ayat 124) 


Dengan demikian, baik wanita maupun laki-laki masing-masing memiliki keistimewaan di hadapan Allah Swt.. Kemudian, Islam pun meletakkan wanita pada kedudukan yang baik sebagai pengurus rumah tangga sekaligus madrasah pertama dalam keluarga. Itu karena dari rahimnyalah dilahirkan generasi-generasi yang baik. Sehingga, Islam sangat membenci kekerasan terhadap perempuan.


Allah berfirman: "Para suami (adalah qawwamun) harus menjaga istri mereka dengan baik, dengan (karunia) yang telah Allah berikan kepada mereka (suami) bagian yang lebih atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (suami) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS. An-Nisa ayat 34)


Kekerasan seperti KDRT tidak akan terjadi apabila ada sikap saling menghargai antara suami dan istri secara khusus, atau laki-laki dan perempuan secara umum. Dengan demikian, alangkah baiknya jika dalam bermuamalah baik perempuan dan laki-laki sama-sama meyakini bahwa keduanya adalah subyek utama kehidupan. Jika ada perkara maka diputuskan secara bersama-sama. Sama-sama mempertimbangkan kondisi keduanya sehingga kemanusiaan laki-laki tidak menjadi keadilan atau kemashlahatan unggul bagi perempuan atau sebaliknya. Dengan demikian, dapat terjalin ukhuwah (persaudaraan) serta terwujudnya peradaban yang adil dan setara. Wallahu a'lam bi ash-shawwab.


Penulis : Zulhilda Nurwulan 

(Mahasiswa Pasca Sarjana UGM)