Kekerasan Seksual Mengintai Generasi Bangsa, Adakah Solusinya?

Daftar Isi


Siddiq-News.com - Anak adalah amanah sekaligus pelita bagi setiap orang tua. Kehadirannya memberikan warna dan kebahagiaan dalam sebuah keluarga. Sudah menjadi kewajiban setiap orang tua untuk menjaga tumbuh kembang dan memastikan keamanannya. Namun saat ini limpahan kasih sayang keluarga saja tidak mampu menjamin keamanan mereka, sebab para pelaku kejahatan terutama kekerasan seksual senantiasa mengintai anak-anak kita. Kejahatan bukan hanya terjadi kepada anak perempuan, anak laki-laki pun tidak luput dari incaran para predator. 


Diwartakan oleh kabar.jppn.com, (24/10/2022) bahwa di Kabupaten Bandung, seorang pria yang mengaku sebagai guru ngaji melakukan tindakan pencabulan terhadap tiga anak laki-laki dengan modus pengajian. Pelaku meyakinkan orang tua, agar para korban ikut mengaji yang berlangsung di rumahnya mulai dari pukul 17.00 hingga 05.00 WIB. Menurut polisi, sebelumnya tersangka juga pernah mengalami tindak kekerasan seksual ketika masih duduk di bangku SMP.


Dalam laman yang sama diungkapkan bahwa pihak kepolisian kini tengah bekerja sama dengan Komnas Perlindungan Anak untuk melakukan pendampingan kepada para korban, agar di kemudian hari mereka tidak menjadi pelaku. Selain itu, orang tua juga diharapkan dapat membangun komunikasi yang baik dengan anak-anak mereka, mengenal siapa gurunya, dan memberikan edukasi kepada anak bahwa ada bagian tubuh tertentu yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. 


Maraknya kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak sungguh sangat memprihatinkan. Dari waktu ke waktu bukannya berkurang, tetapi justru semakin bertambah. Sekolah atau bahkan tempat mengaji tidak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk menuntut ilmu, sebab pelaku pencabulan atau kekerasan seksual yang terjadi dilakukan oleh oknum guru atau orang terdekat yang dihormati. 


Salah satu faktor yang dianggap sebagai penyebab kejahatan ini terus terjadi adalah rendahnya sanksi yang diberikan kepada pelaku. Sejauh ini, pelaku hanya diberikan sanksi berupa ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun. Hanya saja, sering kali pelaku tidak dihukum secara maksimal dengan berbagai pertimbangan, salah satunya berkelakuan baik selama dalam tahanan dan mendapatkan remisi hari kemerdekaan dan hari raya setiap tahunnya. Maka tidak heran setelah menjalani 2/3 hukuman, pelaku dapat dibebaskan. Otomatis, pelaku menjalani masa tahanan yang sebentar tanpa ada efek jera apalagi menyesali perbuatannya, karena beberapa kasus yang terjadi dikabarkan pelakunya adalah residivis.


Kondisi seperti inilah yang memunculkan berbagai wacana pemberatan hukuman. Yang dianggap paling representatif adalah hukuman pengebirian, di selain hukuman penjara. Wacana yang diusung KPAI ini, mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan. Namun, tidak berarti wacana dapat berjalan dengan mulus. Beberapa pihak menyampaikan keberatan dengan berbagai alasan. Mulai dari HAM, efektivitas, hingga efek buruk yang dimungkinkan muncul dalam jangka panjang. Di sisi yang lain, pendampingan maupun konseling untuk menyembuhkan trauma para korban pun tidak maksimal, sehingga korban pelecehan dikhawatirkan dapat menjadi pelaku di kemudian hari. 


Latar belakang semakin marak berbagai kasus kekerasan seksual terhadap anak sejatinya adalah pemikiran liberal. Kebebasan berpendapat dan bertingkah laku yang kebablasan telah merasuki setiap sendi kehidupan masyarakat. Maka tidak heran jika seseorang yang mengaku sebagai ustaz dan guru ngaji pun mampu melakukan perbuatan keji dan tidak bermoral, yang bernaung dalam sebuah lembaga keagamaan seperti pesantren dan pengajian.


Satu-satunya hukum yang mampu memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan ini atau lainnya hanyalah hukum Islam. Hukum ini berasal dari Sang Khalik Al-Mudabbir, yakni Allah Swt. Hukum Islam mampu memberikan efek jera sekaligus penebus dosa bagi sang pelaku. Islam mengharuskan negara memberikan hukuman tegas kepada para penganiaya dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Pemerkosa anak dicambuk 100 kali jika belum menikah, dan dirajam apabila sudah menikah, sesuai dengan firman Allah Swt.:


"Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu berikan kepada Allah dan hari kemudian, dan dendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang berikan." (Q.S. an-Nuur : 2)


Sedangkan bagi pelaku sodomi  sanksinya adalah bunuh. Diriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:


“Barang siapa yang kalian dapati sedang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (sodomi), maka bunuhlah keduanya.” (HR. Ahmad)


Para sahabat Rasul juga telah berijmak menjatuhkan hukum qishash terhadap pelaku sodomi, hanya saja teknis hukumannya mereka berbeda pendapat. Selain hukuman di atas, apabila kekerasan seksual yang dilakukan melukai kemaluan anak kecil, dikenai 1/3 diyat atau 1/3 dari 100 ekor unta, atau sekitar 900 juta rupiah.  Jika pelaku melakukan sodomi sehingga merusak dubur anak, dikenakan 1 diyat, yakni 100 ekor unta atau sekitar 2.75 miliar rupiah. (Abdurrahman Al Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam,  1990, hal 233 dan 236).


Inilah hukum dalam Islam. Sebaik-baik aturan yang mampu menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Selain memberikan efek jera bagi pelaku juga menjadi pembelajaran bagi orang lain yang hendak melakukan tindak kejahatan, serta memberi rasa adil bagi korban. Maka, suatu keniscayaan hukuman ini terwujud di tengah umat jika negara yang ada adalah negara pelaksana syariat, yakni negara yang menerapkan aturan-aturan Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan.


Wallahu a'lam bi ash-shawwab.


Penulis : Arini Faaiza

(Ibu Rumah Tangga, Member AMK)