Optimalisasi Anggaran demi Kesejahteraan Masyarakat, Sudahkah?

Daftar Isi


SIDDIQ-NEWS.COM - Dalam setiap kegiatan, baik kegiatan kecil maupun besar dikenal istilah POACE (Planning, Organizing, Actuating, Controlling, Evaluating). Singkatnya bahwa suatu kegiatan atau aktivitas apa pun akan berjalan lancar dan sesuai target jika melalui perencanaan yang matang, pemberian dan pembagian tugas yang jelas, dikerjakan dengan sungguh-sungguh, selalu diawasi agar sesuai arah dan kebutuhan. Senantiasa dievaluasi agar aktivitas tersebut bertambah baik di kemudian hari.


Terlebih, ketika berbicara persoalan dan kebutuhan masyarakat suatu negeri. Merupakan hal besar yang dilakukan para "pengurus", tepatnya penguasa negara/pemerintah untuk dapat mengidentifikasi segala kebutuhan masyarakat dengan saksama juga menyiapkan berbagai sumber daya untuk menjamin pemenuhan kebutuhannya. Baik dari sisi sarana/prasarana, sumber daya manusia terutama sumber dana.

 

Jika pada perjalanannya, terdapat ketimpangan antara sarana-sarana yang belum memadai, juga kebutuhan masyarakat belum terpenuhi bahkan tak tersentuh subsidi, sementara anggaran masih tersedia karena serapan dana belum optimal, maka hal ini perlu dikoreksi dan dievaluasi.


Seperti yang diungkapkan oleh Kementerian Keuangan, dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani, dikutip dari databoks.katadata.co.i (21/10/2022). Ia melaporkan realisasi belanja negara baru mencapai sekitar 61,6% setara dengan Rp1.913,9 triliun per akhir September 2022 dari total anggaran sebesar Rp3.106,4 triliun. “Kita sudah membelanjakan 61,6% dari total APBN berdasarkan Perpres No.8/2022. Dari sisi ini belanja negara senilai Rp1.913,8 triliun sebagai shock absorber untuk menghadapi guncangan ekonomi global, untuk melindungi masyarakat dan perekonomian kita,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita.

 

Menurutnya, data laporan realisasi penggunaan APBN ini, dianggap menunjukkan kinerja pemerintah yang cukup baik. Berdasarkan fakta di atas, ada beberapa hal yang perlu dicermati, karena keberadaan sisa anggaran di tengah-tengah kondisi masyarakat yang masih serba kekurangan saat ini justru merupakan sebuah ironi. Lalu jika ternyata anggaran memang masih tersedia, mengapa pemerintah sering menyatakan defisit dana? Sementara hal tersebut menyebabkan banyak subsidi di berbagai bidang untuk masyarakat dikurangi bahkan dicabut? Bisa jadi, ini dikarenakan belum optimalnya pemetaan dan distribusi anggaran bagi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Dimana kemungkinan besar disebabkan ketidakjelasan arah pembangunan. 


Hal ini bisa kita lihat dari fakta-fakta sekitar. Kebutuhan masyarakat terkait pemenuhan hidup yang bersifat primer begitu besar, sementara kemampuan akan pemenuhan tersebut tak bisa dijangkau oleh semua kalangan. Tingkat pengangguran yang meningkat selaras dengan kemiskinan di setiap tahunnya. Gizi buruk menjadi salah satu efek turunannya. Ditambah dengan akses kesehatan yang sangat sulit karena biaya mahal tak terjangkau. Serta regulasi birokrasi yang menyulitkan terutama bagi kebanyakan masyarakat berpenghasilan sangat rendah. 


Di sektor pendidikan, berapa banyak generasi kita yang harus rela putus sekolah bahkan tak pernah merasakan indahnya mengenyam pendidikan karena ketiadaan biaya dan tidak ada jaminan dari negara. Jika pun ada yang mampu bersekolah, dapat dipastikan tak semua mendapat penghidupan yang layak. Itu dikarenakan sulitnya lapangan pekerjaan untuk mengamalkan ilmunya. Atau juga disebabkan minimnya penghasilan karena selepas sekolah, kebanyakan berakhir menjadi buruh pabrik dan korporasi.


Di balik semua keterbelakangan masyarakat yang membutuhkan perhatian, justru pemerintah menggelontorkan dana besar-besaran bagi pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, MRT,  bandara, bahkan tempat-tempat pariwisata. Dimana hal itu tidak mungkin bisa dimanfaatkan oleh masyarakat umum yang rata-rata berpenghasilan menengah ke bawah. Lalu untuk siapa fasilitas-fasilias tersebut? Tak salah kiranya jika dikatakan bahwa negeri ini terlampau berani mengambil risiko. Di saat membangun infrastruktur tanpa diimbangi pemberdayaan dan pembangunan sumber daya manusia yang mumpuni untuk mengatur dan melanjutkan pembangunan. 


Adapun Islam sebagai agama yang paripurna, sejak 14 abad yang lalu, senantiasa memberikan teladan dalam pengurusan kehidupan melalui wasilah Nabi Muhammad saw., para sahabat dan khalifah-khalifah setelahnya.


Pembangunan peradaban suatu bangsa akan tercapai dan mendapatkan kegemilangan jika sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA), serta sumber-sumber daya penunjang lainnya dibina dan dikembangkan secara seimbang. Melalui perencanaan yang matang, kemudian dilaksanakan oleh para penguasa yang kapabel dan amanah dengan birokrasi yang cepat dan mudah. Serta ditunjang oleh sistem audit dan pengontrolan yang ketat.

 

Pembangunan SDM tentunya menjadi prioritas pertama. Dalam Islam pembangunan SDM berkualitas dimulai dari pemenuhan segala kebutuhan primer seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Sebab dalam Islam, penguasa adalah ra’in (pengurus). Dalam salah satu sabda Rasulullah saw. bahwasannya penguasa laksana pengembala (raa’in) (HR. Al-Bukhari dan Muslim). 


Dalam hal ini, seorang penguasa akan dimintai pertanggunjawaban atas pengurusannya terhadap masyarakat. Perencanaan anggaran akan dialokasikan dengan tepat sesuai kebutuhan masyarakat. Dan benar-benar dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan primer masyarakat. Setelah kebutuhan primer tercukupi, masyarakat pun akan difasilitasi untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Sehingga tidak ada anggaran yang mengendap, sementara kebutuhan masyarakat belum tercukupi. Dengan begitu masyarakat akan mudah diarahkan untuk pembangunan SDA dan infrastruktur selanjutnya.


Betapa hal ini sudah pernah tergambarkan di berbagai masa kejayaan Islam. Munculnya para ilmwuan-ilmuwan muslim yang memberikan sumbangsih bagi kemajuan ilmu pengetahuan, bidang kesehatan dan teknologi terutama di masa pemerintahan Abassiyah. Hal itu tak lepas dari peran penguasa dan negara dalam mengurus masyarakat hingga tingkat kemakmuran dan kesejahteraan hidup di berbagai bidang maju pesat. Jika pun pernah terjadi surplus dana Baitul Mal di masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziiz, hal itu bukan karena belum optimalnya penyerapan dana bagi umat, tetapi justru karena serba kecukupan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, menyebabkan negara kesulitan mencari warga negara yang mau menerima bantuan.(Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa: 2017)


Islam memberikan tuntunan bagi para penguasa untuk berhati-hati dalam mengalokasikan dana anggaran yang merupakan hak masyarakat. Tidak dibenarkan untuk menahan bahkan mempersulit kebutuhan-kebutuhan masyarakat dengan asumsi ketiadaan dana karena hal itu merupakan bentuk kezaliman di hadapan Allah Swt.


Sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya: “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada sesama manusia dan melampaui batas di bumi tanpa mengindahkan kebenaran. Mereka itu mendapatkan siksa yang pedih.” (QS. Asy-Syura: 42)


Juga sabda Rasulullah saw.: “Siapa pun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka.” (HR. Ahmad)


Maka dengan Islam-lah sesungguhnya kehidupan masyarakat akan benar-benar terjamin. Itu karena keamanahan penguasa dalam mengelola anggaran didasarkan pada keimanan yang membuatnya optimal dalam mengalokasikan dana sesuai kebutuhan. Serta di bawah naungan sistem politik Islam yang memudahkannya untuk mengembangkan anggaran bagi pembangunan berkelanjutan di segala lini kehidupan.


Wallahualam bishawab.


Penulis : Hani Iskandar

(Pemerhati Umat)