Proyek Ambisius, Kedaulatan Negara Tergerus

Daftar Isi


Siddiq-news.com--Proyek pembangunan kereta cepat Jakarta Bandung saat ini menjadi sorotan publik. Pasalnya proyek ini terancam mandek karena persoalan pembengkakan dana atau cost overrun. Bahkan  Indonesia diminta untuk ikut menanggung dana, padahal sebelumnya sudah banyak persoalan yang melilit proyek ini. Namun proyek tetap dijalankan, karena merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN).


Dikutip dari cnbcindonesia.com, Didiek Hartantyo Dirut PT KAI (persero) menyatakan bahwa, jika terdapat ketidakpastian dalam pendanaan cost overrun, akan berpengaruh pada kondisi cash flow para kontraktor untuk dapat menyelesaikan proyek pada Juni 2023. Akibatnya dapat memperlambat kembali proses penyelesaian pembangunan  bahkan hingga terhenti.


Didiek pun menjelaskan bahwa, adanya keterbatasan keuangan dari sponsor Indonesia maka dicapai kesepakatan dengan pihak China National Development and Reform Commission (NDCR) agar struktur pendanaan cost overrun dilakukan dengan skema 25% dari ekuitas, dalam hal ini Indonesia-China, 75% dari pinjaman.


Sementara, porsi Indonesia dalam ekuitas sebesar 60% senilai Rp3,2 triliun. Ini  diusulkan bersumber dari PMN (Penyertaan Modal Negara). Sedangkan 40% dari ekuitas China sebesar Rp2,14 triliun. Sisa dari pembekakan biaya akan diupayakan dari pinjaman yang berasal dari China Development Bank (CDB). (cnbcindonesia.com, 17/11/2022)


Selain pembengkakan dana, proyek pembangunan kereta cepat ini telah mengalami berbagai kendala dari sebelumnya. Di antaranya alokasi anggaran yang semula tidak akan menggunakan anggaran APBN, tetapi karena tidak ada investor yang mau menggelontorkan dana, akhirnya ditanggung APBN. Meski mengalami berbagai masalah, tetapi proyek ini tetap dijalankan. Sebab sudah telanjur, jika mundur atau terhenti akan mengalami kerugian. Namun meski tetap berjalan belum tentu mendapat manfaat sesuai harapan.


Permasalahan proyek pembangunan infrastruktur ini, disebabkan berbagai faktor, di antaranya karena sumber pendanaannya diperoleh dari pihak swasta serta pinjaman asing. Selain menghadapi berbagai kendala, sejatinya hal ini pun akan berpotensi mengancam kedaulatan negara terkait kepemilikannya. Sebab pembangunan infrastruktur yang melibatkan swasta dengan skema investasi dan utang bunga, akan menyertakan berbagai syarat yang mengikat. Hal inilah yang mengancam kedaulatan negeri.


Kapitalisme Akar Penyebab Persoalan yang Terjadi


Masalah yang dihadapi dalam pembangunan proyek kereta cepat ini hanyalah bagian dari sejumlah persoalan yang dihadapi negeri ini. Hal tersebut sebagai akibat dari penerapan sistem Kapitalisme di negeri-negeri kaum muslimin termasuk Indonesia. 


Dalam konsep Kapitalisme, swasta diberi ruang yang lebar untuk menjadi penguasa dan pengendali kepentingan publik salah satunya dalam pembangunan infrastruktur. Sehingga pembangunan tidak 100% di bawah kendali negara, melainkan pihak swasta. padahal bila kepemilikian aset strategis  dikuasai asing akan membahayakan kedaulatan negara. Buktinya seperti Bandara Kertajati dan Kualanamu yang terhalang manfaatnya karena berbagai persoalan yang menjerat proyek tersebut.


Dengan skema investasi yang diberikan pada pihak swasta dapat menjadikan celah bagi mereka untuk mencengkeram negeri muslim. Mereka dapat menempatkan agen-agennya menjadi penguasa di negeri kaum muslimin. Selain itu proyek infrastruktur dalam Kapitalisme lebih berorientasi bisnis demi mendapatkan profit, bukan pada pelayanan publik. Oleh sebab itu rakyat  kebanyakan tidak dapat menikmati layanan infrastruktur dengan murah, mudah bahkan nyaman sebab harus berbayar. Tentu yang dapat menikmati hanya masyarakat menengah ke atas yang memiliki banyak uang. 


Selain itu, Infrastruktur dalam Kapitalisme dijadikan sebagai ladang komersil. Sehingga keberadaannya bisa diperjualbelikan pada swasta. Hal ini berbeda dengan pembangunan infrastruktur dalam Islam.


Pembangunan Infrastruktur dalam Pandangan Islam 


Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki seperangkat aturan yang komprehensif yang mengatur urusan manusia dalam segala aspek kehidupan secara mendetail. Begitu pula halnya dalam pengaturan pembangunan fasilitas umum (infrastruktur) bagi kemaslahatan masyarakat.


Dalam konsep aturan Islam, pembangunan infrastruktur merupakan tanggung jawab negara sebagai bentuk pelayanan negara kepada masyarakat. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.: “Imam (Khalifah) adalah raa’in, (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)


Dengan demikian, pembangunan fasilitas umum ditujukan untuk melayani kepentingan publik dan mempermudah akses masyarakat. Sehingga semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkan fasilitas yang ada untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup. 


Bukti penerapan pembangunan infrastruktur dalam konsep Islam telah dicontohkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Proyek yang terkenal ialah penggalian teluk yang menghubungkan Madinah dan Mesir agar bantuan dari Mesir sampai ke Madinah dengan cepat dan mudah. Khalifah Umar ra. meminta ‘Amr bin ‘Ash ra. memperbaiki Laut Qalzum (Laut Merah) pada saat itu sehingga harga makanan di Madinah sama dengan harganya di Mesir.


Adapun terkait pendanaan, maka dalam konsep aturan Islam infrastruktur yang masuk pada kepemilikan umum harus dikelola oleh negara. Dana akan ditanggung Baitulmal yang berasal dari pos pengelolaan kepemilikan umum dan negara. Tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaan infrastruktur tersebut. Jika sampai ada pungutan, hasilnya harus dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk yang lain. Misalnya pelayanan pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. 


Sementara dari aspek jangka waktu pengadaannya, maka pembangunan infrastruktur dalam Islam terbagi menjadi dua jenis. Pertama, infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dan menundanya akan menimbulkan bahaya bagi rakyat. Misalnya, dalam satu wilayah tertentu belum memiliki jalan umum, sekolah, Pusat Kesehatan Masyarakat, dan saluran air minum. 


Maka dalam kondisi ini, negara wajib membangunnya tanpa memperhatikan ada dana atau tidak. Jika dana dari Baitulmal cukup, wajib dibiayai dari dana tersebut. Namun jika dana tidak mencukupi, maka negara dapat mengambil wakaf, atau boleh memungut dharibah (pajak) dari masyarakat  yang kaya saja.


Kedua, infrastruktur yang dibutuhkan, tetapi tidak terlalu mendesak dan masih dapat ditunda pembangunannya. Misalnya, jalan alternatif, perluasan masjid, gedung sekolah tambahan, dan sebagainya. Sehingga negara tidak boleh membangun infrastruktur jenis ini dalam kondisi dana di Baitumal tidak mencukupi. 


Terkait hal tersebut, pembangunan proyek kereta cepat sejatinya termasuk infrastruktur yang tidak mendesak. Apalagi jika pembiayaannya bersumber dari utang, negara tidak boleh mengambilnya sebagai kebijakan. Sebab utang, terlebih yang berbasis riba, selain hukumnya haram, juga mengancam kedaulatan dan kemandirian negara.


Dengan demikian visi pembangunan infrastruktur dalam Islam ialah mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, memberi pelayanan terbaik demi kemaslahatan umat, sepenuh hati, serta menjaga kedaulatan negara. Semua hal tersebut hanya akan dirasakan saat sistem aturan Islam diterapkan secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan.

Wallahualam bissawab.


Penulis: Ummi Nissa

Penulis dan Member Muslimah Komunitas Rindu Surga