Apakah Pengesahan Revisi KUHP Standar Ganda Demokrasi?

Daftar Isi

Penulis : Hani Iskandar
(Ibu Pemerhati Umat)

Sukabumi--siddiq-news.com-- Jika dahulu aspirasi rakyat ditampung dan diapresiasi atas nama kebebasan berekspresi dalam bingkai demokrasi, saat ini justru sebaliknya demokrasi dijadikan alat membatasi dan menyeleksi aspirasi. Kabarnya, pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tinggal menunggu waktu. 

Media Tirto Id (28/11/2022) melansir bahwa sejak awal pengajuan pengesahannya RKUHP ini sudah banyak menimbulkan kontroversi, misalnya dari fraksi PKS. Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Achmad Dimyati Natakusumah menyatakan bahwa mereka tidak sepakat mengesahkan RKUHP ini, karena ada sejumlah pasal yang dinilai bertentangan dengan aturan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Salah satunya terkait rumusan delik-delik penghinaan terhadap presiden dan lembaga-lembaga negara, yang hal itu dirasa kental dengan semangat feodalisme dan kolonialisme. Selain itu juga banyak pasal-pasal bermasalah yang harus diperbaiki sebelum pengesahan. Seperti larangan berdemo tanpa pemberitahuan, serta pasal-pasal lainnya yang anti demokrasi.

Gagasan RKUHP ini sudah ada sejak sejak puluhan tahun silam, tepatnya di tahun 1963. Di periode tahun 2014–2019 kepemimpinan Presiden Jokowi, RKUHP ini dibahas kembali untuk direvisi, tetapi hingga saat ini masih belum juga rampung.

Mengutip dari Kemenkumham, RKUHP merupakan upaya pemerintah untuk menyusun rekodifikasi hukum pidana nasional. Revisi KUHP warisan Belanda yang selama ini digunakan Indonesia, kemudian terus dimodifikasi dan direvisi sesuai dengan kebutuhan  perkembangan zaman yang semakin modern hingga saat ini. Namun pada prosesnya, sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa RKUHP ini menuai banyak pro kontra terkait pasal-pasal yang berpotensi menjadi pasal karet dan multitafsir, bukan hanya itu pengesahan RKUHP dinilai terlalu terburu-buru oleh sebagian besar pihak. Itu karena masih banyak pasal yang harus diperbaiki. Dimana hal ini memunculkan semakin banyak pertanyaan di masyarakat terkait apa sebenarnya tujuan pemerintah dalam mengesahkan RKUHP ini.

Dikutip dari media Benar News (01/12/2022), bahwa salah seorang pengamat yang juga merupakan anggota Dewan Pers, Arif Zulkifli mengatakan, “Beberapa pasal di RUU membatasi pendapat dari masyarakat, kalau sampai disahkan maka berpotensi terjadinya pemberangusan terhadap kebebasan pers."

Jika kebebasan pers dikebiri maka yang terjadi adalah menurunnya kontrol sosial di tengah-tengah masyarakat, para jurnalis tak akan leluasa menjalankan fungsinya, korupsi, berbagai kekerasan hingga tindakan represif pemerintah dan aparat tindak akan terungkap ke publik. Bahkan adanya narasi bahwa terdapat denda dan ancaman pidana bagi pelaku demonstrasi tanpa pemberitahuan pendemo sangat tidak adil dan merugikan masyarakat. 

Kebebasan berpendapat merupakan salah satu yang dijunjung oleh negara penganut demokrasi karena mengeklaim suara rakyat adalah suara yang mampu mendominasi dan memiliki kekuatan memengaruhi jalannya roda kehidupan negara. Namun kondisi saat ini menunjukkan hal sebaliknya. Paradoks demokrasi, awalnya menjunjung kebebasan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi justru berbalik menjadi senjata yang mengancam kebebasan yang diarahkan penguasa terhadap rakyatnya sendiri. Di sini sungguh terlihat standar ganda demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Demokrasi seolah hanya mengakui kebebasan para penguasa yang merevisi hukum, tetapi tidak mengindahkan hak masyarakat umum untuk turut memberi kritik dan saran yang membangun. 

Dalam Islam, berpendapat adalah suatu aktivitas yang diperbolehkan. Namun perlu disadari bahwa menyampaikan pendapat dalam Islam bukan semata-mata disandarkan pada kebebasan yang sebebas-bebasnya sesuai keinginan hawa nafsu manusia, tetapi didasarkan pada keimanan terhadap perintah Sang Pencipta dan pengatur manusia yakni Allah Swt.. Bahkan menyampaikan pendapat bukan saja boleh, tetapi termasuk aktivitas yang diwajibkan, terlebih ketika menyampaikan kebenaran dan mencegah kemungkaran.

Sebagaimana dalam firman Allah Swt. yang artinya, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Dan Islam secara tegas menyuruh kita untuk diam jika tidak mampu berpendapat yang baik atau menyampaikan kemaksiatan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang artinya, “Berkatalah yang baik atau diam.” (HR. Muslim No. 222) 

Inilah yang menjadikan standar boleh tidaknya menyampaikan pendapat dalam Islam, yang mana standar ini bersifat tetap karena bersumber dari Allah Swt.. Tidak seperti halnya standar yang ada dalam demokrasi saat ini, yang bisa diubah dan diotak-atik sesuai kepentingan hawa nafsu, sehingga menjadikan masalah baru bagi urusan manusia ke depannya. Sungguh tidak ada aturan yang sempurna melainkan aturan Islam saja. Wallahualam bissawab.