Berpesta Pora di Tengah Berbagai Musibah, Kemana Hati Nurani?

Daftar Isi


siddiq-news.com - Pernikahan anak  orang nomor satu di negeri ini telah selesai dilaksanakan. Acara yang digelar terbilang sangatlah mewah dan melibatkan orang-orang terdekat istana. Di antaranya para menteri yang ada di Kabinet Indonesia Maju serta pejabat lainnya.


Di samping itu ribuan personil TNI dan Polri yang tersebar di kota Solo dan Yogyakarta diterjunkan untuk pengamanan acara. Sebagaimana dikutip dari media Okezone (10/12/2022), bahwa Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) Marsdya TNI Andrawan Martono mengungkapkan ada sekitar 10.800 personil yang ditugaskan untuk melakukan pengamanan acara, termasuk 11 ekor anjing pelacak jenis Belgian Malitnoise dan Golden Retriever ikut dilibatkan. 


Sebuah pesta pernikahan boleh-boleh saja digelar, dengan tujuan agar diketahui oleh  masyarakat umum bahwa pasangan tersebut sudah resmi menjadi suami istri. Namun itu menjadi hal yang kurang tepat ketika digelar dengan sangat mewah di tengah penderitaan rakyat. Terlebih dalam pelaksanaannya banyak memakai fasilitas negara. 


Seperti kita ketahui bersama bahwa masyarakat banyak yang lagi terkena musibah. Di antaranya gempa Cianjur yang sampai saat ini belum tertangani secara tuntas, peningkatan kasus stunting yang makin tinggi, PHK massal terjadi di sejumlah perusahaan, ditambah dengan adanya resesi membuat ekonomi rakyat semakin sulit.


Seorang penguasa seharusnya mempunyai kepekaan dan empati yang tinggi terhadap rakyatnya apalagi dalam kondisi seperti saat ini. Bencana alam yang menimpa rakyat di beberapa daerah membutuhkan penanganan tuntas dan optimal, sehingga rakyat merasakan perhatian serta tanggung jawab penguasa terhadap mereka. Tanggung jawab dan empati ini bisa dibuktikan salah satunya dengan tidak berpesta pora atau menggunakan fasilitas negara berikut pengamanannya. Ketika hal ini terjadi, maka perlu dipertanyakan kemana perginya hati nurani?  


Berbahagia di atas penderitaan  rakyat bukanlah sikap seorang negarawan dan pemimpin sejati. Apalagi kebahagiaan tersebut diperoleh dari merampas hak rakyat, karena bagaimana pun fasilitas negara dibiayai oleh rakyat, para pejabat juga digaji dengan uang rakyat, bahkan kekayaan alam yang banyak dikelola asing pun masuk ke kantong negara dan pejabatnya. Padahal seharusnya dikembalikan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan publik sebagaimana UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3. 


Mungkin inilah buah diadopsinya paham ideologi kapitalis sekuler oleh negara. Paham yang mampu mengikis rasa empati pada diri seseorang karena kecenderungan meraih kesenangan secara materi tanpa melibatkan aturan agama di dalamnya. Padahal agama berfungsi untuk menjaga sifat-sifat kebaikan dan rasa empati pada sosok pemimpin terhadap rakyatnya.


Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Dimana seorang pemimpin dipilih berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta kredibilitas yang tinggi. Sehingga mempunyai kesadaran bahwa amanah kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Maka dari itu semaksimal mungkin akan menjalankan tugasnya sebagai pengurus rakyat. Sebagaimana hadis Nabi saw.,


"Imam/pemimpin adalah raa'in (pengembala/pengurus) rakyatnya, dan dia bertanggung jawab atas kepengurusannya (rakyat)." (HR. Bukhari)


Karena tanggung jawab tersebut maka terbentuk sosok pemimpin yang memiliki rasa takut menelantarkan rakyatnya, sehingga dengan sendirinya kepekaan dan empati muncul di benak-benak para pemimpin. Selain itu syariat Islam yang digunakan sebagai dasar dan panduan aktivitasnya, menjadikannya bukan sekedar sebagai raa'in (pengurus) tetapi juga junnah (pelindung) rakyatnya.


Dengan kesadaran itu maka lahirlah sifat wara (berhati-hati) dalam menggunakan fasilitas negara. Jika bukan untuk kepentingan negara dan kaum muslimin, penguasa dan para pejabat pemerintah tidak akan pernah memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi walaupun hanya sedikit atau alasan pengamanan.


Hal tersebut tergambar dari kisah Khalifah Umar bin Abdul Azis. Ketika beliau sedang menuntaskan pekerjaannya sampai larut malam, tiba-tiba putranya datang menemui. Kemudian beliau bertanya apakah yang akan dibicarakannya urusan keluarga atau negara? Sang anak menjawab keluarga, maka beliau mematikan lampu yang menerangi ruangan dan mengganti dengan lampu milik pribadinya.


Penguasa dalam negara Islam mempunyai empati dan kasih sayang yang tinggi terhadap rakyatnya, hingga tidaklah mungkin mereka bersenang-senang jika rakyatnya sedang dalam kesulitan. Itu juga yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab, ketika menghadapi bencana kekeringan hingga paceklik. Ketika beliau naik mimbar untuk berpidato, disertai perutnya yang sangat lapar, lantas beliau berbicara, "Hai perut, walau engkau terus-menerus meronta-ronta saya tetap tidak akan menyumpalmu dengan daging dan mentega sampai umat Muhamad merasa kenyang." 


Itulah beberapa contoh para pemimpin dalam Islam.  Rasa empati  dan kehati-hatian terhadap fasilitas negara menjadikan mereka sosok pemimpin yang dicintai rakyatnya. Sehingga tidak heran bila  Islam bisa berdiri tegak berabad-abad lamanya. 


Sosok pemimpin demikian hanya bisa lahir dari sistem Islam. Dimana syariat bisa diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Maka dari itu dibutuhkan kesungguhan dari seluruh umat untuk memperjuangkannya. Agar janji Allah atas kemenangan agama-Nya segera terwujud.


Waallahu a'lam bi ash-shawwab.


Penulis : Suryani

(Pegiat Literasi)