Bersukacita di Tengah Bencana, Matinya Nurani Kian Nyata
Shidiqnews.com--Gempa bumi, banjir, tanah longsor, erupsi gunung berapi seolah datang silih berganti.
Beberapa waktu lalu gempa bumi melanda Cianjur, Jawa Barat sehingga menyebabkan warga harus tinggal di pengungsian.
Namun miris di tengah duka yang menyelimuti warga Cianjur, publik justru disuguhkan dengan pemandangan yang kurang elok.
Dilansir dari CNNIndonesia pada (27/11), Relawan Jokowi menggelar acara yang bertajuk Nusantara Bersatu, pada Sabtu 26 November lalu.
Acara tersebut dihadiri langsung oleh Presiden Jokowi. Dalam kesempatan itu sang petahana membeberkan sejumlah pencapaiannya selama memerintah terutama di bidang infrastruktur. Bahkan, ia juga menjabarkan sejumlah catatan yang dianggap penting untuk dicermati oleh relawan terkait sosok dan kriteria calon presiden 2024. Ternyata acara ini menyisakan sampah berserakan hingga mengotori Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta.
Sontak saja, momen tersebut menjadi sorotan dan viral di media sosial. Sayangnya, bukan tentang konten acaranya melainkan kondisi sampah yang menumpuk pasca acara.
Dikutip dari CNNIndonesia pada (27/11), Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta sampai harus mengerahkan 500 personil pasukan oranye untuk membersihkan dan mengangkat sampah. Mereka berhasil mengumpulkan sampah seberat 31 ton dari berbagai jenis.
Sungguh miris. Saat suasana duka masih begitu kental, penguasa justru mengadakan pertemuan akbar demi eskalasi politiknya. Padahal, pertemuan itu jelas menghabiskan biaya besar. Apalagi di tengah kondisi politik menjelang pemilu 2024, pertemuan dengan relawan tentu rawan ditunggangi kepentingan pribadi dalam hal jabatan dan kekuasaan. Terlebih, dugaan adanya penipuan kegiatan makin menguatkan hal tersebut.
Meskipun pada dasarnya menolong orang-orang yang terkena musibah adalah kewajiban dan tanggung jawab bersama. Namun demikian, yang paling bertanggungjawab adalah pemerintah. Sebabnya, pemerintah yang diamanahi untuk mengurus segala urusan rakyatnya, termasuk saat rakyat ditimpa musibah. Karena itu pemerintah wajib melakukan ikhtiar terbaik dalam mengatasi rentetan dampak yang dirasakan warga akibat musibah gempa ini.
Pemerintah harus memastikan dan menjamin setiap warga negara yang terdampak musibah terpenuhi segala kebutuhannya. Terutama makanan, akses terhadap air, layanan kesehatan dan obat-obatan. Berapa pun biaya yang diperlukan harus disediakan dan dikeluarkan oleh pemerintah. Realokasi anggaran, penggunaan sisa anggaran lebih dan sisa lebih penggunaan anggaran, termasuk opsi yang bisa dilakukan.
Kuncinya adalah kepedulian dan kemauan pemerintah untuk bertanggungjawab penuh mengatasi semua persoalan akibat musibah yang terjadi. Selain itu, sudah seharusnya pemerintah lebih serius dalam melakukan antisipasi ikhtiar optimal jika sewaktu-waktu berbagai musibah (bencana) kembali datang. Sebab, hal ini merupakan bagian dari amanah kekuasaan. Kelak di akhirat amanah kekuasaan ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Namun harus bagaimana lagi jika harapan tidak seindah kenyataan, karena sudah menjadi tabiat penguasa dalam sistem kapitalisme, yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dibanding urusan rakyatnya. Tabiat ini menjadi wajar karena paham kapitalisme membuat penguasa hanya melihat untung rugi sebagai orientasi kebijakannya. Penguasa akan melihat mana peluang yang besar untuk menaikkan pamor kepemimpinannya. Sehingga, berbagai cara dilakukan mulai dari pencitraan,mengunjungi korban bencana demi formalitas, atau mengumpulkan massa dengan klaim bahwa itu relawan.
Bagi penguasa yang menerapkan sistem kapitalisme hal itu jelas lebih penting daripada mengurus korban bencana secara mutlak. Karena, politik demokrasi yang menjaga eksistensi kapitalisme mengharuskan seorang penguasa yang legal adalah mereka yang memiliki suara mayoritas.
Oleh karena itu, publik bisa melihat bahwa masih saja ada penguasa yang melakukan pencitraan di tengah bencana, atau disaat pandemi covid melakukan kampanye ditengah himpitan ekonomi.
Sangat berbeda dengan penguasa yang menerapkan sistem Islam. Dalam pandangan Islam rakyat dan penguasa harus saling menguatkan sebagaimana "Perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang, tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya".
Hubungan seperti ini bisa terjalin sebagai bentuk ketaatan pada sabda Rasulullah : "Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum Muslim, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasehati mereka, kecuali dia tidak akan masuk surga bersama mereka". (Sahih Muslim).
Penguasa atau pemimpin wajib mewujudkan kemaslahatan siapa saja yang berada di bawah kepemimpinannya. Beginilah cara pandang penguasa dalam mengurusi rakyatnya. Maka ketika Khilafah tegak berdiri selama 1.300 tahun kita menemukan banyak penguasa yang begitu luar biasa dalam memberi perhatian terhadap urusan rakyatnya. Salah satunya adalah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa kekuasaan beliau pernah terjadi paceklik di akhir tahun 18 H dan berlangsung selama 9 bulan.
Masyarakat sudah mulai kesulitan karena kekeringan melanda seluruh bumi Hijaz. Orang-orang sudah mulai merasakan kelaparan. Banyak dari mereka yang berbondong-bondong ke Madinah untuk mencari bantuan kepada Khalifah Umar. Sikap Amirul Mukminin pun sigap dan tanggap. Beliau mendirikan tungku-tungku dan posko-posko bantuan makanan yang dananya diambil dari baitul maal. Pada saat itu bantuan tersebut mampu mencukupi 6.000 penduduk. Di tengah usaha keras beliau untuk tetap mencukupi kebutuhan rakyatnya, dia juga sangat tegas kepada dirinya sendiri. Beliau berkata : "Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan".
Waktu itu Khalifah Umar hanya makan roti dan minyak hingga kulitnya berubah menjadi hitam. Khalifah Umar rela ikut menanggung rasa lapar bahkan menolak makanan berupa daging dan hati unta yang disiapkan untuk beliau. Malahan beliau menyuruh Aslam untuk membagikan makanan tersebut kepada rakyatnya.
Inilah sosok penguasa dalam khilafah. Mereka mengurus rakyatnya dengan sepenuh hati bukan untuk kepentingan politik pribadi. Melainkan demi menjalankan amanah yang diberikan oleh Allah Ta'ala tanpa pencitraan dan sejenisnya.
Wallahu a'lam bishawwab
Penulis: Teti Ummu Alif
(Pemerhati Masalah Umat)