Dalam Dekap Kapitalisme

Daftar Isi

 


Siddiq-news.com--Bingung, pusing para ibu pengurus rumah memikirkan keberlanjutan hidup yang akan datang. Tentang makanan, tentang kesehatan, tentang pendidikan yang memerlukan lembaran-lembaran uang. Lelah, payah para ibu berperan ganda untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Belum usai tumpukan setrikaan dibereskan, kepala kembali dikerumuni bimbang memilih jalan yang akan dipilih, terjun langsung pada ranah laga pencarian penghidupan, atau tetap pada kondrat yang dituntut cukup pada kekurangan.


Belum usai masakan dalam pemanggangan, kepala kembali berfikir keras bagaimana menghidangkan masa depan untuk keturunan. Tersebab lapangan pekerjaan yang semakin sempit bagi kaum 'rendahan'. Gaji tak ikut naik seiring naiknya harga BBM dan TDL, bersanding berpegangan tangan dengan kenaikan harga-harga dipasaran. Keromantisan yang menyakitkan.


Ingin frustasi tapi tak jadi, masih ada setitik iman yang ikut mengimbangi. Namun tidak pada kondisi-kondisi kritis yang menghantui. Apalagi jika kesehatan yang memerlukan dana jika ingin mendapatkan kualitas perawatan yang 'layak'. Sebab banyak sekali berita pilu dari melayangnya nyawa karena terlambat ditangani, dengan dalih belum usai urusan administrasi.


Gontai sekali ia berjalan. Berpeluh, mencoba banyak cara untuk membantu sedikit saja kesusahan suami, memenuhi kehidupan yang didamba bahagia. Getir sekali rasanya mendapati diri banting tulang, peras keringat untuk hasil yang tak pasti. Oh Tuhan, berat sekali hidup seperti ini.


Dunia, dengan congkak menyuguhkan sekulerisme dihadapan. Gaya hidup menuntut untuk ikut terpenuhi. Sedang perut saja kadang tak mendapatkan hak nya secara utuh. Lalu bagaimana ini?


Negara, memberi solusi dengan membiarkan pinjaman riba menjamur ke segala sisi, menggiurkan dan siap untuk disantap dengan rakus tanpa lebih dulu meneliti. Fenomena tingkat bunga yang bervariasi, kebolehan meminjam dengan bermodal KTP dan no hp, membuat banyak ibu dan bapak rumahtangga berpartisipasi.


Bukan bodoh, tapi terlilit situasi. Hidup menuntut untuk tetap berjalan, gaya hidup mengungkung anak dan pasangan, meminta untuk sedikit mencicipi. Lalu apa yang terjadi setelah semua ini?


Berita bertebaran mengiris hati, pilu getir dan pahit sekali. Seorang ibu menggorok anaknya sendiri, semua karena faktor ekonomi. Seorang ibu lainnya meminumkan racun pada anak-anaknya, sebelum akhirnya gantung diri. terlilit utang tak usai, membuat nalar tak lagi berfungsi, iman tak lagi membentengi. Ada ibu yang menjual anaknya demi kelangsungan hidup diri dan anaknya tetap ada harapan. Ada ibu yang membuang anaknya ke dalam bak mandi, menderita baby blues karena faktor ekonomi. 


Tekanan tekanan kejam ini menghujam ibu dan bapak rumahtangga setiap hari. Kasus demi kasus lahir tanpa henti. Pencurian, perampokan sampai pembunuhan seringkali karena materi. Uang dan uang lagi.


Fenomena si miskin yang selalu miskin, dan si kaya akan semakin kaya memang merebak di mana-mana. Sistem kepemilikan yang kejam dan individualis inilah yang menjadi cikal bakalnya. Pemilik hukum adalah para kapital, pemilik lapangan pekerjaan adalah para kapital, penikmat pendidikan dan kesehatan terbaik adalah para kapital, pemilik kuasa menambah sejahtera hidup adalah para kapital. Lantas rakyat jelata seperti kita memiliki apa?


Maka slogan uang adalah segalanya benar adanya dalam cengkraman kapitalisme dewasa ini. Waktu adalah uang pun demikian, menjadi niscaya Karena tekanan ekonomi yang menghimpit dada, waktu habis terkuras untuk membeli materi. Lalu materi akan menguap seiring waktu. Hanya mereka yang telah dalam lingkaran pengusaha lah yang mampu bertahan. Dan yang berada diluar lingkaran itu akan mati perlahan.


Dalam dekapan kapitalisme. Sejahtera adalah iming-iming yang menggiurkan namun sulit direalisasikan. Para perintis harus berjuang pagi siang sore malam. Berbeda bagi para pewaris yang hanya menikmati tanpa keringat. Namun, apa daya ini adalah siklus yang sekali lagi adalah niscaya. 


Terlanjur kaya katanya, maka monopoli kuasa atas segalanya merupakan hal pasti dalam kerangka hidupnya. Apa kabar rakyat biasa?

Tunggang langgang memeras otak, keringat, air mata hingga darah demi sesuap nasi. 


Haruskah mata kembali buta? Bahwa Kungkungan kapitalisme sangat ganas mematikan dengan terang-terangan, tapi ia telah lahir dengan pemakluman yang bodoh. Seolah telah mendarah daging. Kesalahan ini dianggap biasa saja. 


Entahlah.

Derita dalam dekapan kapitalisme akankah berakhir segera?

Jika hanya berpangku tangan dan sesekali mengangguk biasa saja menyaksikan kerusakan ini.


Allohu alam


Penulis: Candelaria Athaya