Deklarasi Politik Nir-empati di Tengah Duka Korban Cianjur

Daftar Isi


SIDDIQ-NEWS -- Miris, di tengah musibah gempa yang terjadi di Cianjur. Duka lara masih mewarnai warga masyarakat yang kehilangan keluarga dan tempat tinggal setelah kejadian gempa Cianjur yang terjadi pada 21 November 2022. Dimana bahkan hingga kini masih rawan terjadi gempa susulan. 


Di tengah musibah yang masih banyak warga yang membutuhkan bantuan, acara deklarasi sukarelawan di Gelora Bung Karno (GBK) diadakan oleh sekelompok orang. Hal ini tentu jauh dari kesan kata berempati kepada korban. Suka cita deklarasi pertemuan  penguasa dan pendukungnya. Padahal doa dan dukungan selayaknya tertuju kepada mereka yang sedang menghadapi musibah gempa.


Perhelatan yang dihadiri penguasa dan pendukungnya yang memadati GBK (Gelora Bung Karno) itu tentu tidak sedikit biaya yang digelontorkan. Kehadiran pemimpin negara yang sedang berkuasa  pun pada akhirnya mendapat kritik keras dari publik. Demi memperoleh dukungan rakyat, deklarasi digelar tidak peduli situasi warganya yang sedang berduka. 


Dikutip dari cnnindonesia.com (27/11/2022), bahwa total 31 ton sampah berserakan di GBK usai acara relawan Jokowi tersebut. Acara bertajuk Nusantara Bersatu yang digelar Relawan Jokowi menyisakan sampah berserakan yang mengotori Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta Pusat (26/11/2022). Penampakan lautan sampah di GBK tersebut menjadi sorotan publik dan berujung viral di media sosial.


Realitas politik sudah menjadi tabiat penguasa dalam sistem ini yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi, daripada kepentingan urusan rakyatnya. Penguasa cenderung hanya melihat manfaat saja sebagai orientasi kebijakanya, dan akan  melihat mana peluang yang besar demi kepentingannya. Politik khas Kapitalisme akan menghalalkan segala cara demi meraih tujuan politik. Berbagai cara dilakukan untuk   mengunjungi korban bencana demi formalitas. Juga mengumpulkan masa dengan mengeklaim sebagai relawan. 


Di sisi lain, betapa politik demokrasi menjanjikan eksistensi yang mengharuskan seorang penguasa yang legal, adalah mereka yang memiliki suara mayoritas. Publik bisa menyaksikan bila masih ada penguasa melakukan kampanye atau deklarasi daripada mengurusi korban bencana secara mutlak. Adanya penguasa yang melakukan pencitraan di tengah bencana pandemi Covid dan melakukan kampanye di tengah himpitan ekonomi masyarakat.


Sangat berbeda dengan penguasa di dalam sistem Islam yakni Khilafah. Rasulullah saw. bersabda, "Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya)." (HR. Bukhari No. 60011 dan Muslim No. 2586)


Dalam sistem Khilafah, penguasa dan rakyat saling menguatkan. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab pernah juga menghadapi musibah, yajni terjadi bencana paceklik. Saat itu, Madinah mengalami "tahun abu", selama  sembilan bulan lamanya. Tidak ada turun hujan sama sekali sehingga menyebabkan kekeringan melanda dan paceklik pun terjadi.


Masyarakat  pun kesulitan dan terjadi gagal panen di wilayah Semenanjung Arab.  Warga mulai merasakan sangat kelaparan, dan banyak dari mereka yang berbondong-bondong ke Madinah untuk mencari bantuan kepada Khalifah Umar ra.. Khalifah Umar kala itu demikian sigap dan tanggap. Beliau mendirikan tungku-tungku dan posko-posko bantuan makanan yang berasal dari Baitulmal. Karena begitu banyaknya warga yang datang ke Madinah, sehingga cadangan makanan yang selama ini disimpan akhirnya menipis.


Melihat kondisi rakyat yang kesulitan makan, di tengah usaha keras beliau untuk tetap mencukupi kebutuhan rakyatnya, Khalifah Umar bin Khattab bersumpah. Bahwa dirinya tidak akan makan daging, susu, dan  samin sampai paceklik berakhir dan kondisi rakyat kembali seperti sedia kala. Beliau juga menolak makanan yang disiapkan. Bahkan menyuruh pengawalnya  untuk membagikan makananya tersebut kepada rakyatnya. Dengan tegas Umar bin Khattab berkata "Akulah sejelek-jeleknya kepala negara, apabila aku kenyang, sementara rakyatku kelaparan". Padahal masa itu Khalifah Umar hanya makan roti dan minyak sehingga kulitnya yang putih kemerahan berubah menjadi hitam.

 

Sigapnya Khalifah Umar ra. salah satunya diperlihatkan dengan memerintahkan Gubernur Mesir Amr bin Ash untuk mengirimkan bantuan. Kafilah unta yang mengangkut bantuan makanan ke Madinah pun berdatangan, sehingga terselesaikanlah masalah paceklik.


Demikianlah profil pemimpin seperti Khalifah Umar bin Khattab yang ada dalam sistem Khilafah. Beliau terdepan dalam melaksanaan amanah, bukan justru menyalahgunakan jabatan kekuasaan.  Dirinya pun demikian mengurusi rakyatnya dengan sepenuh hati bukan untuk eksistensi kekuasaan dan kepentingan pribadinya. Melainkan menjalankan kewajiban hanya untuk meraih rida yang Allah berikan. Tidakkah kita merindukan sosok pemimpin Islam dalam sistem Khilafah kembali? Wallahualam bissawab.


Penulis : Siti Mukaromah

(Aktivis Dakwah)